ABC

Pengalaman Diplomat Indonesia Menjalani Sulitnya Belajar Hukum di Melbourne

Apa susahnya belajar hukum internasional sebagai studi lanjutan, bila anda bukan dari jurusan hukum? Apa perbedaan antara hukum Australia dan Indonesia? Berikut pengalaman Aurora Dwita Pangestu yang setahun terakhir menekuni program studi Hukum Internasional di Universitas Melbourne.

Bepergian dari satu tempat ke tempat lain mengajarkan saya mengenai banyak hal baru sekaligus memperkaya pengalaman saya akan berbagai bentuk tantangan baru.

Belajar hal baru merupakan tantangan yang membuat saya jatuh cinta kepada kegiatan yang satu ini. Hal tersebut  juga yang membawa saya pada pekerjaan saya saat ini yang memadukan kecintaan saya akan bepergian dan minat saya akan politik internasional dan isu-isu global dan pada akhirnya membawa saya ke Australia.

Berkecimpung dalam pekerjaan yang berkaitan dengan kasus-kasus hukum dimana banyak warga negara Indonesia menjadi korban kejahatan perdagangan manusia dan penyelundupan orang di luar negeri mendorong saya untuk mempelajari hukum internasional.

Dalam pikiran saya, apabila saya memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai hukum internasional yang berkaitan dengan isu-isu HAM dan kejahatan internasional serta aplikasinya, hal tersebut akan memudahkan saya dalam bekerja dan membantu memberikan perlindungan hukum dan kekonsuleran yang dibutuhkan oleh warga negara Indonesia di luar negeri.

Dalam memutuskan negara tujuan untuk belajar, Australia langsung terlintas di dalam pikiran saya dengan alasan yang sangat sederhana yaitu karena saya belum berkesempatan untuk mengunjungi “Negara Kangguru” ini sehingga merupakan suatu impian yang menjadi nyata apabila saya dapat berkunjung apalagi tinggal di sana.

Di antara semua kota di Australia, akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada kota Melbourne. Melbourne merupakan salah satu kota yang terpilih sebagai tempat tinggal ternyaman di dunia dan di kota ini terdapat Melbourne Law School, sekolah hukum terbaik di seluruh Australia dan terbaik ke-8 di dunia.

Aurora di hari pertama kuliah di Melbourne Law School di Universitas Melbourne
Aurora di hari pertama kuliah di Melbourne Law School di Universitas Melbourne

 

Maka pada bulan Juni 2014, saya berangkat ke Australia untuk memulai petualangan baru saya sebagai mahasiswa.

Saat itu saya merasa bersemangat karena akan mempelajari hal baru yaitu hukum internasional dan belajar menganalisis kasus-kasus hukum dan bagi saya Melbourne Law School merupakan pilihan paling tepat untuk mendalami hal tersebut.

Tantangan pertama yang saya hadapi sebagai mahasiswa non-hukum adalah mempelajari sistem hukum Australia yang sangat berbeda dengan sistem hukum Indonesia tanpa memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sistem hukum di Indonesia sendiri.

Australia, layaknya negara bekas koloni Inggris lainnya, mengadopsi sistem hukum Inggris yaitu sistem hukum Anglo Saxon (the Common Law) dimana hukum dibentuk berdasarkan putusan-putusan hakim dari kasus-kasus yang pernah ada sebelumnya. Ini membuat sistem hukumnya sangat dinamis dan adaptif terhadap situasi dan kondisi yang terjadi.

Hal ini sangat berbeda dengan sistem hukum Eropa Kontinental (the Civil Law) yang lebih kaku namun lebih pasti karena putusan-putusan hakim didasarkan kepada sekumpulan peraturan perundang-undangan tertulis yang berlaku di masing-masing negara (codified statutes).

Dalam kaitannya dengan sistem hukum Australia dan Indonesia, yang saya pahami kemudian adalah bahwa sistem hukum Australia menempatkan putusan kasus hukum sebagai sumber utama dari sistem hukumnya sementara sistem hukum Indonesia menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental yang diwariskan oleh Belanda,  digabungkan dengan hukum adat dan peraturan hukum Indonesia yang menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum utamanya.

Ketika mempelajari sistem hukum Australia, saya pun mendapati bahwa saya diharuskan untuk mempelajari mengenai sejarah Australia untuk memahami teori-teori dasar sistem hukum negara tersebut serta proses perkembangannya hingga mencapai bentuknya saat ini karena sumber hukum dari sistem ini tidak dikumpulkan dalam peraturan-peraturan tertulis.

Hal ini tentunya sangat berbeda dibandingkan dengan mempelajari sistem hukum di Indonesia dan putusan-putusan kasusnya dimana seluruhnya merujuk pada sumber-sumber hukum tertulis yang ada di Indonesia sehingga lebih mudah untuk ditelusuri dan dipelajari.

Selama belajar di Melbourne Law School, saya memfokuskan diri untuk mengambil mata kuliah yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hukum internasional sehingga saya mendapatkan kesempatan untuk memperluas dan memperkaya pengetahuan saya mengenai isu-isu yang berkaitan dengan hal-hal tersebut seperti hak asasi manusia bagi pengungsi, imigran internasional  hingga pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata.

Proses belajar yang saya alami tidak hanya terbatas pada proses belajar-mengajar di dalam kelas, tetapi juga melalui diskusi dengan mahasiswa-mahasiswa Australia maupun sesama mahasiswa internasional lainnya dan melalui seminar serta kuliah umum yang diadakan oleh pihak kampus.

Saya merasa beruntung mendapatkan kesempatan untuk belajar mengenai hukum internasional dari para pembicara yang berasal dari berbagai macam kalangan seperti para akademisi dari berbagai universitas di Australia seperti Monash University dan Wollongong University maupun dari luar Australia seperti Oxford University, Inggris dan McGill University, Kanada serta kalangan profesional seperti para diplomat Australia yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Australia  dan juga di United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).

Di depan salah satu ikon terkenal di kota Melbourne, Stasiun Kereta Flinders St.
Di depan salah satu ikon terkenal di kota Melbourne, Stasiun Kereta Flinders St.

 

Selama belajar di sini, saya merasakan bagaimana Australia memandang penting hubungan bilateral yang terjalin antara dirinya dengan Indonesia. Hal tersebut terlihat dari dibentuknya pusat penelitian akademik yang khusus membahas mengenai Indonesia yaitu the Centre for Indonesian Law, Islam and Society (CILIS).

CILIS cukup aktif mengadakan berbagai seminar yang membahas isu-isu terkini di Indonesia seperti dinamika pemilihan presiden tahun lalu, kasus Bali Nine dan Hukuman Mati hingga mengundang tokoh hukum terkemuka dari Indonesia seperti Prof. Todung Mulya Lubis untuk memberikan kuliah umum mengenai perkembangan sistem hukum Indonesia.

Para peserta dari kuliah umum dan seminar ini tidak hanya berasal dari para mahasiswa Indonesia yang kuliah di University of Melbourne tetapi juga mahasiswa dan masyarakat Australia di Melbourne.

Setelah hampir satu tahun menjadi mahasiswa di sini, saya merasa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melakukan analisis hukum mengenai berbagai persoalan hukum, terutama yang berkaitan dengan hukum internasional dan HAM.

Selain itu, saya juga mendapatkan pemahaman lebih mengenai satu isu yang selama ini menarik perhatian saya secara pribadi mengenai Australia yaitu hubungan Australia dengan kaum Aborigin dan bagaimana sistem hukum Australia dikembangkan untuk membantu memperbaiki dan meningkatkan hubungan di antara keduanya.

Hal lain yang saya rasakan sebagai mahasiswa di sini adalah semakin luasnya pemahaman saya mengenai kebijakan-kebijakan hukum dan politik dari perspektif Australia mengenai isu-isu politik dan hukum internasional, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan Indonesia seperti isu penyelundupan manusia, pencari suaka dan hak asasi manusia.

Saya teringat kembali mengenai perkataan teman-teman dan kolega di kantor mengenai bagaimana sulitnya menjadi mahasiswa hukum.

Memang benar adanya bahwa kehidupan sebagai mahasiswa hukum, terutama di Melbourne Law School, sangat menuntut dengan banyaknya jumlah bahan bacaan wajib yang harus diselesaikan. Kelas-kelas intensif yang harus dilewati dan ujian tertulis dengan jumlah kata yang sangat banyak yaitu antara 6000 hingga 8000 kata.

Namun di samping itu semua, saya sangat menikmati hidup di Melbourne karena kota ini memberikan saya kesempatan untuk menjelajah hal-hal lain yang saya sukai yaitu kopi dan makanan.

Melbourne merupakan kota kopi dan kuliner sehingga saya berkesempatan untuk mencicipi kopi-kopi terbaik dari berbagai kedai kopi menarik yang ada di kota ini sekaligus menikmati berbagai macam jajanan maupun sajian kuliner dari bermacam-macam negara.

Pada akhirnya, kehidupan di Melbourne yang awalnya hanya dilatarbelakangi keinginan untuk belajar mengenai hukum berkembang menjadi suatu pengalaman yang sangat kaya dan akan terus membekas di hati dan pikiran saya, tidak hanya sebagai seorang mahasiswa tetapi juga sebagai penjelajah.

* Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Aurora Dwita Pangestu merupakan diplomat muda di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan juga penerima beasiswa Australia Awards tahun 2014. Saat ini Aurora tengah menyelesaikan studi Master of Public and International Law di Melbourne Law School, the University of Melbourne.