ABC

Pendapatan Lulusan Sekolah Kejuruan Tidak Kalah Tinggi dari Lulusan Sarjana di Australia

Penelitian yang dilakukan di Australia menunjukkan bahwa mereka yang lulus dari sekolah kejuruan ketika bekerja mendapat penghasilan yang tidak kalah tinginya dari lulusan universitas.

Apalagi dibandingkan dengan mereka yang memiliki NEM yang rendah ketika tamat SMA yang kemudian memilih jurusan di universitas dengan mata kuliah yang sangat umum.

Di Australia, sama seperti juga di negara lain, kecenderungan untuk masuk ke universitas masih lebih tinggi dibandingkan untuk masuk ke sekolah kejuruan.

Padahal masa kuliah di universitas lebih lama, dan kadang mahasiswa kemudian memiliki utang untuk membayar uang kuliah lebih banyak dibandingkan sekolah kejuruan yang masa sekolahnya lebih pendek.

Bagaimana pengalaman beberapa warga Australia dan Indonesia yang sedang bekerja di Australia saat ini.

Liam and his teacher in a computer lab.
Liam Mills mengatakan lebih cocok berada di depan komputer daripada mendengarkan pengajaran dosen di kelas.

ABC News: Brendan Esposito

TAFE sudah cukup

Sekolah kejuruan di Australia pada umumnya dikenal dengan nama TAFE dengan kepanjangan Technical and Further Education (Pendidikan Teknik dan Lanjutan).

Kursus di TAFE ini ada yang berlangsung selama beberapa bulan sampai maksimal dua tahun.

Liam Millis seorang pemuda 19 tahun asal Sydney tahun lalu pada awalnya memutuskan masuk ke universitas, namun kemudian beralih ke TAFE mengambil jurusan pengembangan web.

Menurutnya, jurusan yang ia tekuni membutuhkan lebih banyak praktek dibandingkan pengajaran teori di universitas.

“Saya lebih senang praktek. Jadi duduk di kelas kurang cocok untuk saya. Saya lebih suka bekerja di depan komputer.” kata Liam.

Liam mengatakan pada awalnya dia mengira ke universitas adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan kerja yang bagus dan gaji tinggi.

“Keputusan masuk universitas itu sebenarnya hanya ikut-ikutan karena kebanyakan teman yang melakukannya,” kata Liam.

“Dari SMA saya tahunya setelah lulus harus kuliah. Tapi ketika mulai kuliah, saya sadar apa yang sebenarnya saya inginkan.” kata Liam menjelaskan mengapa dia memilih sekolah kejuruan di TAFE.

Kuliah dan punya sertifikat TAFE

Hilman
Hilman yang lahir di Jakarta namun besar di Australia melihat pentingnya sertifikat TAFE dan gelar sarjana dalam mencari pekerjaan.

Foto: supplied

Mengambil sekolah kejuruan sebagai langkah pertama dan alternatif selain masuk universitas seperti yang dilakukan oleh Hilman Eka Pramudiarta asal Jakarta yang sudah tinggal di Melbourne, Australia sejak 11 tahun yang lalu.

Hilman sekarang sedang menempuh pendidikan S1 Keperawatan di Universitas Katolik Australia, namun pemuda berusia 24 tahun ini sudah memiliki sertifikat TAFE Diploma Keperawatan karena ingin dapat bekerja sembari kuliah.

“Saya memilih jalur ini supaya bisa menghubungkan dunia kerja dengan belajar di bidang yang saya pilih,” kata Hilman.

Berkat sertifikat TAFE ini, ia dapat bekerja lepas di Agen Perawatan Belmore dan di sebuah panti lansia di Sunbury, masing-masing 14 dan 42 km dari kota Melbourne.

Menurut Hilman, universitas dan TAFE sama-sama baik tergantung tujuan. Perbedaannya terdapat di waktu penyelesaian dan tingkat kesulitan keduanya.

“Keduanya efektif dengan caranya masing-masing. Kalau mau langsung bekerja, TAFE bagus karena pada umumnya kursus ini lebih cepat dan mudah diselesaikan menurut pengalaman saya,” jelasnya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

“Sedangkan kalau universitas memerlukan komitmen akademis lebih dibandingkan TAFE. Namun, universitas menawarkan jalur yang tidak ditawarkan TAFE.”

“Sama halnya dengan struktur pendidikan TAFE yang tidak ditawarkan universitas.”

“Modalnya keberanian”

Seorang warga Indonesia lainya yang sekarang tinggal di Melbourne, I Gede Bakti Sosial yang berasal dari Bali, tidak pernah mengenyam pendidikan TAFE di Australia namun memiliki pekerjaan di bidang-bidang kejuruan seperti pertukanngan.

Gede sudah tinggal selama sembilan tahun di Australia dan memiliki bisnis sendiri di bidang pertukangan sejak Juni 2018.

Tanpa gelar sarjana, Gede yang seiring waktu menempuh kursus pendek agar dapat bekerja di bidang yang ia inginkan, mengatakan bahwa posisinya saat ini ia raih dengan ‘modal berani’.

“Modalnya keberanian, bukan kursus yang hanya membuat percaya diri karena punya izin kerja, sedangkan pengalaman belum tentu.”

Gede memulai karirnya di Australia dari nol. Ia pernah bekerja sebagai buruh di beberapa tempat namun seringkali tidak tahan lama karena kondisi fisik.

“Beberapa bulan saya pernah dibawa sepupu kerja buruh selama beberapa bulan,” kata laki-laki berusia 34 tahun itu.

“Tapi waktu kerja mengangkat besi lama-lama tidak tahan karena badan saya kecil.”

Pekerjaan demi pekerjaan ia jalani hingga suatu hari diusulkan untuk membuka usaha sendiri di bidang pertukangan oleh pelanggan yang merasa puas.

“Di bulan Februari 2019 ini usaha saya mulai ramai dan dikenal orang.”

Meski pendapatan tidak tetap, Gede mengatakan bisnis tersebut selalu menutupi biaya makan dirinya, istri dan anak.

“Kalau berbisnis penghasilan seperti angin, kadang banyak, kadang tidak,” kata laki-laki yang mengambil kursus perkapalan di Bali tahun 2006 itu.

Dari pengalamannya, Gede mengatakan bahwa jumlah pendapatan setara dengan seberapa besar usaha yang dilakukan seseorang.

“Masalah berapa pendapatan, itu sebenarnya tergantung orang saja. Kalau mau kerja keras, walau gaji sedikit pasti terkumpul banyak.”

Lebih senang menjadi asisten guru saja

Berbeda dengan Gede, Yanti Lawson memiliki sertifikat kualifikasi setara dari Universitas Monash Melbourne untuk pendidikan S1 yang dijalaninya untuk jurusan bahasa Indonesia.

Dengan sertifikat itu, Yanti menjadi asisten guru pengajar bahasa Indonesia di sebuah sekolah di Melbourne.

Yanti bisa mendapat pendapatan lebih besar bila dia bisa menamatkan pendidikan S2 dan menjadi guru.

Namun tidak melakukannya karena merasa bahwa kesempatan kerja bagi tamatan S2 untuk menjadi guru tidaklah tinggi.

“Kalau lulus S2 Bahasa, berarti saya harus menerima gaji yang lebih tinggi. Sementara tidak semua sekolah perlu mempekerjakan spesialis.”

Meski merasa aman dengan kualifikasi sertifikatnya, Yanti mendukung anaknya yang sedang menempuh jalur universitas.

“Saya akan tetap menyarankan anak-anak untuk ke universitas.” kata Yanti.

Baru kerja setelah 100 resume ditolak

Maria Patricia
Sebagai mahasiswi internasional dari Indonesia, Maria dapat bekerja di perusahaan Australia sesuai jurusan kuliahnya karena determinasi tinggi.

Foto: supplied

Walau secara umum, tamatan universitas masih dianggap lebih bergengsi dan mendapat gaji yang lebih tinggi, namun mendapat pekerjaan yang diinginkan tidaklah juga mudah.

Maria Patricia Nainggolan, sarjana S1 Makanan dan Nutrisi di Universitas Deakin sekarag bekerja sebagai teknisi produksi di perusahaan vaksin Australia bernama Seqirus Company.

Sebelumnya, ia bekerja sebagai asisten penelitian Pusat Ilmu Sensorik Sains di Universitas Deakin selama tujuh bulan di tahun 2018.

Untuk mendapatkan pekerjaan sesuai bidang yang dipelajari di universitas, Maria tanpa henti mengirim lamaran dan terus bertanya pada dosen di kampus bila ada lowongan kerja.

Aktivitas melamar kerja ini ia lakukan setiap hari melalui situs-situs pencari pekerjaan yang terkenal di Australia seperti SEEK.

“Ada mungkin hampir 100 kali saya ditolak perusahaan. Menurut saya, kembali lagi ke usaha masing-masing,” kata Maria kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

“Nilai saya jujur tidak bagus-bagus sekali dan pengalaman kerja minim sebelum lulus tapi bisa dapat kerja saja.”

Menurutnya, bila ditolak perusahaan, pelamar harus merevisi surat lamaran.

“Kalau lamaran ditolak, harus refleksi diri, apa yang harus dibenahi,” kata perempuan yang memiliki izin tinggal Warga Sementara Australia itu.

“Mungkin CV atau surat lamaran kerja kurang menarik atau mungkin harus ambil kursus pendek atau magang demi menambah nilai jual.”

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia