ABC

Pencari Suaka Afghanistan Terlantar di Indonesia

Setelah jalur laut antara Indonesia dan Pulau Christmas ditutup oleh Operasi Perlindungan Perbatasan Australia, jumlah pencari suaka yang menunggu di Indonesia sebelum berangkat ke Australia, semakin banyak.

Wartawan ABC Andrew Dodd melaporkan tentang kehidupan mereka yang terkatung-katung di Indonesia setelah tiba dengan harapan untuk meminta suaka di Australia.

Dodd menemui sekelompok kecil pencari suaka yang ingin menceritakan tentang situasinya dan mengapa mereka sampai hidup terlantar di negeri asing setelah melarikan diri dari penindasan di Afghanistan.

Delapan pemuda dan anak laki-laki ini merupakan bukti bahwa pencari suaka masih terus berdatangan ke Indonesia, kendati arus kapal dari Indonesia ke Australia sudah berhenti. Semua mereka, kecuali satu, tiba di Indonesia dalam tiga minggu terakhir. Mereka melakukan perjalanan melalui rute penyelundup, ada yang dari Thailand atau India sampai ke Malaysia dan kemudian menyeberangi Selat Malaka ke Sumatra, dan akhirnya terbang ke Jakarta.

Kedelapan orang ini seluruhnya membayar 64.500 dolar AS kepada penyelundup manusia.

Namun demikian, banyak yang terbujuk untuk pergi ke Indonesia dengan janji-janji palsu. Sebagian besar dari kelompok itu tahu bahwa tidak ada lagi kapal yang berangkat ke Christmas Island, tapi mereka tidak paham apa maksudnya. Sebagian diberitahu oleh penyelundup ketika di Afghanistan bahwa mereka harus segera berangkat karena kantor PBB di Jakarta sudah mulai memroses permintaan pengungsi segera setelah kapal-kapal ke Australia berhenti.

Dengan arus pencari suaka terus berdatangan di Indonesia sementara tidak ada kapal yang berangkat, antrian semakin panjang. Kebanyakan pendatang baru kini harus menunggu paling sedikit setahun untuk diwawancarai sebagai awal dari permohonan status pengungsi. Sebagian besar menunggu di Indonesia paling sedikit tiga tahun, dan meskipun mereka pada akhirnya diterima sebagai pengungsi, tidak ada jaminan mereka akan diterima untuk dimukimkan kembali di Australia.

Tanda-tanda keputus-asaan jelas terlihat. Mereka kehabisan uang karena menunggu terlalu lama. Hukum di Indonesia melarang mereka bekerja, sehingga mereka begitu kepepet sampai sebagian memilih pergi ke pusat detensi imigrasi, memohon untuk diijinkan tinggal disana, meski kenyataannya di dalam  keadaannya mengenaskan.

Febi Yonesta dari LBH Jakarta menduga, UNHCR sengaja memperlambat pemrosesan supaya para pencari suaka merasa putus asa sehingga memberitahu lainnya untuk tidak pergi ke Indonesia. Ini membantu mencegah orang meninggalkan negara asal mereka.

Belum lagi masalah dengan penyelundup. Seorang etnik Pashtun dari Pakistan diberitahu oleh penyelundupnya bahwa uangnya akan dikembalikan jika kapal tidak mencapai Christmas Island. Sialnya, ia dicegat di laut Januari tahun ini dan ditahan di sebuah kapal pabean selama 10 hari dekat Christmas Island, kemudian dinaikkan sebuah sekoci (lifeboat) dan dikirim kembali ke Indonesia.

Ia menagih janji pada penyelundupnya, tapi ditolak dengan kasar. Ia kini terjepit, tidak dapat kembali ke Pakistan dan tidak dapat mencoba pergi dengan kapal lagi.

Namun sejumlah pencari suaka nampaknya beradaptasi dengan kondisinya. Di Cisarua, sekelompok pria Hazara berkumpul setiap sore untuk main bola dan menggelar kompetisi. Ini dilakukan untuk mengatasi kebosanan dan depresi akibat berbulan-bulan atau bertahun-tahun menunggu.

Australia dan pasukan sekutu pernah aktif merekrut etnik Hazara dalam perang di Afghanistan, sehingga mereka menjadi sasaran Taliban. Setelah pasukan Barat angkat kaki dan Taliban memperkuat diri, banyak etnik Hazara tidak punya pilihan lagi selain meninggalkan negara mereka, pergi ke Indonesia untuk mencari suaka di Australia.