Pengalaman Belajar Berbahasa Inggris di Negara Baru
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para pengungsi setelah menetap di Australia adalah mengatasi hambatan bahasa, karena banyak dari mereka yang berasal dari negara-negara di mana bahasa Inggris tidak banyak digunakan.
Wajahat Ali dibesarkan di Quetta, Pakistan, dan kini tinggal di Adelaide. Ia mengatakan kepada Australia Plus tentang pentingnya belajar bahasa Inggris – terutama bahasa gaul atau ‘slang’ – di Australia.
Datang ke Australia adalah perubahan besar bagi keluarga Ali. Di Pakistan, tempat asal mereka, semuanya berbahasa Urdu. Di Australia, semua hal ditulis dalam bahasa Inggris.
Wajahat, 42 tahun, dan istrinya, Saiqa, 38 tahun, harus menghadiri kelas bahasa Inggris secara rutin untuk meningkatkan kemampuan bahasa mereka.
Mereka mengikuti kelas selama dua jam sehari, dua hari seminggu selama sekitar tiga tahun.
“Sekarang kami bisa membaca semuanya,” tutur Wajahat.
Ketika mereka tiba, Wajahat hanya tahu sedikit bahasa Inggris sementara Saiqa tak tahu sepatah kata pun.
Namun pasangan tersebut berusaha keras untuk belajar bahasa karena merasa bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang penting untuk bisa diketahui.
"Anda tak bisa mendapatkan pekerjaan atau berbisnis di Australia tanpa bahasa Inggris. Anda dianggap buta, tuli, dan bodoh jika tak bisa bahasa Inggris di Australia."
Wajahat, istri dan ketiga anaknya melarikan diri dari Pakistan empat tahun yang lalu setelah bertahun-tahun diancam oleh kelompok ekstrimis.
Itu terjadi karena Wajahat dan keluarganya termasuk dalam komunitas minoritas Muslim Syiah.
Pemicu terakhir adalah ledakan bom yang terjadi hanya 300 meter dari rumah Wajahat. Ledakan tersebut menewaskan 130 orang.
Keluarga ini menjual semua barang mereka dan tiba di Pulau Christmas empat tahun yang lalu. Kini, mereka tinggal di Adelaide.
Wajahat mengatakan, anak-anaknya sangat senang di Australia karena mereka punya banyak teman di sekolah.
Mereka berbicara bahasa Inggris dengan lancar, dan terkadang orang tua sulit memahami mereka.
“Mereka lebih suka berbahasa Inggris, aksen mereka seperti orang Australia dan mereka melupakan bahasa ibu mereka sendiri,” ujarnya.
Bahasa ibu keluarga Ali adalah Dari, sebuah bahasa Persia yang dipakai di Afghanistan.
Mohammad Al-Khafaji, CEO Welcome to Australia, mengatakan bahwa bahasa adalah rintangan terbesar bagi para pengungsi.
“Anda tak bisa melakukan apapun di sini [tanpa mengetahui bahasa Inggris], bahkan jika Anda memiliki keterampilan,” sebutnya.
Welcome to Australia mengelola Welcome Center di Adelaide yang menyelenggarakan kelas bahasa Inggris untuk pendatang baru.
Wajahat menghadiri kelas lanjutan di Welcome Center tempat ia belajar tentang kata kerja, kata benda dan cara membuat kalimat yang tepat. Ia mengamati bahwa bahasa Inggris Australia benar-benar berbeda.
“Di sini mereka menggunakan banyak bahasa gaul dan aksennya sangat sulit dimengerti. Saya harus mengatakan: ‘Maaf, bisakah anda berbicara pelan?’,” katanya.
Ia juga belajar ungkapan ‘bring a plate’ (potluck), karena siswa di kelasnya didorong untuk membawa makanan untuk dibagikan.
Saiqa, di sisi lain, memulai di kelas pemula namun telah membuat kemajuan yang luar biasa bagi seseorang yang tidak banyak mengenal bahasa Inggris.
Ia pindah ke kelas lanjutan dalam waktu dua bulan karena ia sangat ingin belajar bahasa Inggris.
Ia masih belajar dan merasa materi membaca begitu menantang dari waktu ke waktu, tapi ia seringkali memecah kata-kata panjang dan mencari tahu pelafalannya per suku kata.
Pasangan tersebut menjalankan bisnis warung makanan di luar pusat kota Adelaide dan mereka mengatakan bahwa mereka mempraktikkan bahasa Inggris mereka dengan berbicara kepada pelanggan.
"Saya belajar untuk mengatakan: ‘Apakah anda mau saus?’ dan jika saya bilang ‘Maaf, saya tidak mengerti’, mereka akan memberi tahu saya dalam bahasa Inggris yang sederhana," kata Wajahat.
Mohammad Al-Khafaji dari Welcome to Australia mengatakan bahwa membuat sesi belajar bahasa sebagai sebuah pengalaman sosial membantu para pengungsi.
“Banyak orang belum belajar bahasa ini jadi kami harus inovatif, misalnya menggunakan catur dan Uno untuk mengajar bahasa Inggris.”
Ia mengatakan, hasil terbaik dicapai saat kelas percakapan itu inklusif dan memberi semangat.
“Ada pergeseran yang luar biasa dalam sikap orang terhadap pembelajaran bahasa,” katanya, seraya menambahkan bahwa sebagian besar pengungsi tertarik pada bahasa gaul Australia.
Welcome Center adalah dijalankan secara sukarela dan orang-orang yang menghadiri sesi ini bisa mempraktikkan bahasa Inggris mereka dengan orang lain, termasuk para penutur asli.
Wajahat, yang menemukan percakapan sebagai materi tersulit dari bahasa Inggris, merasa media sosial sangat berguna untuk belajar bahasa ini di zamannya sendiri.
Kiatnya untuk belajar bahasa Inggris adalah:
"1. Cobalah untuk berbicara, jangan malu. Bangun kepercayaan diri dan.
2. Berbicaralah dengan anak-anak anda dalam bahasa Inggris."
Tim ABC Behind The News telah bermitra dengan organisasi Welcome to Australia untuk memproduksi buku ‘Welcome Book for kids’ yang akan dimasukkan dalam paket Welcome Pack yang diberikan ke semua pengungsi ketika mereka tiba di Australia. Anda bisa membuka buku Welcome Book di sini.