ABC

Pengalaman Nuim Khaiyath 45 Tahun Bekerja di Radio Australia

Tanggal 1 Juli 2017, media ABC (Australian Broadcasting Corporation) merayakan hari jadi ke-85. Nuim Khaiyath menghabiskan 45 tahun bekerja di Radio Australia sebagai bagian dari ABC sebelum pensiun di tahunn 2014. Berikut tulisan Nuim Khaiyath untuk Australia Plus Indonesia mengenai pengalamannya menjadi bagian dari landskap media di Australia dan Indonesia selama bertahun-tahun.

Saya beruntung karena selama sekitar 30 tahun dari karir saya sepanjang 45 tahun di Radio Australia Siaran Bahasa Indonesia (RASI),  bertepatan dengan berkuasanya rezim Orde Baru, yang secara langsung mau pun tidak langsung mendorong semua media di Indonesia agar melaksanakan swa sensor, yang pada hakikatnya berarti menyiarkan hanya yang sesuai dengan “selera” penguasa.

Radio Australia menerapkan kebijakan menyiarkan segala sesuatu sesuai kode etik jurnalistik Australia, tanpa rasa takut atau pilih kasih.

Ketika Bob Hawke menjadi Perdana Menteri Australia sempat timbul ketegangan (gara-gara tulisan wartawan David Jenkins di koran Sydney Morning Herald mengenai harta kekayaan keluarga Suharto), karena Indonesia (rezim Suharto) sangat berkeberatan dengan laporan sebuah media Australia yang dianggap merugikan citra Suharto.

Ketika itu PM Hawke mengaku bahwa dalam kesempatan berbicara dengan Presiden Suharto, Hawke mengaku mengatakan, “Mr. President if I could control the Australian media I would be a very happy man.” (Pak Presiden, kalau saya bisa mengontrol media Australia, saya akan menjadi orang yang bahagia).

Jadi tidak mengherankan kalau RASI pernah begitu diminati oleh begitu banyak pendengar di Indonesia.

Mereka kagum dan takjub bagaimana RASI selalu mampu memberitakan dengan begitu cepat dan umumnya tepat kejadian-kejadian yang sama sekali tidak digubris oleh media di Indonesia, karena swa sensor.

Misalnya ketika terbentuk gerakan Petisi 50 pimpinan mantan Gubernur DKI Jenderal (P) Ali Sadikin, yang dianggap sebagai “oposisi” oleh rezim Orde Baru yang mengharamkan segala bentuk perlawanan dan “kedurhakaan” .

Masyarakat di Indonesia mengetahui pembentuk Petisi 50 dari RASI.

Karenanya RASI di kala itu memang laksana duri dalam daging bagi Orba yang tidak mampu memblokir siaran-siaran luar negeri dalam bahasa Indonesia.

Alhasil RASI bagi para pendengarnya di Indonesia waktu itu bukan saja merupakan sumber berita yang cepat dan tepat, terutama mengenai Indonesia, melainkan juga sumber hiburan dalam berbagai bentuknya.

Nuim Khaiyath dengan istri Meike Tjoeka berlibur di Swiss
Nuim Khaiyath dengan istri Meike Tjoeka berlibur di Swiss

Foto: Istimewa

Saya sendiri merasa sangat beruntung karena menjadi broadcaster pertama di kalangan siaran bahasa-bahasa asing di Radio Australia yang dipercaya untuk menyusun ulasan dan kupasan sesuai analisa saya sendiri,  bukan harus menerjemahkan dari naskah-naskah dalam bahasa Inggeris yang ditulis oleh bagian current affairs Radio Australia Siaran Bahasa Inggeris.

Bahkan setiap kali ditugaskan ke luar negeri, misalnya untuk meliput Asian Games dan Olimpiade, tidak jarang bagian current affairs RA meminta laporan (dalam bahasa Inggeris) dari saya mengenai keadaan di negara tempat saya ditugaskan.

Nuim Khaiyath 2017
Nuim Khaiyath 2017

Foto: Sastra Wijaya

Kepercayaan pimpinan RASI pada saya kemudian menjelmakan acara “Perspektif” yang ternyata banyak diminati pendengar dan akhirnya sebagian dari naskah yang saya susun dibukukan oleh sebuah penerbit di Indonesia dengan judul (yang sangat bombastis dari penerbit) “Dunia di mata Nuim Khaiyath”.

Dari sekian banyak surat pendengar yang sampai ke meja tugas saya (ada bahkan yang menulis sampai 30 halaman sekaligus untuk “melampiaskan” isi hatinya), yang paling mengharukan bagi saya adalah yang berasal dari seorang pendeta di Indonesia Timur yang mengatakan, antara lain, “setiap Selasa saya merekam acara Perspektif yang sdr. bawakan, yang kemudian bagian-bagiannya saya jadikan bahan khutbah saya di gereja pada hari Minggunya…”

Juga sangat mengharukan adalah undangan dari panitia penyelenggara simposium Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia 20 Maret 1995 agar saya menjelaskan kepada peserta yang mewakili sekitar 600 stasiun radio di Indonesia.

Bagaimana RASI mampu memancarkan siaran dalam bahasa Indonesia yang baku yang dapat dimengerti oleh pendengarnya dari Sabang sampai Merauke, sementara banyak (waktu itu) radio swasta niaga di Indonesia merasa harus tunduk pada popularitas bahasa Prokem kalau tidak hendak ditinggalkan oleh para pendengarnya.

Namun puncak dari kebahagiaan saya sebagai broadcaster RASI adalah ketika menjelang pemilu demokratis 1999 saya diminta untuk melatih di Jakarta puluhan broadcaster dari berbagai penjuru Indonesia  mengenai tata cara meliput suatu pemilu demokratis.

Ini kemudian disusul oleh permintaan dari RRI untuk melatih para broadcaster mereka (saya lebih suka menggunakan istilah “berbagi pengetahuan” mengenai tehnik dan siasat penyiaran) yang sempat saya lakukan sebanyak dua kali diikuti oleh seluruhnya hampir 50 karyawan/wati RRI di Jakarta.

Bahkan saya juga diberi kesempatan di tengah-tengah pelatihan, untuk mengisi siaran dalam program nasional pada suatu hari Sabtu. Terima kasih RRI!

Dan terima kasih Radio Australia karena telah memberi kesempatan dan sarana kepada saya untuk menjalin hubungan dengan begitu banyak pendengar di Indonesia.

* Nuim Khaiyath bergabung dengan Radio Australia Siaran Bahasa Indonesia (RASI) sejak 1967-1970. Pada 1970 ia pindah ke BBC London. Dua tahun kemudian (1972) kembali lagi ke RASI dan bekerja sampai pensiun di tahun 2014. Sekarang tinggal di Melbourne.