ABC

Pemerintah RI Diminta Mengakui Pembantaian Massal 1965

Pemerintah Indonesia pimpinan Presiden Joko Widodo wajib mengeluarkan pengakuan mengenai kekejaman yang dilakukan terhadap mereka yang dituduh komunis di tahun 1965 menyusul tersedianya dokumen dari pemerintah Amerika Serikat mengenai kejadian tersebut.

Hal ini diungkapkan oleh Siauw Tiong Djin, salah seorang korban langsung dari peristiwa tersebut kepada wartawan ABC Sastra Wijaya di Melbourne hari Jumat (20/10/2017).

Siauw Djin adalah putra dari Siauw Giok Tjhan yang pernah ditahan antaara tahun 1965 sampai tahun 1979 karena dianggap mendukung PKI, dalam kedudukannya sebagai Ketua Baperki, sebuah organiasi masyarakat Tionghoa Indonesia.

“Dari dokumen ini jelas mengungkapkan apa yang sudah diduga banyak orang sebelumnya bahwa Amerika Serikat dan sekutunya merestui penghancuran PKI di Indonesia dan pembunuhan dan persekusi massal yang dilakukan pemerintah Soeharto.” kata Siauw Djin.

Dan yang lebih penting lagi, menurut Siauw Djin, terbukanya informasi mengenai kejadian di tahun 1965 tersebut dari pemerintah Amerika Serikat membuktikan adanya pembantaian massal yang terjadi.

“Pembukaan dokumen ini mengukuhkan bahwa pembunuhan massal terjadi dan dikoordinasi oleh pemerintah, jadi ada kejahatan negara. Kemudian pembunuhan massal itu direstui oleh banyak negara yang mendukung kehadiran Jenderal Soeharto di Indonesia,” katanya lagi.

Oleh karena itu, Siauw Djin, yang sekarang tinggal di Melbourne dan menjadi Ketua Yayasan Herb Feith di Monash University dan juga seorang pengusaha tersebut mengatakan bahwa pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo patut mengakui dengan terbuka kejadian tersebut.

“Pemerintah Indonesia sekarang ini harus mengakui dengan terbuka dan resmi bahwa pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Jenderal Soeharto sudah melakukan sebuah kejahatan negara yang sangat besar, sudah melakukan penginjakan hak asasi manusia yang sangat serius, mungkin terserius setelah Perang Dunia ke-2,” katanya lagi.
Menurut Siauw Djin, yang pernah menjadi editor buku berjudul G-30S dan Kejahatan Negara yang ditulis ayahnya, berdasarkan pembicaraan yang dilakukannya ketika dipenjara, dari sisi angka korban pembantaian massal di tahun 1965 dan sesudahnya, jumlah korban sangatlah besar.

“Kalau kita bicara mengenai angka, yang dibunuh antara 1 sampai 3 juta orang. Yang ditahan sampai ratusan ribu bahkan ada yang mengatakan 500 ribu,. Mereka ditahan tanpa ada bukti-bukti kesalahan,” kata Siauw Djin.

Selain mereka, menurut Siauw Djin, yang tidak banyak mendapat perhatian adalah juga penderitaan dari sanak keluarga dari mereka yang dituduh bagian dari PKI atau terlibat dalam G30S/PKI.

“Sanak keluarga dari mereka yang dituduh PKI ini yang jumlahnya jutaan orang. Orang-orang yang tidak tahu apa-apa tapi hanya karena terkait hubungan keluarga atau kerabat juga menjadi korban. Dan mereka menjadi korban selama puluhan tahun di Indonesia.”

Siauw Tiong Djin (kiri) bersama orang tuanya di Belanda di tahun 1980 setahun setelah ayahnya Siauw Giok Tjhan dibebaskan sebagai Tahanan Politik Indonesia
Siauw Tiong Djin (kiri) bersama orang tuanya di Belanda di tahun 1980 setahun setelah ayahnya Siauw Giok Tjhan dibebaskan sebagai Tahanan Politik Indonesia

Foto: Istimewa

Namun dengan kejadian G-30S sudah berlangsung lebih 52 tahun lalu, dan pemerintah sudah berganti beberapa kali, apakah pemerintah Indonesia akan mau secara resmi mengakui peristiwa tersebut meski dengan adanya dokumen dari pemerintah Amerika Serikat?

“Ya ini tergantug kepada komitmen pemerintah,” kata Siauw Djin.

“Presiden Jokowi tentunya sedang menghadapi berbagai masalah terutama dalam menghadapi pemilu tahun 2019.”

“Dia harus menghadapi kenyataan bahwa PKI atau komunisme sudah diangkat sebagai isu yang dikaitkan dengan dia.”

Siauw Tiong Djin
Siauw Tiong Djin

Foto: Istimewa

“Jadi memang bisa dimengerti bahwa dia ingin menjauhkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengan PKI atau G30S. Tetapi tidak berarti bahwa sebagai pemerintah yang dipilih oleh rakyat, dia bisa berpeluk tangan dan tidak berbuat apa-apa,” kata Siauw Djin.

Siauw Djin berusia sembilan tahun ketika ayahnya Siauw Giok Tjhan ditangkap bulan November tahun 1965.

Dia ditangkap karena Baperki dianggap merupakan organisasi massa yang mendukung PKI, padahal ketika itu selain sebagai Ketua Baperki, Siauw Giok Tjhan juga pernah menjadi anggota DPRGR, MPRS, DPA dan juga Dewan Harian Angkatan ’45.

Setelah dibebaskan di tahun 1979, di dalam KTP yang dimiliki Siauw Giok Tjhan tertulis Eks Tapol (Tahanan Politik).

Pengalaman buruk apa yang paling dirasakan oleh Siauw Tiong Djin sebagai orang yang dibesarkan sebagai anak dari keluarga Eks Tapol?

“Yang paling terasa selama puluihan tahun adalah kehilangan hak untuk hiduip sebagai warga negara yang wajar karena kami dipersekusi sedemikian rupa sehingga tidak bisa hadir dalam masyarakat secara normal,” katanya.

“Banyak anak-anak Tapol tidak bisa sekolah, tidak bisa bekerja, tidak bisa memperoleh hidup layak hanya karena berkaitan dengan orangtuanya atau saudaranya yang dituduh terlibat dalam Gerakan 30S.”

"Padahal sekarang secara ilmiah bisa dibuktikan bahwa PKI dan organisasi massanya tidak terlibat dalam Gerakan 30S."

Siauw Tiong Djin mengatakan bahwa dia merasa beruntung kemudian bisa pindah ke Australia dimana dia belajar dan lulus sebagai insinyur teknik.

Dia juga kemudian mendapat gelar doktor dari Monash University dalam ilmu politik dengan disertasi mengenai perjalanan kehidupan ayahnya.

Disertasi ini dalam waktu dekat akan diterbitkan menjadi buku oleh Monash University dengan judul Siauw Giok Tjhan, Bicultural Leader in Emerging Indonesia.

“Saya termasuk yang beruntung karena ada keluarga yang bisa menampung saya di Austrealia. Banyak orang-orang yang senasib dengan saya tidak memiliki keberuntungan seperti itu,” katanya.

“Ayah saya senasib dengan jutaan orang yang dinyatakan terlibat karena banyak kejadian menunjukkan bahwa pada waktu itu menjadi orang yang memiliki hubungan dengan paham kiri atau dekat dengan Soekarno.”

“Alasan itu cukup untuk menjadikan mereka korban. Padahal tidak ada dasar hukum yang bisa membawa mereka sebagai tahanan politik atau korban pembunuhan massal tanpa pengadilan,” kata Siauw Djin.