ABC

Mahasiswa Australia Blusukan ke Kawasan Banjir di Jakarta

Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta bekerjasama dengan Universitas Wollongong, Australia, dan Twitter meluncurkan PetaJakarta.org. Sejumlah mahasiswa Australia terlibat dalam proyek ini, bahkan mereka sempat blususkan ke daerah banjir dan berbicara dengan penduduk setempat.

“Korban banjir di Jakarta benar-benar tangguh, sungguh menakjubkan melihat kekompakan di antara warga dalam melewati bencana banjir,” cerita Tim Norris, mahasiswa jurusan teknik sipil Universitas Wollongong (UoW) yang terlibat dalam ‘Peta Jakarta’.

Selain Tim, Matt Ellis, mahasiswa jurusan teknik lingkungan UoW, juga mengaku terkesan dengan realita yang dilihatnya ketika blusukan ke daerah banjir.

“Saat kita pertama kali sampai di sana, banjir masih selutut, tiba-tiba dalam waktu yang begitu cepat banjir semakin tinggi,” tuturnya kepada Nurina Savitri dari ABC, Rabu (28/1/2015).

Dari kiri ke kanan: Chelsea Flood, Samuel Knott, Tim Norris, Mitchel Calley, Nathan Brown, Breah Heinrich, Vivian Pham, Jess Fitt, Vanessa Davis, Matt Ellis. (Foto: Nurina Savitri)

Lain lagi cerita Vanessa Davis yang turut andil dalam proyek ini.

“Saya suka memotret manusia, terutama yang ada di pedalaman. Sangat menarik untuk mendengar cerita personal dari banjir. Buat saya, ini pengalaman yang menyadarkan, melihat orang mengalami bencana seperti itu dan harus bertahan seperti itu,” ungkap mahasiswi jurusan desain grafis ini.

 Tim, Matt, dan Vanessa bersama ke-7 rekan mereka dari universitas yang sama memang membantu proyek PetaJakarta.org yang dipimpin Dr. Etienne Turpin.

“Mereka ber-10 datang ke Jakarta dengan dana dari program ‘New Colombo Plan’ Pemerintah Australia. Ini adalah tim kedua yang datang, dan mereka berasal dari berbagai latar belakang, ada yang dari jurusan teknik, sosiologi, studi media, dan lain sebagainya. Semuanya adalah mahasiswa S1” ujar Etienne.

Menurut pria berkaca mata ini, latar belakang yang beragam memang dibutuhkan dalam proyek ‘Peta Jakarta’.

“Kita butuh orang teknik untuk memetakan daerah banjir, kita butuh orang sosiologi untuk memahami situasi masyarakat, kita butuh desainer untuk membuat website yang bagus, kita butuh orang media untuk memahami fenomena media sosial, hal tersebut penting bagi proyek ini,” jelas Etienne kepada Nurina Savitri dari ABC.

Mahasiswa Australia yang terjun dalam proyek ini diseleksi terlebih dahulu di UoW dan kemudian dikirim ke Jakarta selama 2 minggu untuk terjun langsung ke lapangan, mengoleksi data GPS dari lokasi banjir, berbicara kepada penduduk setempat dan mengamati dampak banjir terhadap kehidupan mereka.

“Di Jakarta, tanah berubah dengan cepat. Saluran air tak bisa diprediksi, kita tak tahu apa yang ada di dalamnya. Intensitas curah hujan juga sama sekali berbeda karena adanya perubahan iklim, kota ini benar-benar kompleks,” terang sang pemimpin proyek.

Para mahasiswa Universitas Wollongong Australia bersama rekan-rekan mereka dari Universitas Indonesia, di pintu air Katulampa, Bogor. (Foto: Etienne Turpin)

Tapi itulah, yang menurut Etienne, menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa Australia untuk bergabung dalam proyek ini.

Bagi para mahasiswa sendiri, terjun langsung ke daerah banjir di Jakarta memberi mereka wawasan baru dan tentunya pengalaman berkesan yang tak mungkin mereka dapatkan di kampung halaman.

“Ada beragam alasan mengapa banjir terus ada di daerah yang sama, selama berulang-ulang. Banyak orang di daerah banjir tak bisa menyewa atau membeli rumah di pemukiman pemerintah, jadinya mereka tertahan di situ, karena itu adalah satu-satunya cara bagi mereka untuk bertahan ,” kemuka Chelsea Flood, mahasiswa ilmu biologi.

“Mentalitas juga berperan. Mereka tak mau melepaskan rumah mereka dan berat meninggalkan tempat yang mereka tinggali selama ini,” tambahnya.

Sementara bagi Vivian Pham, mahasiswa teknik sipil, dengan datang langsung ke tempat kejadian, masalah infrastruktur bisa diperbaiki secara komperehensif.

“Ada hubungan manusia yang bisa kita amati dengan terjun langsung, dan ini penting, terutama kalau kita belajar teknik. Karena di dalam kelas, kita tak bisa mendapat pengalaman seperti ini,” akunya.

Kerjasama yang dijalin dengan mahasiswa Universitas Indonesia selama masa tinggal mereka di Jakarta juga memberi kesan tersendiri.

“Mereka memberi perspektif berbeda, mereka tahu banyak tentang Jakarta dan kami tidak, itu yang membantu penelitian kami di sini. Sangat bermanfaat untuk bisa melihat banyak pandangan dan metodologi yang bisa digunakan dalam penelitian ini,” utara Tim.

Kejadin unik-pun tak luput dialami para mahasiswa ini sewaktu berinteraksi dengan warga lokal. Seperti yang dialami Matt.

“Oya, lucu sekali waktu saya melihat ada ibu-ibu hamil meminta Matt mengusap-usap perutnya dan ia juga memencet hidung Matt berulang-ulang, katanya supaya anaknya nanti punya hidung mancung seperti Matt,” kisah Vanessa sambil tergelak menatap Matt.

Selain membantu BPBD dalam proyek ini, para mahasiswa Australia juga mempresentasikan hasil kerja mereka di Jakarta di hadapan Kementerian Luar Negeri Australia di Canberra.

Nathan Brown dkk tengah berdiskusi di kantor PetaJakarta.org di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan. (Foto: Nurina Savitri)

‘Peta Jakarta’ manfaatkan kecanggihan teknologi

Proyek ‘Peta jakarta’ memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan fenomena media sosial dalam mengatasi banjir di Ibukota Jakarta.

Ide ini dipelopori oleh Pusat Infrastruktur Universitas Wollongong Australia (SMART) yang kemudian menggandeng Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta sebagai mitra. Proyek ini-pun juga didukung oleh Twitter lewat program #DataGrants mereka.

PetaJakarta.org sendiri adalah sistem informasi berbasis web yang dihasilkan dari geo lokasi tweet para pengguna twitter di Jakarta. PetaJakarta mengambil lalu-lintas data yang ada di twitter, kemudian Data yang dihasilkan ini diolah untuk memetakan banjir di Jakarta.

“ Yang paling utama dari proyek ini, kami ingin menggunakan platform yang sudah tersedia, semua orang mengkopi peta dan mengirim informasi lewat Twitter dan menotifikasi kami di @petajkt, atau berbagi informasi dengan teman dan menotifikasi kami. Kami tak muluk-muluk meminta orang untuk mengunduh aplikasi, ini adalah gerakan yang kecil, sangat kecil namun berarti,” kemuka Etienne.