ABC

Pemuda Aborigin Australia Berbagi Mimpi dan Cita-cita

Ajay Williams mengatakan tidaklah mudah baginya untuk menjadi seorang pria dari suku Bundjalung di New South Wales utara. Ia merasa kurang percaya dari “berbagai bisnis yang pemiliknya mayoritas berkulit putih”, ditambah pengangguran dan prasangka.

Ditambah ada godaan untuk menggunakan obat-obatan, minum alkohol, dan membuang potensi yang sebenarnya dimiliki.

Meski begitu, Ajay ingin mendorong pemuda suku Aborigin lainnya untuk terus maju, bersekolah, serta mendapat pekerjaan.

“Sangat menyedihkan melihat anggota keluarga yang memiliki masa depan cerah, tapi menyia-nyiakannya dengan pergaulan yang salah dan melakukan hal yang salah,” katanya.

Ajay yang pernah memenangkan acara Heywire, sebuah program ABC untuk kalangan muda, mengaku seringkali dikritik, karena ia berbicara “seperti orang kulit putih”, tapi hal ini malah membuatnya bertekad untuk bekerja lebih keras agar dapat menjadi teladan bagi generasi berikutnya.

Terinspirasi untuk membantu orang lain

Latresha Maka (kiri) dari Dauan Island, Queensland and Muriel Hunter dari Broken Hill, New South Wales.
Latresha Maka (kiri) dari Dauan Island, Queensland and Muriel Hunter dari Broken Hill, New South Wales.

ABC Far North: Jodie Gunders, ABC Broken Hill: Sarah McConnell

Ajay bukan satu-satunya pemenang program Heywire yang mencoba membuat perubahan.

Latresha Maka dari Pulau Dauan, Torres Strait, sebelah utara Queensland, dan Muriel Hunter dari Broken Hill, New South Wales, memiliki keinginan untuk menjadi perawat.

Latresha mengatakan dia terinspirasi menjadi perawat setelah kematian keponakannya.

“Hari kematian itu mendorong saya pindah ke Toowoomba untuk masuk sekolah asrama dan belajar dengan giat,” katanya.

Lain halnya bagi Muriel yang awalnya seperti tidak mungkin menggapai mimpinya jadi perawat, karena ia mengalami kesulitan di sekolah. Tapi berkat dukungan dari seorang guru, ia mendapatkan perubahan besar.

Di kelas 10, Muriel sudah mengambil beberapa mata pelajaran berhubungan dengan kesehatan selama dua minggu. Beberapa mata pelajaran ini ia ambil saat sedang sekolah musim panas di Jumbunna Indigenous House of Learning dari University of Technology di Sydney.

“Saya bertemu orang baru, belajar hal baru dan merasakan seperti apa rasanya di universitas,” katanya.

“Saya bekerja keras di sekolah dan dianugerahi pelatihan keperawatan di rumah sakit di daerah kami dari kelas 11 sampai 12.”

Saat ia bekerja di rumah sakit selama dua hari seminggu, ia mendapat dukungan dari para staf perawat di Broken Hill Base Hospital, yang juga mengantarkan dirinya mendapat penghargaan Trainee of the Year pada tahun 2015.

“Tak pernah kepikiran akan mendapat kesempatan jadi seorang perawat, tapi saya mengarah kesana.”

Liga footy perempuan membuat perbedaan

Darliah Killer mengaku permainan footy telah menyatukan komunitasnya di Australia Barat.
Darliah Killer mengaku permainan footy telah menyatukan komunitasnya di Australia Barat.

ABC Kimberley: Emily J Smith.

Darliah Killer, berasal dari komunitas terpencil Kimberley di Looma, dekat Fitzroy Crossing di Australia Barat, ikut bermain footy, atau sepakbola bergaya Australia, dengan warga sekitar.

“Saya suka footy karena saya suka berlari-lari, dan bertemu orang-orang,” katanya.

“Dibesarkan di Looma, tidak banyak kesempatan bagi perempuan bermain footy, kecuali dua kali dalam setahun untuk bermain di liga perempuan Broome atau Derby.”

Saat dalam perjalanannya ke Broome, Darliah mengetahui Kimberley Women’s Football League baru sedang dimulai.

“Saat itu saya bersemangat, tak lagi sabar bermain untuk Looma Lady Eagles,” katanya.

“Menjadi tim komunitas yang membuat sejarah di liga footy perempuan Kimberley pertama adalah perasaan yang paling luar biasa.”

Tantangan sekolah asrama

Tiara Douglas (kiri) dari Kawasan Australia Utara dan Zanna Palmer dari Australia Barat, bercerita soal masuk asrama sekolah.
Tiara Douglas (kiri) dari Kawasan Australia Utara dan Zanna Palmer dari Australia Barat, bercerita soal masuk asrama sekolah.

ABC Territory Radio: Karen Brookes, ABC Ballarat: Dan Hirst

Tiara Douglas dan Zanna Palmer meninggalkan komunitas mereka demi masuk sekolah asrama, termasuk meninggalkan kegemaran memancing, mencari kepiting, berkemah dan berenang.

Bagi Tiara, ia langsung terkejut. Ia meninggalkan komunitas terpencilnya di Titjikala, Kawasan Australia Utara, untuk masuk sekolah asrama di Healesville, di negara bagian Victoria, dan tiba di bandara Melbourne dengan mengenakan celana pendek dan kaus.

“Saya merasakan angin yang dingin dan mulai menggigil,” katanya.

Tapi begitu ia terbangun di asrama keesokan paginya dan melihat pohon karet, dia yakin semua akan baik-baik saja. Rasa kesepian pun perlahan menghilang.

“Saya berteman dengan orang-orang dari seluruh Australia. Mereka selalu ada bagi saya, saat sedang ada masalah,” katanya.

“Saya beruntung memiliki dua tempat yang menjadi rumah bagi saya.”

Ketika Zanna mendapatkan beasiswa untuk masuk Geelong Grammar School, teman-teman sekelasnya tidak tahu banyak soal budayanya dan dari mana ia berasal.

Ia mengatakan salah satu hal tersulit yang pernah dihadapinya adalah saat orang-orang mempertanyakan identitasnya sebagai seorang suku Aborigin.

“Kulit saya sedikit cukup terang, tapi sebagai anak-anak, tak pernah benar-benar terpikir bagaimana orang lain melihat saya,” katanya.

Ucapan itu sempat membuatnya tak percaya diri.

“Di hari libur, saya pulang ke Derby dan mendapat dukungan dari keluarga saya,” kata Zanna.

“Ibu saya adalah perempuan bijak. Ia mengatakan ‘Kamu adalah orang Aborigin; banggalah dan tetap kuat’.

“Saya menanamkan ucapannya ke dalam hati, dan dengan dukungan beberapa teman sekolah yang baik, saya akhirnya berani berbicara dan menjadi kuat.”

“Tidak ada yang bisa mengatakan siapa Anda sebenarnya.”

‘Saya adalah orang Aborigin’

Michael James dengan alat musik Aborigin, didgeridoo.
Michael James dengan alat musik Aborigin, didgeridoo.

ABC Illawarra: Justin Huntsdale

Michael James, dari Huskisson, New South Wales, mengatakan karena dirinya berkulit terang, tidak berarti ia bukan suku Aborigin.

“Orang akan mengatakan bahwa kulit saya terlalu putih dan saya memiliki rambut merah, karenanya tak mungkin jika saya adalah penduduk asli benua Australia,” katanya.

“Tapi untungnya, saya tidak mendengarkan hal-hal yang tak ingin saya dengar.”

Michael menunjukkan warisan darah Aboriginnya melalui seni, cerita, lagu dan tarian. Ia bahkan mengajari siswa lain bagaimana bernafas saat memainkan alat musik didgeridoo.

Ia belajar bahasa lokal dari para sesepuh di komunitasnya, dan menari dengan rekan-rekannya di Pekan NAIDOC, yang merayakan kebudayaan Aborigin.

“Saya mencintai budaya saya, dan suatu hari nanti saya akan menjadi yang dituakan di komunitas,” katanya.

Bangga dengan warisan Aborigin

Brianna Martin, dari Bunyah, New South Wales, baru tahu soal warisan budaya Aborigin saat ia berada di kelas 6.

Briana Martin baru berusia 10 tahun saat ia menemukan budaya aslinya.
Briana Martin baru berusia 10 tahun saat ia menemukan budaya aslinya.

ABC Mid North Coast: Gabrielle Lyons.

“Saat saya masih kecil, saya menemukan foto perempuan berkulit sangat gelap di salah satu laci di sebuah ruangan,” kata Brianna.

“Saya bertanya kepada ayah, ‘sapa itu?’ … ia jawab, ‘bukan siapa-siapa’.”

Ketika Brianna duduk di kelas 6, dia diminta untuk mengikuti kelas dansa Aborigin.

“Sampai di rumah, saya bertanya kepada ayah apakah saya orang Aborigin, karena saya menari dan sekolah juga mengatakan jika saya orang Aborigin,” katanya.

“Baru saat itu ayah saya mengatakan jika saya orang Aborigin.”

Sejak saat itu, Brianna bangga akan budayanya.

“Perempuan di foto yang saya temukan saat masih kecil adalah nenek buyut saya,” katanya.

Menemukan arah setelah kesulitan

Zurack Dempsey, salah satu pemenang Heywire 2018.
Zurack Dempsey, asal Queensland salah satu pemenang Heywire 2018.

ABC North West Queensland: Eric Barker

Zurack Dempsey dibesarkan di kawasan Cloncurry, Queensland, dengan kondisi yang sulit.

“Tumbuh di jalanan liar, saya pernah melakukan hal-hal yang konyol, seperti berkelah, mencoret-coret dinding, terlibat masalah,” kata Zurack.

“Saya telah keluar dari jalur.”

Tapi ketika ibu dan ayah tirinya pindah dari Cloncurry ke Townsville, Zurack bertemu dengan seorang guru berdarah Aborigin yang membantunya kembali ke jalan yang benar.

“Saat itu usia saya 14 tahun dan saya tahu harus bisa memperbaiki hidup,” katanya.

“Guru saya mengatakan kepada saya, ‘satu-satunya orang yang bisa mengubah adalah saya sendiri’. Saya mendengarkannya.”

Zurack mulai kerja keras di sekolah dan terhubung dengan budaya Aborigin.

“Awalnya saya malu, tapi kepercayaan diri tumbuh saat saya mulai menari tarian tradisional,” katanya.

Selama proses transformasi inilah Zurack menemukan keinginan lainnya.

“Dulu saya suka pergi ke tempat potong rambut milik paman dan sepupu saya di pusat kota Townsville, melihat mereka memotong rambut dan berbincang dengan pelanggan … ini mengilhami saya untuk menjadi tukang cukur rambut.”

Di saat Zurack pertama kalinya memotong rambut, ia merasa potongannya sangat jelek. Tapi ia meningkatkan keahliannya dengan berlatih bersama teman-teman.

“Berbagai jenis gaya potongan, saya bisa melakukan semuanya,” katanya.

“Kami sudah pindah kembali ke Cloncurry dan saya memulai bisnis potong rambut di rumah.”

“Saya ingin membuka toko sendiri Suatu hari nanti, Zu Zu Cuts adalah tempat untuk memotong rambut Anda di Queensland barat laut.”

Memasak kura-kura seperti halnya koki selebriti

Dillon Louvel dan teman-temannya bisa menghabiskan waktu di hutan bakau di Australia Barat.
Dillon Louvel dan teman-temannya bisa menghabiskan waktu di hutan bakau di Australia Barat.

ABC Kimberley: Emily J Smith

Dillon Louvel sangat menggemari berburu kura-kurang bersama teman-temannya di kawasan Broome. Mulai dengan menyalakan api, kemudian merayap melalui hutan bakau.

Mereka berjingkat di atas akar yang runcing, memastikan tidak membuat air bergerak atau bergelombang.

“Tiba-tiba, SPLASH!” Seseorang berteriak “Ambil!”

“Sepupu saya dan saya adalah satu-satunya yang bisa melepas kura-kura dari tempurungnya, karena kita dibesarkan dengan budaya dan praktik adat dari ibu dan nenek kita,” katanya.

“Tidak lupa diberi bumbu. Kita mempersiapkannya seperti halnya koki selebriti di TV.”

“Lalu kita buang dagingnya ke wajan, sampai terdengar mendesis, dimasak sampai berwarna kecokelatan.”

“Hari kami berakhir dengan menikmati sajian kura-kura yang lezat, dihidangkan juga dengan kepiting yang kami tangkap saat menuju pulang ke rumah.”

Perdana menteri Aborigin suatu hari nanti

10 pemuda Aborigin dari 38 pemenang Heywire di seluruh Australia akan mendapat kesempatan untuk menceritakan kisah mereka dan berbagi gagasan mereka dengan orang-orang penting dan politisi di Canberra pada Februari 2018 mendatang.

Entah soal berburu kura-kura, keperawatan, menari atau pergi dari jauh mereka, masing-masing pemenang akan berbagi kegembiraan, tantangan, serta kebutuhan mereka untuk tetap bertahan.

Ajay tahu bagaimana rasanya tumbuh sebagai orang asli benua Australia. Ia juga tahu tanggung jawab yang akan membuat hidupnya lebih berarti.

“Sepupu saya berkata ‘mengapa kamu berbicara seperti orang kulit putih?'”

“Tapi setiap hari saya bangun, saya sadar nama belakang saya mewakili garis keturunan orang-orang sebelum saya ada.”

“Saya bangga berasal dari budaya masa lalu.”

“Mungkin suatu hari nanti kita akan memiliki seorang perdana menteri Aborigin Australia, seorang yang bisa dibanggakan oleh semua warga Aborigin.”

Disadur dari artikel aslinya dalam bahasa Inggris, yang bisa dibaca disini.