ABC

Pengalaman Melihat Pendidikan Anak Usia Emas di Australia

Sebagai mahasiswa yang mendalami bidang pendidikan, Abid Halim yang sedang melanjutkan pendidikan di Curtin University di Perth, juga dengan seksama memperhatikan model pendidikan yang didapat oleh putranya yang masih balita di Australia. Inilah pengalamannya.

Tinggal di negeri kanguru, Australia, bagi kami sebenarnya bukanlah hal yang baru. Di tahun 2009, saya berkesempatan untuk menempuh pendidikan S2 di Canberra selama 18 bulan. Begitu pun dengan istri saya yang selama 4 tahun tinggal di kota yang sama untuk menyelesaikan pendidikan S1 dan S2-nya.

Namun kembalinya kami ke Australia kali ini membawa cerita dan pengalaman berbeda. Selain dari segi wilayah tempat kami tinggal dan jenjang pendidikan yang saya tempuh, kami membawa serta buah hati kami, Zafran Akhtar Halim, yang saat itu berusia 11 bulan untuk memulai kehidupan barunya di Perth, Western Australia.

Seiring dengan tumbuhnya kesadaran terhadap lingkungan sekitar yang semakin baik, muncul keinginan dari kami untuk mulai memperkenalkan pola pendidikan bermain sambil belajar bagi putra kami tercinta.

Mengutip istilah orang Jawa, ‘mumpung’ berada di Australia, kami pun ingin mengoptimalkan tumbuh kembangnya dengan nilai-nilai pendidikan yang umum diterapkan di Australia, seperti kedisiplinan, kemandirian, sopan santun, kemampuan berempati, dan nilai lainnya, dalam periode masa emasnya atau yang sering dikenal dengan istilah “golden age”.

Keluarga Halim ketika baru tiba di Perth di tahun 2014. (Istimewa)
Keluarga Halim ketika baru tiba di Perth di tahun 2014. (Istimewa)

 

Berbagai informasi tempat bermain dan belajar yang banyak didapat dari kawan sesama orang Indonesia di Perth coba kami himpun. Sampai pada akhirnya kami memutuskan untuk mengikutsertakan putra kami kedalam sebuah playgroup meskipun usianya saat itu belum genap 1 tahun.

Terletak di area East Victoria Park, tidak jauh dari pusat kota Perth dengan 10 menit berkendara, playgroup ini membuka jadwal pertemuan rutin yaitu setiap hari Selasa, Rabu dan Kamis pukul 09.30-11.30. Masing-masing orang tua diberikan kebebasan untuk menentukan jumlah dan hari kedatangan putra/i mereka setiap minggunya.

Uniknya, proses pembelajaran bagi setiap anak diserahkan kepada masing-masing orang tua yang mendampingi selama mereka bermain dan belajar dalam playgroup ini. Hanya ada satu guru pendamping yang tugas utamanya adalah menyiapkan permainan di dalam dan di luar kelas. Sesekali ia membantu kami mengarahkan anak-anak ketika bermain.

Metode pendidikan yang diterapkan dalam playgroup ini menempatkan orang tua sebagai guru utama bagi putra/i-nya, mulai dari anak masuk kelas, bermain, “ngemil”, sampai ketika akan pulang. Menarik! Karena kami, terutama istri saya yang sering mendampingi putra saya bermain disana, pun ikut diuji kreativitasnya.

Penggantian jenis permainan dan buku dilakukan hanya saat memasuki semester baru, yang artinya kami menemui permainan dan buku yang sama selama satu semester disetiap minggunya.

Ini merupakan tantangan bagi para orang tua untuk mampu mengembangkan ragam pola pembelajaran yang bisa diambil dari setiap permainan, seperti pengenalan warna, nama benda/hewan/profesi, tekstur, ragam bentuk, membaca, berhitung, dan lain sebagainya, yang disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan masing-masing anak sehingga anak tidak merasa bosan.

Di area pojok kreatifitas, disediakan perlengkapan menggambar dan mewarnai. Terdapat pula lem, barang bekas (seperti tempat tissue, tutup botol, boks biskuit, dll), dan beragam potongan kertas yang dapat dimanfaatkan oleh anak-anak untuk membuat karya seni sesuai dengan imajinasi mereka.

Tantangan lain bagi kami, para orang tua, di area ini adalah terbatasnya jumlah kursi yang disediakan. Parenting skill kami pun diasah untuk mampu memberikan pemahaman yang logis namun mudah dicerna oleh anak-anak sehingga ia bisa mulai belajar untuk menghargai hak orang lain, seperti mau berbagi bahan, alat dan space yang digunakan dan mau bergantian dengan teman lainnya yang juga ingin bermain di area tersebut.

Zafran (kiri) menikmati suasana tepi laut di Perth bersama ayahnya, Abid Halim.
Zafran (kiri) menikmati suasana tepi laut di Perth bersama ayahnya, Abid Halim.

 

Dengan mempertimbangkan biaya yang menurut kami relatif terjangkau (untuk kalangan mahasiswa seperti saya) serta asyiknya metode pembelajaran yang diterapkan, saya dan istri sepakat untuk mengikutsertakan putra kami dalam playgroup ini sebanyak 2 kali setiap minggunya, yaitu pada hari Rabu dan Kamis.

Meskipun dengan durasi kurang lebih 2 jam setiap pertemuan, ia terlihat begitu senang dan bersemangat. Bagi kami proses ini sudah lebih dari cukup untuk perlahan membangun rasa percaya diri, kemandirian, dan kemampuan bersosialisasi putra kami melalui dunia bermain dan belajar.

Namun demikian, memutuskan untuk membawanya ke playgroup bukan semata karena ingin mengurangi tanggung jawab kami sebagai pendidik utama, namun lebih dikarenakan oleh dua hal.

Pertama, kami ingin mengembangkan kemampuan bersosialisasinya. Selama ini sebagian besar waktunya dihabiskan hanya dengan bermain bersama kami.

Tanpa kami sadari, kondisi ini membentuk karakternya menjadi penakut bahkan saat hanya berpapasan dengan orang lain. Tak jarang ia memilih untuk pergi atau mencari permainan lain saat ada anak sebayanya yang mendekati dan mengajaknya untuk bermain bersama ketika mereka berada di playground.

Kedua, mengantarkannya ke playgroup juga berarti memberi kesempatan kepada istri saya untuk bertemu dan bertukar pengalaman dengan para orang tua yang ikut mendampingi putra/i mereka, terutama perihal mendidik anak.

Beragam media informasi terkait dunia parenting banyak tersedia disana. Khusus di hari Kamis, istri saya berkesempatan untuk berkumpul dengan ibu-ibu Indonesia lainnya yang ikut menemani putra/i-nya bermain di playgroup ini. Jumlahnya cukup banyak dan mereka senang untuk saling berbagi informasi terlebih mengenai kegiatan masyarakat Indonesia yang diselenggarakan di Perth.

Adapun ‘bonus’ yang kami dapatkan dari penerapan pendidikan sejak usia dini ini yaitu ketika melihat putra kami secara perlahan terbiasa dengan budaya tertib dan disiplin.

Mengembalikan mainan pada tempatnya, tidak menyerobot mainan yang sedang dimainkan oleh temannya, mengantri untuk mencuci tangan, mengambil makanan secukupnya, duduk dengan rapi bersama kawan-kawannya selama menikmati makanannya sebelum dapat kembali bermain, dan membuang sampah pada tempatnya menjadi kebiasaan baik yang saat ini telah tertanam dalam dirinya.

Proses ini secara tidak langsung melatih putra kami untuk dapat mengatur emosinya, mengendalikan keinginannya, serta mendidiknya untuk bersabar dalam menunggu giliran.

Namun dari itu semua tentu masih panjang perjalanan kami sebagai orang tua dalam mendidik putra kami tercinta dan harus kami akui juga bahwa prosesnya tidaklah mudah.

Tetapi kami percaya bahwa berbagai pelajaran dan pengalaman yang ia dapatkan sejak usia dini akan sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya di masa depan.

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Abid Halim sedang menempuh program PhD di bidang Pendidikan pada Curtin University dan sebelumnya adalah dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Gorontalo.