Pengalaman Keluarga Muslim Jalani Sistem Pendidikan Umum di Tasmania
Tahun pertama masuk sekolah umum di Tasmania, Australia, bagi Yahya, bocah berusia lima tahun, penuh dengan pelajaran. Bukan cuma buat dia tapi juga bagi kedua orangtuanya.
Keluarga ini berasal dari Pakistan. Yahya tiba di Hobart lima tahun lalu mengikuti orangtuanya. Mereka datang ke negara bagian itu sang ayah, Muhammad Wasim, bisa kuliah di University of Tasmania.
Ibu Yahya, Anjum Shaheen Khan, mengaku menghabiskan banyak waktu mencari sekolah terbaik untuk anaknya itu. Dia akhirnya memilih sekolah dengan ranking akademik yang tinggi.
Tapi Anjum mengatakan tidak berpikir bagaimana beragamnya murid-murid di sekolah itu.
“Ketika memilih sekolah, begitu banyak alasan memilih sekolah ini. Namun saya lupa bahwa tidak banyak murid dari keluarga Muslim,” katanya.
Anjum dan keluarganya memeluk agama Islam dan dia memilih mengenakan niqab.
“Sebagian besar orangtua murid tadinya melihat saya seakan-akan saya alien dari Mars. Terkadang pandangan mereka, maaf, tidak wajar,” katanya.
“Hal itu membuat hidup agak sulit – dan jika sulit bagi saya, bagaimana dengan anak berusia lima tahun? Bagaimana sulitnya hidup bagi mereka?” tuturnya.
Anjum Khan mengatakan pihak sekolah sendiri telah berupaya keras mengakomodasi keluarganya dan keyakinan mereka.
Tapi sesekali dalam kegiatan kelas – seperti musik dan menari, yang dimasalahkan dalam pandangan ortodoks – menimbulkan pertentangan dengan keyakinan keluarga ini. Dan menurut Anjum, menyebabkan kebingungan bagi Yahya.
“Dia terus bertanya, ‘Apakah saya diperbolehkan melakukan hal ini, diizinkan melakukan itu? Bolehkan saya makan ini? Mengapa saya tidak bisa melakukan itu?'” ujarnya.
Akhir tahun ajaran lalu menjadi sangat menantang bagi Anjum Khan dan keluarganya sebab kelas anaknya menghabiskan kegiatan bertema Natal.
“Kami menghormati orang lain merayakannya, tapi kami tidak diizinkan,” katanya.
“Secara ideologis kami tidak bisa melakukannya,” tambah dia.
Anjum menambahkan bahwa dia terkadang merasa berada di “gang buntu” dalam menjalani sistem pendidikan yang tidak terbiasa baginya.
“Terkadang kami tidak mengerti apa yang dituntut dari kami oleh sistem ini, apa yang harus kami lakukan dan dimana kami akan ditempatkan,” katanya.
Dia mengatakan ingin menyampaikan pengalamannya ini dalam membantu sekolah-sekolah di Tasmania memahami bagaimana membantu keluarga seperti dia bisa menyesuaikan diri.
“Jika mereka menerima budaya dan agama yang berbeda… setidaknya mereka harus mempertimbangkan keluarga yang tidak dibolehkan untuk [berpartisipasi dalam] hal-hal seperti ini,” katanya.
“Untuk anak-anak mereka, harus ada alternatifnya,” tambahnya.
Menerima Semua Agama dan Keyakinan
Dalam pernyataannya, Departemen Pendidikan Tasmania menyebutkan sekolah umum mengakui dan menghargai keragaman semua keyakinan dan agama.
“[Murid-murid] diakomodasi melalui penyesuaian pendidikan termasuk kegiatan belajar alternatif untuk memastikan agar keterampilan yang digariskan dalam kurikulum Australia bisa dikembangkan,” kata pernyataan itu.
“Hal ini termasuk kegiatan alternatif yang tersedia saat Natal dan Paskah bagi siswa dari agama lain, dengan mengakui meningkatnya keragaman kepercayaan di masyarakat Tasmania,” tambahnya.
“Terkait dengan murid-murid beragama Islam, umumnya mendapatkan penyesuaian dalam seragam sekolah dan kegiatan olahraga, serta pengakuan libur seperti Ramadhan, tempat beribadah dan waktu/tempat makan terpisah jika diperlukan,” demikian pernyataan itu.
Anjum Khan menghargai upaya kepala sekolah dan guru-guru anaknya tahun lalu, dalam membantu mengakomodasi kebutuhan anaknya itu sedapat mungkin.
Tapi sejumlah hal tetap menjadi tantangan. Misalnya, sekolah tidak memiliki ruang khusus untuk sholat Dzuhur. Yahya shalat di dekat kamar mandi saat tidak ada ruang lain yang kosong.
Namun demikian, anak bungsu Anjum bernama Zeerak akan mulai masuk TK tahun ini.
“Saya menghargai pihak sekolah… Saya menghargai para guru,” katanya.
“Saya berharap bisa menjadi lebih mudah, karena saya sudah melewati satu tahun dan saya akan lebih mudah menjalaninya untuk diriku, untuk anak-anakku,” ujarnya lagi.
“Aku akan memberi [mereka] kelonggaran… dan saya mengharapkan yang sama dari guru dan sekolah,” kata Anjum.
“Aku ingin meminta satu hal lagi. Bahwa memberi sambutan hangat bagi orang seperti kami, bisa seperti memberikan kami ruang untuk bernafas secara lebih mudah,” katanya.
Diterbitkan Pukul 13:00 AEST 7 Februari 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris.