ABC

Peneliti Indonesia dan Cerita Cintanya dari Kota Brisbane

Stress harus menyelesaikan pendidikan doktor di luar negeri bisa juga membuat seseorang menjadi kreatif di bidang lain. Inilah yang ditulis oleh Jane Ahlstrand mengenai Temi Pratomo dalam blog Jembartan. Kreativitas apa yang dilakukan oleh Temi Pratomo?

Di sela-sela menulis disertasi di University of Queensland, Temi Pratomo, seorang mahasiswa Strata 3 asal Indonesia telah berhasil menulis bukan satu tetapi dua buah novel yang terinspirasi oleh kehidupannya di Brisbane, ibu kota wilayah Queensland, Australia. 

Dua novel ini yang berjudul “Cerita Cinta Dari Brisbane” dan “From Brisbane with Love” merupakan kumpulan kisah cinta yang berbuah dari imajinasi Temi saat di Brisbane sambil belajar di kampus University of Queensland (UQ).

Menulis novel sambil mengerjakan disertasi justru bukan hal yang mudah, apalagi jika sedang menjalankan hidup sebagai mahasiswa di rantau.

Bagaimana Temi dapat mencari inspirasi untuk berkarya sambil menghadapi tantangan kuliah di Australia?

Niat Temi untuk menulis memang sudah ada semenjak duduk di bangku SMP, tetapi sempat “mati suri” cukup lama sebelum kembali lagi ketika kuliah S2 di Norwegia.

Sekarang, semenjak tinggal di Australia, hobi Temi untuk menulis “menjadi menggila.” 

Dengan suasana tenang dan tertib dan gedung-gedung yang bergaya klasik, kampus UQ menjadi sumber inspirasi untuk Temi.

“Ya, kondisi UQ yang memang seperti kampus impian, membuat inspirasi itu terus menerus keluar,” kata perempuan peneliti LIPI itu.

Meskipun semua tokoh dalam ceritanya merupakan fiksi belaka, memang terkadang juga ada beberapa teman yang menjadi inspirasi untuk menciptakan sebuah tokoh dalam ceritanya.

“Tetapi yang tentunya saya modifikasi,” kata Temi.
Walaupun fokus utama Temi di Brisbane memang untuk kuliah di bidang Earth and Environmental Science, menulis novel justru menjadi obat jenuh dalam menghadapi disertasi yang sangat penuh tantangan.

“Semakin saya stress karena disertasi, semakin kuat keingianan saya untuk menulis novel.  Lucu ya?”  ujar Temi.

temipratomo1_supplied_170721

Menulis novel disela-sela menulis disertasi memang tidak mudah.

“Saya butuh waktu satu setengah tahun untuk mengumpulkan kelima cerita yang tertuang dalam dua buku tersebut,” imbuhnya.

Secara independen, Temi telah berhasil menelurkan dua kumpulan cerita itu dalam bentuk novel.

“Pertama-tama semua tulisan itu diupload di blog pribadi saya untuk mendapatkan feedback dari pembaca dan juga melihat respon ‘pasar’ sebelum isinya diperbaiki,” kata Temi.

Pada suatu hari di kampus di UQ, sebuah pertemuan dengan teman kuliah membuat Temi termotivasi untuk mempublikasikan cerita-ceritanya secara independen.

“Saya bertanya bagaimana caranya dia mempublikasikan puisi-puisi karyanya. 

Ternyata dia melakukan secara indipenden dan suaminya yang menjadi penerbitnya.”

Sampai saat ini, respon dari pembaca cukup bagus.

“Target saya adalah teman-teman alumni UQ, karena tujuan saya menulis adalah memberikan suvernir kepada mereka, sesuatu yang mampu membuat mereka selalu mengingat UQ dan Brisbane pada umumnya,” kata Temi.

Buku pertama sudah habis 170 eksemplar dan buku kedua yang baru diterbit masih tinggal beberapa buah.

Untuk ke depannya, Temi sangat mengharapkan cerita-ceritanya bisa dipublikasikan oleh penerbit resmi.

“Walaupun saya tahu saya harus kerja keras untuk itu. Masih banyak sekali yang harus saya perbaiki,” kata Temi.

Temi juga menyarankan penulis-penulis lainnya yang masih malu-malu untuk tidak pernah takut gagal.

“Karena gagal itu hal yang biasa yang pasti akan dihadapi.”

Dengan mengutip film Indonesia berjudul, Stand by me oleh Rudi Soedjarwo, Temi menekankan bahwa “Sebuah karya nggak seharusnya hanya tersimpan di lemari.”

* Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di situs Jembartan, blog yang membahas hubungan Indonesia dan Australia melalui kesenian. Jane Ahlstrand adalah mahasiswa S3 Universitas Queensland yang sedang meneliti mengenai Indonesia, dan sejak lama mengenal dan mempromosikann kesenian Indonesia di Australia.