ABC

Pengalaman Raidah Menjadi Ibu Persusuan di Australia

Lima tahun lalu, Raidah Shah Idil memutuskan untuk memainkan peran khusus yang lebih dari sekadar seorang tante yang baik untuk anak kakaknya yang segera lahir.

Raidah mengusulkan sebuah praktik yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu, namun tidak lazim dilakukan di Australia, yang memuat sejumlah implikasi menurut hukum Islam.

"Saya awalnya agak gugup," ujar Raidah kepada ABC News.

"Kedengarannya pasti sangat random bila tanpa latar belakang yang jelas kita bertanya, bolehkah saya menyusui anakmu?," katanya.

Raidah menawarkan untuk menjadi ibu persusuan bagi keponakannya, sebagai upaya menunjukkan hubungan kekerabatan yang erat antara kedua keluarga.

"Ini topik yang sangat sensitif, bukan untuk semua orang," katanya.

Untungnya, kakak laki-laki dan ipar perempuannya mengiyakan.

Tak boleh menikahi saudara sepersusuan

Dalam Islam, seorang ibu persusuan umumnya dipahami sebagai wanita yang telah menyusui bayi — yang tidak dia lahirkan — setidaknya lima kali sebelum anak itu berusia dua tahun.

Dosen Studi Islam di Universitas Charles Sturt, Dr Hakan Çoruh, menjelaskan persyaratan khusus soal ini bervariasi di antara ahli atau penafsir hukum Islam.

Banyak ahli hukum percaya bahwa bayi persusuan harus menyusui penuh pada setiap kesempatan. Namun, mazhab Hanafi mengatakan bahwa memberikan sedikit susu saja sudah cukup untuk menganggapnya sebagai anak persusuan.

Shaykha Umm Jamaluddin, seorang cendekiawan Muslim dan anggota Dewan Imam Nasional Australia, sependapat dengan pandangan banyak ahli hukum.

Shaykha Umm percaya bahwa ASI ibu persusuan yang diberikan dengan botol juga diperhitungkan, meski hal ini tidak disetujui oleh beberapa ulama.

Begitu kekerabatan terbentuk, hal itu mengubah hubungan antara bayi dan keluarga ibu persusuan, bahkan dapat memengaruhi hubungan lainnya juga.

"Menyusui secara persusuan menciptakan penghalang bagi pernikahan," jelas Dr Çoruh.

Dijelaskan, sejumlah Hadits yang mendokumentasikan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad, mereka yang dilarang menikah berdasar garis keturunan juga dilarang menikahi anak persusuan.

Dalam mashab Sunni yang paling banyak diikuti oleh umat Islam, begitu bayi persusuan mencapai usia dewasa, mereka dilarang menikahi kerabat kandung ibu persusuannya.

Mereka juga dilarang menikahi orang lain yang sebelumnya pernah disusui ibu persusuannya.

Hubungan yang erat

Meskipun mungkin menjadi penghalang di satu sisi, tetapi praktik ibu persusuan juga menciptakan berbagai kebolehan bagi si anak persusuan.

Setelah bayi disusui, maka dia menjadi "mahram" bagi keluarga ibu persusuannya, sehingga memungkinkannya untuk tidak melanggar dalam sejumlah hal.

"Dia bisa bepergian dengan mereka, bisa berduaan, dan kalau dia perempuan, dia tidak harus berhijab di depan mereka,” jelas Shaykha Umm.

Bagi Raidah, yang kini berusia 39 tahun dan memiliki tiga anak kandung sendiri, menjadi ibu persusuan juga merupakan cara untuk mempererat ikatan keluarga.

"Begitu anak perempuanku mencapai pubertas dan sudah waktunya untuk mengenakan jilbab, mereka harus mengenakannya di depan sepupu laki-laki lain, tapi tidak harus di depan saudara sepersusuan," jelasnya.

"Dia bukan lagi sepupu mereka dalam arti itu, tapi sudah menjadi saudara mereka," kata Raidah.

Namun ada satu pengecualian: kekerabatan persusuan tidak menjadikannya berhak untuk menerima warisan dari ibu persusuannya.

"Anak persusuan saya tidak dapat mewarisi dari saya, seperti putra atau putri saya yang sebenarnya," kata Raidah.

Dalam pengalamannya sendiri, masa remaja — dan persyaratan kesopanan bagi wanita Muslim — dapat mengubah hubungan antara sepupu pria dan wanita seiring bertambahnya usia.

"Saya ingat bagaimana kedekatan saya dengan sepupu laki-laki yang lebih tua, tapi begitu kami remaja, hal-hal berubah di antara kami," ujarnya.

Lahir di Singapura, dibesarkan di Sydney, dan kini tinggal di Petaling Jaya, Malaysia, Raidah tidak lagi tinggal di kota yang sama dengan anak persusuannya.

Menyusui sebagai 'jenis hubungan'

Tradisi menjadi ibu persusuan sudah dipraktekkan sejak ribuan tahun yang lalu. Menurut Dr Çoruh, praktik tersebut lazim dalam budaya Arab dan Iran sebelum munculnya Islam.

Misalnya, penduduk Kota Mekkah sering mengirimkan anaknya untuk diasuh oleh keluarga nomaden Badui. Gaya hidup gurun — dan udara segar — dianggap lebih cocok untuk membesarkan anak-anak.

Di dalam keluarga Badui, seorang ibu persusuan akan mengasuh anak tersebut sampai mereka dikembalikan ke keluarga kandungnya.

Bahkan Nabi Muhammad — yang lahir di tahun 570 M di Mekkah — disusui oleh seorang ibu persusuan.

"Topik ini sangat penting dalam sumber utama Islam, Al-Qur'an dan Sunnah," kata Dr Çoruh.

Seperti yang ditunjukkan oleh Syaikha Umm, konsep tentang ibu persusuan tidak berasal dari tradisi Islam, tapi Islam mengakui hal ini sebagai jenis hubungan serta memberikan aturan hukum yang jelas.

Di masa lalu, persuauan bahkan menjadi layanan yang dibayar.

Namun dalam kehidupan desa yang lebih tradisional, praktek ini juga dipahami sebagai upaya berbagi beban dalam mengasuh anak.

Praktik kuno di dunia modern

Saat sedang menunaikan ibadah haji dan umroh di Arab Saudi di usia 20-an itulah Raidah pertama kali mendengar tentang persusuan.

Dia dan saudara laki-lakinya pergi ke Yordania untuk belajar agama. "Bagian dari pelajaran saya adalah tentang ibu persuauan itu," katanya.

"Saudara perempuan guru saya melakukan hal itu untuk keponakannya," katanya.

Bertahun-tahun kemudian, Raidah dan saudara laki-lakinya sama-sama sedang menunggu kelahiran anak mereka masing-masing.

Dia memberanikan diri bertanya, terutama kepada iparnya, apakah mereka tertarik untuk membentuk hubungan kekerabatan semacam ini.

"Adik ipar saya sangat senang," ujar Raidah.

Dia menyebut dirinya dan iparnya sama-sama menyukai anak-anak karena berasal dari keluarga besar.

Meski kini dia tinggal di Malaysia sementara kakaknya dan keluarganya di Australia, Raidah berkomitmen untuk menjaga hubungan mereka tetap berjalan.

"Untuk generasi selanjutnya, saya harap mereka tahu bahwa dimanapun saya berada, mereka selalu bisa datang kepada saya," ujarnya.

"Dengan keyakinan saya, saya berharap mereka menyadari hal ini dalam hubugannya dengan saya sebagai ibu mereka, ibu persusuan, tante, apa pun itu," kata Raidah.


Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News yang selengkapnya dapat dibaca di sini.