Pengalaman Muslim Australia-Indonesia Dibukukan
Tujuh puluh tujuh alumni Program Pertukaran Muslim (MEP) dari Indonesia dan Australia menuangkan berbagai pengalaman mereka dalam sebuah karya bersama berjudul ‘Hidup Damai di Negeri Multikultur’.
Tak hanya pesan diplomasi, ada pula nilai sosial dan budaya di balik dinamika hubungan kedua negara.
Berawal sebagai relawan di tahun 2004, Brynna Rafferty-Brown memberanikan diri untuk melamar sebagai peserta Program Pertukaran Muslim (MEP) -yang didanai Pemerintah Australia -setahun berikutnya.
Di tahun 2006, perempuan ini akhirnya terbang ke Indonesia bersama 4 Muslim Australia lainnya. Di negara tetangganya itu, ia bertemu dengan Aan, seorang akademisi Muslim.
Perkenalan dengan Aan dan kunjungan ke sebuah pesantren di kampung halamannya meninggalkan kesan tersendiri bagi Brynna, yang kini menjabat sebagai salah satu Koordinator Program di MEP.
“Meski saya sudah pernah ke Indonesia dan tinggal di sini, perjumpaan saya dengan Aan benar-benar memberi wawasan baru. Saya datang ke desanya, ke pesantren, bertemu orang tuanya yang membuka warung di dekat pesantren, mendengar pengalaman hidupnya, saya kagum,” tutur Brynna dalam bahasa Indonesia yang fasih kepada Nurina Savitri dari Australia Plus, di sela-sela peluncuran buku ‘Hidup Damai di Negeri Multikultur’ (HDNM) di Jakarta (18/05/2017).
Kisah Brynna adalah satu dari 76 kisah lainnya yang dibukukan dalam HDNM karya forum alumni MEP Australia-Indonesia.
Dalam HDNM, Brynna lebih lanjut mengungkapkan kekagumannya akan perjuangan hidup orang tua Aan, keluarga Muslim pedesaan, yang ingin memberi kesempatan terbaik untuk putra mereka, walau kondisi ekonomi begitu menghimpit.
“Kunjungan ke warung orang tua Aan mengingatkan saya tentang banyak orang yang saya temui di Indonesia selama bertahun-tahun, yang menjalani hidup dengan penuh syukur, dan bertekad untuk mengubah keadaan,” tulisnya dalam bahasa Inggris.
Digagas oleh Yanuardi Syukur, peserta MEP 2015, buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ini menceritakan tentang pengalaman para peserta MEP di masing-masing negara pertukaran.
Tentu saja, gambaran kehidupan Muslim di Australia dan Indonesia tak luput dipaparkan dalam karya yang disusun selama sekitar 2 tahun ini.
“Jadi waktu saya wawancara MEP tahun 2015, saya bilang ke pewawancara, saya kalau diterima ikut MEP ini, sepulang dari sana saya buat 2 buku. Yang pertama adalah buku karangan saya sendiri dan yang kedua adalah buku karangan bersama teman-teman lainnya, lalu jadilah buku ini” ujar Yanuar, yang juga bertugas sebagai penyunting dalam penyusunan karya setebal 679 halaman ini.
Dosen universitas Islam di Ternate ini lantas menuturkan langkah awal pembuatan buku yang ia mulai dari media sosial.
“Saya bilang ke Rowan (koordinator MEP di Australia), ada nggak grup (percakapan)-nya?. Kan kita bisa silaturahmi di dunia maya. Rowan menjawab ‘Ada tapi tidak aktif’. Malam itu juga kami langsung buat grup baru dan invite yang lain-lain,” ceritanya kepada Australia Plus ketika ditemui di acara yang sama dengan Brynna.
Dari situ, Yanuar -panggilan akrab Yanuardi -menjalin kontak secara intensif dengan para alumni program, termasuk mengungkapkan gagasannya untuk menerbitkan buku.
"Saya sampaikan formasi pembuatan bukunya seperti ini, kemudian banyak yang tertarik, mereka setuju. Awalnya, buku ini mau dicetak sendiri dengan anggaran sendiri, tapi ternyata ada program dari Kedutaan (Australia), ada anggarannya, akhirnya saya kirim aplikasinya dan diterima.”
Ia lantas menyambung, “Sejak tahun kedua pembuatan buku itu anggarannya lewat program hibah kecil.”
Uji kesabaran hingga hal-hal teknis menjadi tantangan yang dihadapi Yanuar selama proses penyusunan buku.
“Awalnya memang dana, tapi sudah terselesaikan. Kemudian (tantangan) lainnya adalah ketika meminta tulisan kepada teman-teman. Jadi nggak semua teman ini punya minat menulis, nggak semua juga ada waktu, ada yang kirim ada yang nggak. Yang nggak kirim ini saya minta terus secara berkala,” ujarnya.
Yanuar bahkan turun tangan mengkompilasi kisah rekan-rekannya yang hanya sempat dibagi lewat obrolan aplikasi daring.
Alumni MEP lainnya yang turut menyumbangkan kisah adalah Feby Indirani dari tahun 2006.
“Cerita yang saya bagikan di sini adalah apa yang saya alami ketika menjadi peserta program MEP Februari-Maret 2006, atau sekitar datu dekade yang lalu. Ya, dibandingkan hari-hari belakangan, saat itu warga Australia masih jauh lebih terbuka terhadap Islam,” tulis perempuan -yang berprofesi sebagai penulis -ini dalam HDNM.
Kepada Nurina Savitri, Feby menuturkan, Muslim Australia yang ia amati saat itu begitu solid karena kondisi mereka sebagai minoritas.
“Hidup sebagai minoritas, mereka tangguh, nggak minta diistimewakan, dan mereka harus memberikan penjelasan tentang Islam yang bebas diskriminasi, misalnya soal jilbab, mereka nggak bisa bilang kami pakai jilbab supaya terhindar dari pelecehan seksual dan sebagainya.”
Di lain pihak, Feby mengatakan, Muslim Indonesia cenderung menunjukkan perilaku sebaliknya.
“Muslim di Indonesia, maaf ya…cenderung manja, sedikit-sedikit merasa tertindas dan malah diskriminatif ke orang non-Muslim, misalnya jalan ditutup untuk ibadah, jilbab diwajibkan dengan dalih melindungi perempuan dari kekerasan.”
“Jadi Muslim Indonesia mungkin bisa belajar dari Muslim Australia bagaimana menjadi Muslim yang tetap menomorsatukan kepentingan umum tanpa meninggalkan ajaran agama,” imbuhnya.
Menurut Feby, Muslim Australia-pun bisa belajar banyak dari Muslim Indonesia.
“Bisa belajar banyak dari Indonesia terkait tradisi Islam Nusantara yang kaya banget, pesantren, kesenian, peninggalan bersejarah, semua Islam tapi khas Indonesia, mereka nggak punya itu sepertinya.”