ABC

Penelitian Terbaru: 63,5 Persen Penyintas COVID-19 Alami Sindrom ‘Long COVID’

Ikatan Dokter Indonesia pernah menyatakan sebanyak 21 persen pasien yang sembuh dari COVID-19 akan merasakan gejala yang menetap atau yang biasa disebut dengan ‘long COVID’.

Namun, penelitian terbaru mengungkap angka tersebut bisa jauh lebih besar, seperti dijelaskan dr Agus Dwi Susanto, dokter spesialis paru sekaligus ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Penelitian dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Persahabatan dengan menyurvei 463 orang pada bulan Desember 2020 hingga Januari 2021.

“Dari persentase itu, gejalanya bervariasi. Mulai dari keletihan yang menetap, sakit kepala, sesak nafas, sampai batuk, pokoknya bervariasi,” tambahnya.

Grafik Long COVID
Hasil penelitian yang menyurvei 463 orang yang sembuh COVID-19 di Indonesia pada bulan Desember 2020 sampai Januari 2021.

Grafik: Jarrod Fankhauser

Dokter Agus menjelaskan selain gejala yang menetap, pasiennya juga kerap mengeluhkan keterbatasan fungsional yang mereka alami.

“Sebagian besar pasien saya yang mengeluh tentang ‘sequelae’ (gejala sisa) atau long COVID merasakan kelelahan, sesak napas, keterbatasan aktivitas fisik, dan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas rutin yang biasa mereka lakukan seperti dulu sebelum mereka sakit COVID,” kata dr Agus Dwi Susanto kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

“Yang biasanya ia bisa bekerja sampai sore, baru setengah hari ia merasa keletihan atau kelelahan, kemudian mengantuk, itu beberapa problem yang disampaikan.”

Dampak long COVID tak sekedar fisik

Juno
Setahun setelah ia dinyatakan sembuh dari infeksi COVID, Juno Simorangkir merasa belum sepenuhnya sembuh karena masih mengalami keluhan klinis.

Supplied.

Juno Simorangkir adalah salah satu dari mereka yang mengalami ‘long COVID’ setelah dinyatakan sembuh dari COVID-19.

Setelah hampir dua bulan dirawat di rumah sakit dan diisolasi sejak Maret tahun lalu, dia mengira kesehatannya akan kembali normal.

Tapi Juno masih merasakan seperti merasa lemas, mendadak menggigil, bahkan jantung berdebar.

“Enggak tenang pokoknya, enggak bisa tidur dan ada rasa menusuk di sekujur badan,” ujar Juno.

Hingga hari ini Juno juga mengaku merasakan ‘phantosmia’ atau semacam halusinasi penciuman, pembesaran kelenjar getah bening, telinga berdenging, dan rasa nyeri di saluran kencing.

Beberapa yang sembuh juga merasakan tubuh yang tidak berfungsi normal, seperti dituturkan Daulat, yang mengaku kehilangan pekerjaan karena mengalami ‘long COVID’.

Daulat yang sehari-hari bekerja sebagai seorang pembuat konten, hanya bisa menyelesaikan setengah dari target hariannya di tempat kerja.

“Biasanya itu saya kalau selama WFH [bekerja dari rumah] itu jam 7 sampai 10 pagi sudah bisa menyelesaikan lima berita … tapi ini baru buka laptop aja saya bingung mau ngapain,” katanya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

Daulat mengatakan ia diminta kantornya untuk beristirahat selama satu setengah bulan, tetapi ketika dia siap kembali ke kantor, dia dibebastugaskan.

Hingga Oktober tahun lalu, lebih dari 6,4 juta orang Indonesia telah mengundurkan diri atau dipecat karena pandemi, menurut data Kamar Dagang dan Industri Indonesia.

Sebuah survei Kementerian Tenaga Kerja yang dirilis bulan Januari lalu menunjukkan 17,8 persen perusahaan telah memecat pekerjanya, 25,6 persen telah merumahkan pekerjanya, dan 10 persen telah melakukan keduanya.

Ilustrasi Covid
Bahkan setelah dinyatakan negatif dan sembuh dari infeksi COVID, para pasien belum bisa dinyatakan benar-benar sembuh.

Supplied: Shuttershock/ Pordee Aomboon

‘Long COVID’ membuat angka kesembuhan menjadi problematis

Adanya sindrom pasca-COVID-19 yang dialami sejumlah orang membuat definisi kesembuhan juga perlu dilihat dari dua sisi, ujar dr Agus.

“Istilah ‘recovery’ yang digunakan oleh pemerintah selama ini hanya berarti pulih dari infeksi. Tapi dari sudut pandang pasien, sembuh kan berarti kembali normal [sebelum tertular COVID],” ujarnya.

Dr Dicky Budiman, epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health, Griffith University Australia mengatakan, kesembuhan sebenarnya memiliki definisi dari aspek epidemiologis, sosial, dan klinis.

Menurutnya, seseorang bisa dikatakan sembuh secara epidemiologi jika ia tidak bisa lagi menularkan COVID, sementara sembuh secara klinis berarti tidak ada fungsi organ tubuh yang tidak terganggu.

Dari aspek sosial, sembuh adalah jika kehidupan sosial dan aktivitasnya bisa berlangsung normal seperti sebelumnya.

“Dari aspek klinis, kita tahu ada sejumlah kasus long COVID yang dampak jangka panjangnya belum diketahui.”

Menurut dr Dicky, ketiga aspek kesembuhan ini harus terpenuhi, karenanya parameter kesembuhan yang digunakan Pemerintah Indonesia dalam penanganan COVID-19 menjadi problematis.

“Kesalahkaprahan saat kasus pemulihan ini selain ilmiah itu tidak tepat, tidak berbasis definisi operasional yang ilmiah, tidak didukung oleh ketiga aspek tadi, kemudian juga akan menyesatkan dalam strategi pengendalian pandemi, yang menimbulkan rasa aman semu.”

Menanggapi hal ini, juru bicara Satgas COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengakui kesembuhan bukan hanya satu-satunya parameter keberhasilan dan pemerintah menggunakan definisi kesembuhan COVID-19 yang mengacu pada “standar nasional yang juga diadaptasi apa yang ditetapkan WHO.”

Presiden Joko Widodo pekan lalu kembali menekankan angka kesembuhan COVID-19 di Indonesia di saat tercatat lebih dari 1,3 juta kasus positif dan setidaknya 36.000 kematian dalam setahun terakhir.

“Kesembuhan per 3 Maret 2021, Indonesia berada di angka 86,18 persen. Rata-rata dunia ada di angka 78,93 persen. Artinya kita lebih baik dari angka rata-rata kesembuhan dunia.”

Meski demikian, angka rata-rata kesembuhan dunia menurut Worldometer tercatat sebesar 97 persen.

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan

Agus Dwi Susanto
Dr Agus Dwi Susanto, ahli paru, optimistis ada harapan untuk pasien yang mengalami long COVID kembali normal meski banyak studi lebih lanjut yang masih harus dilakukan.

Supplied: Koleksi Pribadi

Para pakar kesehatan setuju jika ‘long COVID’ di Indonesia merupakan masalah baru yang harus menjadi perhatian dan ditangani dari berbagai aspek disertai studi lanjutan.

Namun, dr Agus merasa cukup optimistis saat ditanyai tentang kemungkinan pasien yang masih mengalami ‘long COVID’ bisa kembali normal.

“Ada satu kasus pasien yang memiliki nilai fungsi paru sekitar 48 persen setelah dinyatakan sembuh dari infeksi COVID-19, saat itu kondisinya susah berjalan dan susah bicara karena terengah-engah,” ujarnya.

“Tapi setelah menjalani pengobatan selama dua bulan, city scan dan spirometri menunjukkan nilai kapasitas parunya bisa mencapai 78,9 persen, mendekati nilai normal 80 persen.”

“Saya enggak jamin total, tapi saya punya record seperti itu. Dan menurut penelitian lain, sekitar 20 persen tidak bisa dikembalikan kondisinya sementara 80 persen lainnya bisa. Tapi sayangnya memang kita belum punya data di Indonesia.”