Pengalaman Studi Doktoral Mahasiswa Indonesia Dalam Sebuah Buku
Sejumlah mahasiswa dan alumni Indonesia yang berkuliah di Universitas Monash, Australia, baru saja meluncurkan sebuah buku. Dalam karya bersama ini, mereka menuangkan perjalanan akademis dan non-akademis ketika menimba ilmu di Australia.
Novi Restuningrum (NR), Danny Ardianto (DA) dan Neneng Lahpan (NL) adalah tiga mantan mahasiswa doktoral Univeristas Monash asal Indonesia yang terlibat dalam penulisan buku ‘Berlayar: Perjalanan Mahasiswa Indonesia Meraih PhD’. Buku kumpulan pengalaman ini baru saja diterbitkan di Jakarta hari Sabtu (24/9/2016).
Kepada Nurina Savitri dari Australia Plus, ketiganya bercerita mengenai inspirasi di balik penulisan buku, pengalaman studi di Australia, dan tips sukses bertahan sebagai mahasiswa PhD di negara tetangga di sela-sela acara peluncuran buku.
Bagaimana awal mula penerbitan buku ‘Berlayar’ ini?
NR: Awalnya kami kan kelompok diskusi, bertemu setiap 2 minggu, berdiskusi tentang riset, topiknya berbeda-beda tapi kebetulan kami adalah anak PhD yang ambil jurusan sosial, makanya kelompok ini bernama ‘Social Researchers Forum’. Setelah reguler bertemu, tercetus ide untuk menuliskan hasil diskusi. Kemudian tercetus lagi, ‘Mengapa yang kami tulis tak dijadikan book chapter?’. Ya sudah akhirnya kami kumpulkan.
DA: Ada 20 penulis terdiri dari 19 mahasiswa dan alumnus PhD dan satu mahasiswa Master of Philosophy yang menyumbang di buku ini. Mayoritas memang PhD.
NR: Proses penulisannya sekitar setahun kemudian masuk ke editing plus revisi-revisi, sampai siap cetak…itu butuh sekitar 4 bulan.
Pengalaman apa saja yang dibagikan dalam buku ‘berlayar’? apa terbatas pada pengalaman akademik?
NR: Buku ini isinya nano-nano (beragam). Jadi semua pengalaman melakukan riset di Australia, semua pengalaman yang kami rasakan tentu saja. Tapi yangg jelas, dari 20 penulis ini menuliskan hal yang berbeda, ada yang benar-benar menulis secara akademik misalnya pengambilan data, pengolahan data. Terus ada juga topik yang filosofis, ‘Mengapa ambil PhD?’; ‘Apa itu PhD?’. Selain itu, ada pula topik-topik yang non-akademis, misalkan soal keluarga, kendala studi, seperti itu. Pokoknya macam-macam yang berhubungan dengan aspek hidup sekolah PhD, bahkan ada juga yang menulis soal asyiknya berhubungan dengan supervisor, ada juga yang sharing mengenai nangis-nangis ‘bombay’-nya nulis.
DA: Jadi kalau bisa saya ringkas, buku ini bisa dianalogikan dari judulnya sendiri, ‘Berlayar’. Jadi section-section dari buku itu, mencerminkan perjalanan sebelum berlayar…kemudian membuang sauh dan berlayar di laut lepas. Banyak hambatan-hambatan yang kami alami menuju tujuan itu, yaitu tujuan mencapai PhD atau MPhil, sampai akhirnya apa yang bisa kontribusikan di akhir studi tersebut sehingga menjadi refleksi positif dan bermanfaat untuk masyarakat.
Tantangan apa saja yang dihadapi selama menempuh studi doktoral di Australia?
NO: Yang paling susah secara akademik itu menulis. Tapi pada prinsipnya ada dua hal, tantangan akademis dan non-akademis. Yang pertama menulis, yang kedua itu membiasakan diri untuk mandiri. Karena saya sempat terkaget-kaget, saya sempat mengalami academic shock, karena saya membayangkan ‘oh nanti saya diajari dulu…bagaimana sih nulis proposal itu, bagaimana sih milih-milih bacaan’, saya mengharapkan seperti studi di Indonesia, ada kuliah dulu… diajari dulu. Tahu-tahu sampai sana langsung harus nulis, langsung harus riset, langsung harus nulis proposal di tahun pertama. Nah itu tuh yang membuat saya sempat bertanya: ‘Jadi saya langsung nulis ya?’, ‘Enaknya saya pakai teori yang mana?’, padahal saya minta bimbingan. Itu semua karena mindset saja, terbiasa mengharapkan ‘dicekoki’ dulu baru kemudian ‘Oya aku mau begini deh’, jadi nggak terbiasa punya PD (percaya diri) untuk bersikap ‘aku mau jalan seperti ini, teoriku seperti ini’. Itulah tantangan terberat saya waktu itu.
NL: Saya kebetulan menyumbang suka duka menulis thesis. Saya kan orang yang bukan berbasis bahasa Inggris dan pengalaman berbahasa inggris itu tidak banyak, jadi struggling-nya itu luar biasa. Pengalaman itulah yang saya bagi, bahwa orang yang tidak begitu pandai dalam bahasa Inggris-pun bisa kok melakukan PhD tentu saja dengan berjuang, disiplin, hingga akhirnya selesai.
Bagaimana anda menanggapi persepsi ‘gila gelar’ yang sering dialamatkan pada mahasiswa doktoral?
DA: Ketika saya sudah menjalani pendidikan PhD, ketika ada teman kemudian mau lanjut PhD, saya selalu tanya heart to heart kepada mereka apa motivasinya. Karena kalau motivasinya hanya sekedar gelar, glamour, saya pikir itu sama sekali berbeda ya kalau di luar negeri. Kalau di sini (Indonesia), sidang doktoral kan sepertinya ramai sekali promosinya, seperti acara pernikahan. Tapi kalau di sana tidak begitu. Di sana kita ya seperti mahasiswa biasa. Jadi saya merasa esensinya kita dilatih untuk menjadi peneliti independen yang bertanggung jawab. Tantangannya memang di cara berpikir kita. Jadi memang ketika orang bilang ‘Ya sudah yang penting dapat gelar setinggi-tingginya’, ternyata tidak mudah di sana, harus berdarah-darah, kita harus kuliah, menulis, sedangkan disini mungkin lain.
NL: Ada pengalaman menarik waktu saya kuliah di Monash itu, jadi saya ada teman satu kantor, jadi dia usianya agak sudah tua.Dia memang bekerja di Monash. Dan dia mengambil bidang yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya. Lalu saya tanya: ‘Mengapa kok masih mau ambil PhD padahal kan tidak ada hubungannya dengan peningkatan karir?’. Lalu dia jawab, ‘Karena saya masih ingin terus belajar’. Menurut saya, itu memungkinkan kalau di Barat. Kalau di sini (Indonesia), memang tantangan budayanya lebih berat. Kalau di sana, orang sudah sampai tahap jatuh cinta pada ilmu, jadi belajar saja. Bahkan waktu saya wisuda, nenek-nenek yang pakai kursi roda itu ada. Karena kalau di sana belajar itu tidak ada hambatan usia, tidak ada harus mengejar karir atau apa, belajar ya belajar saja. Di sini (Indonesia) perspektif karir itu masih luar biasa. Nyatanya kan orang belajar itu tidak harus melulu mengejar karir.
NR: Jadi Phd itu kan tidak hanya mengenai gelar. Apa sih yang dicari ketika menjalani PhD? Itu sama dengan apa yang dicari dalam bidang keilmuan kita. Jadi kita terus mempertanyakan, misalnya, saya meneliti mengenai bahasa. Jadi yang saya lakukan adalah bertanya ‘Mengapa fenomena bahasa yang ditunjukkan seorang anak di sini itu begini tapi yang di situ tidak begitu?. Lalu jika ada jawaban, terus dipertanyakan lagi, terus dan terus ada pertanyaan, terus berkembang. Sebenarnya mencari hakikat dalam bidang ilmu kita intinya, itu adalah yang sebenarnya kita lakukan dalam PhD. Tentu saja sebagai dosen, gelar itu dituntut, tapi kalau niat kita bukan cuma gelar, cara kita menjalani PhD itu akan berbeda dengan kalau kita menjalaninya untuk gelar.
Apa modal yang paling penting untuk menjalani studi doktoral ?
NR: Tekad itu modal yang paling penting, tekad termasuk di dalamnya kekuatan fisik, jadi kita tuh harus fit karena studi ini melelahkan.
DA: Beliau itu (menunjuk Novi) selalu tidak pernah tidur malam, tidurnya pagi.
NR: Iya betul, jadi secara fisik itu melelahkan. Jadi kita butuh kekuatan fisik, kita harus bisa menjaga diri sendiri, harus memberikan hak pada tubuh kita, itu secara fisik. Kemudian secara pikiran ya… speechless juga karena secara emosional memang terpengaruh. Untuk seorang ibu, untuk seorang ayah yang membawa keluarga, mereka harus menata hatinya benar-benar untuk bisa menyelesaikan tugas PhD. Jadi modal itu bukan hanya kepintaran dan finansial, tapi tekad.
NL: Ada satu kutipan yang saya cantumkan di tulisan saya bahwa menjadi PhD itu hanya 10% saja intelektual yang diperlukan dan yang 90% itu adalah persistence, sikap yang terus-menerus, kalau dalam bahasa kita istiqomah ya, yang konsisten. Jadi 90% yang menentukan PhD ya itu, bukan yang 10%. Intelektual harus ada, tapi 90%-nya itu tidak semua orang bisa melewati.
Apa pesan anda untuk para calon peneliti yang ingin lanjut ke jenjang S3?
NR: Jaga keseimbangan antara kehidupan akademis dan non-akademis. Ini setelah menjadi student di sana ya. Tantangan dari aspek non-akademis yaitu keluarga, lingkungan itu juga tidak kalah berat dibandingkan tantangan akademis. Kesulitan kita membaca, kesulitan kita menulis, mereka bukanlah yang paling berat. Di bidang akademis kita sudah mengeluarkan tenaga sebanyak itu sampai lembur-lembur, itu kan melelahkan sekali secara emosional dan pikiran. Setelah itu kita harus menjaga keseimbangan.Itu tadi, yaitu dengan diri kita menjadi seimbang lagi. To keep sanity itu penting sekali. Setelah menjalani aktivitas akademik yang melelahkan, berilah waktu bagi diri kita untuk menikmati waktu bersama keluarga dan teman. Karena kalau tidak, kita jadi sendiri, menghadapi komputer, menghadapi buku, pergi ke perpustakaan, kemudian balik lagi, tidak berteman, itu malah menjauhkan kewarasan dari kita. Dan satu lagi, jangan lupa olahraga. Tentu saja menjaga vitalitas ya harus olahraga.
DA: Beliau-beliau (menunjuk Novi dan Neneng) banyak aktivitasnya di Melbourne. Bu Novi, misalnya, sering sekali mewakili Indonesia di Melbourne dalam acara seni.
NR: Iya betul, itu salah satu cara saya. Apakah membaca novel atau bergabung dengan kelompok teater, tapi yang jelas sempatkan untuk tercerabut dari kegiatan akademis membaca dan menulis.
NL: Buat saya, perjalanan PhD itu naik turun, makanya penting sekali kita punya teman berbagi untuk berbagi banyak hal.