ABC

Pengalaman Menjalani Bedanya Kuliah di Indonesia dan Australia

Bernike Jacinta Effendi saat ini sedang melanjutkan kuliah di University of Queensland di Brisbane. Dia awalnya adalah mahasiswa internasional di Universitas Indonesia, dan merasakan adanya beberapa perbedaan dalam cara kuliah di Indonesia dan Australia. Berikut cerita pengalamannya kepada Australia Plus.

Sebelum ke Australia, saya mengikuti program kelas internasional di Universitas Indonesia (UI). Program mewajibkan kami untuk mengikuti 4 semester perkuliahan di Fakultas Psikologi, kampus Depok (2 tahun) dan kemudian melanjutkan degree kami di School of Psychology, University of Queensland (UQ) selama 4 semester (2 tahun).
Sekarang sebagai seorang mahasiswi yang pernah menjalani perkuliahan di Indonesia dan Australia selama lebih dari 4 tahun, saya akan menulis mengenai beberapa perbedaan sistem pendidikan yang saya rasakan di antara kedua negara.

Bagi saya, saya merasa bahwa sistem pendidikan di Indonesia bisa dibilang lebih tradisional dibandingkan Australia.

Sistem perkuliahan di Indonesia lebih memanfaatkan sistem tatap muka antara dosen dan mahasiswa karena jumlah kehadiran mahasiswa di setiap semester masih menjadi kriteria kelulusan (setiap mahasiswa biasanya hanya memiliki jatah tiga kali untuk tidak menghadiri kelas di setiap semester).
Tugas-tugas kami pun biasanya kami kumpulkan langsung ke dosen dan dan ujian selalu diadakan di kelas.

Setelah terbiasa dengan sistem ini selama dua tahun, saya sejujurnya sempat mengalami culture shock dan membutuhkan hampir satu semester untuk bisa menyesuaikan diri dengan sistem yang berbeda saat saya pertama belajar di University of Queensland (UQ).

Menurut saya, ada perbedaan mendasar antara sistem pendidikan di Indonesia dan di Australia.

Saya tidak bisa mengatakan bahwa hanya ada satu cara benar dalam mengajar karena itu semua tergantung dengan sistem mana yang lebih cocok bagi setiap mahasiswa secara pribadi.

Bagi saya, Australia adalah negara yang termasuk egaliter. Tidak ada status formal yang menjadi pembeda antara yang tua dan muda.

Di Indonesia, pengaruh perbedaan usia dan status masih sangat kuat di masyarakat kita.

Menurut pengalaman dan pandangan saya pribadi, pandangan dosen di Indonesia seringkali dianggap sebagai satu-satunya pandangan yang benar dan tidak bisa dibantah oleh mahasiswa walaupun tidak semua dosen bersifat seperti ini.

Suasana kuliah di jurusan Teknik di University of Queensland
Suasana kuliah di jurusan Teknik di University of Queensland

Foto: UQ

Hal ini tidak (atau belum) saya selama saya kuliah di Australia.

Sistem pendidikan UQ dan perguruan tinggi di Australia secara umum lebih menekankan akan kemandirian mahasiswanya.

Keputusan untuk menghadiri kelas dan mengerjakan tugas adalah pilihan setiap pribadi dan bukan sesuatu yang harus dipaksakan pihak universitas.

Perguruan tinggi di Australia juga tidak mewajibkan setiap mahasiswa untuk selalu datang ke kampus karena banyak yang memiliki kewajiban-kewajiban lain karena beberapa mahasiswa bekerja paruh waktu atau mengurus keluarga.

Sebagai salah satu anggota world class university, UQ memang menyediakan banyak sekali fasilitas pembelajaran online yang sangat mudah dan cepat diakses darimanapun. Hal ini sangat menunjang studi kami, apalagi saat ada mahasiswa tidak bisa selalu datang ke kampus karena memiliki disabilitas secara mental atau fisik.

Saya selalu ingat momen saat saya menghadiri kelas pertama saya di UQ.

Saat saya masuk ke kelas bersama dengan teman-teman dari Indonesia, saya berpikir, “Kok sepi sekali kelasnya? Mahasiswa yang lain ke mana ya?”

Setelah mendengar penjelasan dosen bahwa lecture recording selalu diupload ke situs Blackboard UQ setelah kelas tersebut selesai, saya baru mengerti kenapa terkadang kelas perkuliahan tidak sepenuh di Indonesia.

Selain itu, saya secara pribadi merasa bahwa tutor di UQ jauh lebih tegas dan jelas dalam memberi nilai. Di Australia, tugas dan ujian biasanya dievaluasi oleh tutor.

Posisi tutor biasanya diisi oleh mahasiswa S2 atau S3 yang sedang menyelesaikan pendidikannya di UQ.

Tutor akan selalu menulis feedback di setiap bagian tugas mengenai aspek yang harus diperbaiki dan aspek yang sudah sesuai dengan kriteria penilaian yang ada .

Setiap mahasiswa pun memiliki hak untuk berkonsultasi akan nilai yang ia terima, bagaimana cara mengerjakan tugas, dan tips untu bisa mendapat nilai yang baik di ujian tengah semester atau akhir kepada tutor tersebut.

Bila saya harus memilih, saya pribadi lebih menyukai atmosfir belajar yang lebih tenang, santai, dan sangat encouraging di Australia.

Saya begitu kaget dan kagum dengan betapa ramah dan bersahabat setiap dosen dan tutor yang pernah dan sedang mengajar saya.

Saya pribadi tidak pernah merasakan bahwa mereka merendahkan kami karena mereka memiliki kualifikasi yang lebih tinggi daripada kami.

Suasana kuliah dan tutor pun biasanya santai dan terkadang saya sendiri merasa bahwa status kami sama yakni menjadi seorang pembelajar. Saya sendiri merasa bahwa setiap staff pengajar UQ yang mengajar saya menempatkan diri sebagai pembelajar yang ingin belajar bersama dengan kami.

Beberapa tutor sendiri pernah menyelipkan lelucon dalam bentuk video atau gambar lucu dan juga memberikan kami cokelat Freddo di kelas untuk menurunkan tingkat stress kami, terutama saat deadlines tugas-tugas mulai muncul di pertengahan dan akhir semester.

Salah satu sudut UQ: The Great Court
Salah satu sudut UQ: The Great Court

Foto: UQ

Namun, seperti yang kita tahu, tidak ada sistem yang sempurna.

Sayangnya, tidak semua mahasiswa menggunakan kemajuan teknologi dan sistem pengajaran berkualitas dengan baik.

Sistem online lecture recording sering disalahgunakan mahasiswa yang malas pergi ke kampus.

Tentunya hal ini bisa menjadi fatal bila ia tidak disiplin dalam mencicil dan mengatur waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas setiap minggunya.

Di sisi lain, sistem pendidikan di Indonesia yang masih tradisional sendiri menawarkan kontak dan komunikasi langsung konstan antara mahasiswa dan dosen.

Hal ini juga membuat mahasiswa bisa lebih saling mengenal satu sama lain dan bahkan dapat menjalin pertemanan yang lebih dalam dibandingkan dengan orang Australia yang cenderung lebih individualis.

Setelah menjalani pendidikan di dua sistem yang berbeda, saya menyimpulkan bahwa pada akhirnya kesuksesan kita akan lebih ditentukan oleh kemauan dan keuletan kita dalam menghadapi setiap tantangan akademis dan non-akademis yang muncul bukan pada sistem yang ada.

* Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Bernike Jacinta Effendi adalah mahasiswi yang sedang mengambil program Master of Counselling di University of Queensland, Australia. Di waktu lowongnya, ia mendalami profesinya sebagai seorang freelance writer.