Pengalaman Memiliki Tiga Nama Sama Dalam Satu Keluarga
Ada kebiasan memberikan nama anak yang persis nama orang tuanya. Namun dalam keluarga Ririn Yuniasih, mahasiswa S3 Indonesia yang sedang belajar di Melbourne, suami dan kedua anaknya memiliki nama depan dan belakang yang sama. Berikut cerita Ririn Yuniasih kepada Australia Plus mengenai beberapa hal yang dialami mereka di Australia berkenaan dengan nama-nama tersebut.
Nama adalah cerminan doa dan harapan orang tua terhadap anak, sehingga setiap orang tua pasti berusaha memberikan nama yang baik untuk anak-anaknya.
Demikian juga saya dan suami yang sejak awal menikah sepakat bahwa kelak jika anak-anak lahir, kita akan menggunakan nama belakang suami, yaitu “Wijayakusuma” sebagai nama belakang.
Kami membuat semacam template nama, kalau laki-laki maka akan kami beri nama Muhammad (nama) Wijayakusuma, sedangkan untuk anak perempuan akan kami namai (nama) Putri Wijayakusuma.
Jadi setiap kali mendekati kelahiran anak, kami tinggal berjuang mencari satu nama untuk melengkapi template tersebut.
Saat itu memang tidak banyak hal yang kami pertimbangkan, cuma pengin punya semacam ‘family name’ di keluarga kami, dan kebetulan dari cerita almarhumah ibu mertua, di balik penamaan Wijayakusuma tersebut ada cerita indah..
Jadilah di keluarga kami ada tiga orang dengan nama depan dan belakang sama, yaitu Muhammad Annur Wijayakusuma (suami), Muhammad Dzata Amany Wijayakusuma (anak pertama) biasa dipanggil Ata, dan Muhammad Fawwaz Wijayakusuma (anak kedua) yang panggilannya Awa.
Selama tinggal di Indonesia tidak banyak hal atau kejadian yang membuat kami berpikir ada ‘sesuatu’ dengan nama anak-anak kami.
Ada sedikit merasa bahwa nama anak pertama “agak kepanjangan” ketika membuat passport kolom namanya tidak cukup sehingga harus ‘menghilangkan’ satu namanya.
Tapi dalam 3 tahun terakhir, sejak kami tinggal di Melbourne ada beberapa pengalaman menarik yang membuat kami merasa nama anak-anak kami jadi unik dan istimewa.
Salah satunya adalah setiap kami melakukan perjalanan bersama dengan menggunakan jasa penerbangan.
Di boarding pass kami ada 3 nama “Muhammad Wijayakusuma”. Dan karena sekeluarga biasanya duduk di deretan yang sama, jadi 3 Muhammad Wijayakusuma ini duduk berderetan.
Pernah suatu kali suami saya iseng di account facebook-nya, memotret tiga boarding pass dengan nama yang sama tersebut dia pasang status, “booking 3 tempat duduk di pesawat biar bisa selonjoran”, dan ramailah komentar terhadap status tersebut.
Yang tak kalah seru adalah ketika kami melakukan perjalanan internasional, saat melewati counter imigrasi yang mensyaratkan cek passport yang dicocokkan dengan wajah kami.
Ketika dipanggil satu-satu, petugas imigrasi tampak bingung ketika menyebut nama “Muhammad” kami merespon “yang mana?” karena ketika disebut nama belakang pun masih belum jelas yang mana karena ketiganya “Muhammad Wijayakusuma”.
Ketika menyadari ada tiga nama sama biasanya petugasnya cuma senyum-senyum saja, atau kadang memberi komen lucu.
Bersyukurnya sampai saat ini kami belum pernah mengalami kejadian yang kurang mengenakkan karena kesamaan nama ini.
Tapi kadang kesamaan nama ini agak membingungkan untuk beberapa hal seperti sekolah, karena seringkali dapat surat/email yang ditujukan kepada “Parents of Muhammad Wijayakusuma”.
Kalau disebut kelasnya, akan lebih mudah kami mengetahui surat/email tersebut untuk kelasnya Ata atau Awa, tapi kadang tidak disebutkan dan kami harus konfirmasi ke sekolah.
Bahkan untuk minta ijin ketika terlambat datang atau pulang awal dari sekolah, petugas administrasi sekolah biasanya menanyakan nama belakang, dan seringkali mengalami kebingungan.
Satu kejadian lucu yang belum lama terjadi adalah ketika saya membuatkan janji untuk bertemu dokter gigi, setelah menerima surat peringatan dari community health center (semacam puskesmas) untuk cek rutin gigi anak.
Seingat saya, ini giliran Ata anak pertama kami, karena kayanya adiknya sudah periksa beberapa bulan sebelumnya.
Setelah menyebutkan tanggal lahir dan beberapa informasi lain, petugas yang menerima telepon mengatakan bahwa mereka tidak mengirimkan surat untuk Ata, karena belum jadwalnya periksa.
Ketika saya sampaikan “mungkin, surat itu untuk anak saya satunya”, petugasnya pun agak bingung bertanya, “anda punya anak lain yang namanya sama, Muhammad Wijayakusuma”.
Saya pun mengiyakan dan menjelaskan kalau nama tengah mereka beda, yang setelah dicek memang benar, jadwalnya adalah untuk Awa.
Sambil bercanda petugasnya pun menutup telepon mengatakan, “jangan salah anak yang diperiksain ya”. Saya pun mengiyakan sambal tertawa.
Di balik kelucuan dan kadang kebingungan tentang nama, ini justru menjadi pengalaman menarik bagi kami.
Karena pemberian nama yang kami anggap biasa saja, meskipun tentu dengan penuh kesadaran dan harapan dalam memberi nama anak, ternyata ketika berada di negara lain menjadi pengalaman unik dan menarik.
* Ririn Yuniasih sekarang sedang menempuh pendidikan doktoral di bidang pendidikan di Monash University, di Melbourne sebelumnya di Indonesia bekerja di lembaga pelatihan guru di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.