ABC

Pemerintah minta Miss World diadakan di Bali saja

Pemerintah Indonesia memutuskan seluruh rangkaian acara kontes kecantikan Miss World ke-63 diadakan di Bali saja.

Acara yang dimulai Minggu (8/9), berlangsung dengan penjagaan keamanan ketat, dengan sekitar 100 polisi berpatroli di luar gedung dimana event tersebut digelar. Sebelumnya sejumlah ormas termasuk FPI menyatakan menolak kontes kecantikan yang mereka nilai tidak sejalan dengan budaya Indonesia.

Sejumlah rangkaian acara semula dijadwalkan diselenggarakan di dan sekitar Jakarta, tapi pejabat pemerintah – termasuk Wapres Boediono dan pejabat tinggi POLRI serta Kementerian Sosial dan dan Kementerian Pariwisata – hari Sabtu memutuskan untuk menyelenggarakan seluruh event di Bali.

Panitia kontes tahunan itu kini mengatakan, secara logistik mungkin sulit memindahkan beberapa acara dan final 28 September ke Bali, mengingat sempitnya waktu.

Sarana dan kamar hotel sudah habis dipesan untuk KTT APEC yang akan diselenggarakan di Bali awal bulan depan, yang dihadiri oleh sejumlah pemimpin dunia termasuk Presiden Obama dan Presiden China Xi Jinping.

Panitia Miss World mengatakan, mereka kecewa dengan keputusan tersebut dan Indonesia berpotensi dipandang menyerah pada protes sebuah kelompok kecil.

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Donna Swita dari Solidaritas Perempuan yang berbasis di Aceh. "Meskipun mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim, tidak berarti suara para pemrotes itu mewakili seluruh rakyat Indonesia," katanya.

Donna Swita mengatakan, "Indonesia adalah negara demokratik, itulah mengapa kami tidak setuju dengan aksi protes yang menggunakan kata 'moralitas' atas nama agama. Adalah hak perempuan untuk mengekspresikan individualitas mereka dan mempunyai wewenang atas tubuh dan seksualitas mereka."

Eva Kusuma Sundari, anggota DPR dari PDI-P, mengatakan, kontes Miss World bukan hanya didasarkan pada atribut fisik. "Keindahan tubuh hanya 25 persen dari seluruh kompetisi," katanya. "Kita ingin melihat perempuan Indonesia menjadi independen dan juga mempunyai wewenang atas tubuh mereka."

Eva menambahkan, "Kita harus mengingatkan para pemrotes bahwa ini bukan negara Islam, ini adalah negara pluralis menurut ideologi dan konstitusi kita. Kita harus terbuka pada semua nilai-nilai, bukan hanya nilai-nilai Islam."

Menurut Eva, ini bukan pertama kalinya golongan garis keras menunjukkan tentangan mereka terhadap sebuah event internasional. Namun ia kuatir tentang bagaimana polisi akan merespon tekanan dari para pemrotes. "Masyarakat seharusnya mendengar bukan hanya dari pihak golongan garis keras, tapi juga dari para pendukung event ini, termasuk saya," katanya.

"Kebanyakan kita mengingatkan polisi agar tetap berpegang pada peraturan, bukan mengikuti tekanan dari golongan berhaluan keras. Dunia juga akan menghargai, ada kelompok berhaluan keras di Indonesia, tapi ada demokrasi di sana dan polisi menjalankan tanggung-jawabnya," tutur politisi PDI-P ini.