ABC

Pengakuan Formal AS Terkait Yerusalem Ditanggapi Beragam

Langkah Donald Trump yang akan secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel telah disambut baik oleh kelompok pro-Israel yang berbasis di Australia, namun dikritik oleh warga Australia keturunan Palestina.

Melanggar kebijakan puluhan tahun Amerika, Presiden Donald Trump telah mengatakan kepada para pemimpin Otoritas Palestina dan Yordania bahwa dia berencana untuk memindahkan kedutaan Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Keputusan tersebut telah memicu kekhawatiran akan adanya gelombang baru kekerasan di wilayah Palestina yang diduduki dan di dunia Arab.

Tapi Dr Danny Lamm, Presiden Federasi Zionis Australia, mengatakan bahwa dirinya senang dengan pengumuman yang akan datang itu.

“Ini adalah pengakuan atas fakta bahwa Israel adalah satu-satunya negara di dunia di mana ibu kota negaranya sendiri tidak diakui oleh negara-negara lain di dunia,” katanya.

“Fakta bahwa Presiden Trump, Gedung Putih, Amerika Serikat semoga saja akan membuat pengumuman resmi besok (7/12/2017) adalah salah satu yang kami sambut baik. Akhirnya.”

“Tujuh puluh tahun setelah PBB memilih untuk mengakui kemerdekaan Israel, bahwa ibu kota-nya harus diakui, ini merupakan waktu yang sangat tepat.”

Donald Trump
Donald Trump mengunjungi Tembok Barat, salah satu situs tersuci di Yerusalem, pada bulan Mei.

AP: Evan Vucci

Dr Danny Lamm mengatakan dia berharap Australia akan mengikuti jejak AS dan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

“Saya tidak berpikir komunitas Yahudi atau Israel akan berusaha menambah ketegangan atau konflik apapun,” katanya.

“Ini adalah keputusan yang jelas akan menimbulkan kegembiraan dan mungkin kontroversi internasional.”

“Tapi mudah-mudahan seiring berjalannya waktu, negara-negara Barat yang merdeka juga akan sampai pada kesimpulan bahwa mereka telah berperilaku buruk selama ini karena tidak mengakui hak Israel agar ibu kota negaranya sendiri diakui.”

Menteri Luar Negeri Julie Bishop mengatakan bahwa tidak ada rencana bagi Australia untuk mengalihkan kedutaannya dari Tel Aviv.

Aktivis Palestina ‘marah tapi tidak terkejut’

Yerusalem adalah rumah bagi tempat-tempat penting untuk umat Muslim, Kristen dan Yahudi, yang telah lama menjadi sumber pertikaian dalam konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam rencana pemilahannya tahun 1947, memutuskan untuk menempatkan Yerusalem di bawah “rezim internasional permanen” yang dikelola oleh PBB, yang berarti baik orang Israel maupun Palestina dapat mengklaim kota itu sebagai ibu kota mereka.

Keputusan ini tetap menjadi posisi PBB, meskipun Israel merebut kota tua dan Yerusalem Timur dari Yordania selama Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan sejak itu telah mengeluarkan undang-undang yang menyatakan Yerusalem sebagai “ibu kota abadi dan tak terbagi”.

PM Israel Benjamin Netanyahu
Masyarakat internasional – termasuk Amerika Serikat – telah menolak untuk mengakui kedaulatan Israel atas Yerusalem.

Dalam beberapa dekade sejak pengakuan sepihak itu, masyarakat internasional – termasuk Amerika Serikat – telah menolak untuk mengakui kedaulatan Israel atas Yerusalem.

Profesor Bassam Dally, Wakil Presiden Jaringan Advokasi Palestina Australia, mengatakan bahwa dirinya “marah dan frustrasi tapi tidak terkejut” dengan keputusan Presiden Donald Trump yang akan membalikkan kebijakan AS selama berpuluh-puluh tahun.

Menurutnya langkah tersebut dapat memicu kemunduran perundingan damai Israel-Palestina dan menyebabkan demonstrasi di wilayah tersebut.

“Masalahnya dengan Jerusalem tentu saja adalah ada sekitar  240.000 warga Palestina tinggal di sana, 40 persen dari ekonomi Palestina. Dan secara agama, Jerusalem tentu saja amat penting bagi kaum Muslim dan Kristen.”

“Yerusalem penting bagi banyak orang.

“Ini mungkin saja dapat memicu sesuatu yang lebih besar, saya harap tidak, tapi saya tidak akan terkejut bahwa akan ada tindakan dan tindakan balasan. Ini tidak baik untuk siapa pun pada akhirnya.”

Dia mengatakan dia berharap warga Palestina akan menangani masalah itu dengan pendekatan “di bidang politik, daripada melakukan intifadah ketiga melawan Israel]”.

Dan dia meminta Pemerintah Australia untuk mengakui bahwa keputusan Presiden Donald Trump itu sebagai sesuatu yang “setidaknya, tidak membantu, atau justru merusak”.

Demonstrasi do'a bersama di Jerusalem
Kedua pihak dalam konflik Israel-Palestina ingin menghendaki kota suci jerusalem sebagai ibukota negara mereka.

Reuters: Ronen Zvulun

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.