ABC

Pemerintah Indonesia Dianggap Gunakan Pendekatan Militer Untuk Tangani COVID-19

Virus corona pertama kali muncul di Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, China pada Desember 2019. Virus ini menyebabkan batuk, flu, demam dan gangguan pernapasan yang bisa berakhir pada kematian.

Saat dunia, termasuk Indonesia, menyaksikan penyebaran virus ini ke berbagai negara, Pemerintah Indonesia masih percaya diri jika wabah virus corona tidak seburuk yang diberitakan.

Di saat negara-negara lain mulai bersiap menanganinya, beberapa menteri di Indonesia memilih usaha “menenangkan” publik dengan melontarkan gurauan seputar COVID-19.

“Enjoy saja, makan yang cukup,” kata Terawan di kantor Kemenhub, Jakarta Pusat, Senin (27/01) menanggapi virus corona yang sedang melanda Wuhan saat itu.

“Corona? Corona kan sudah pergi,” pungkas Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan di kantornya, Jakarta Pusat (10/02) saat ditanya soal adanya terduga virus corona yang adalah warga di Batam.

Luhut Binsar Pandjaitan
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengatakan dari hasil modeling, virus corona tak kuat hidup di cuaca Indonesia.

Kompas.com, Haryantipuspasari

“(Corona masuk Batam?) Hah? Mobil Corona?” kata Luhut sambil tersenyum, merujuk pada merk mobil buatan Jepang tahun 1990an.

Pada tanggal 14 Maret 2020, Menhub Budi Karya dinyatakan positif COVID-19 dan harus dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Jakarta sampai dinyatakan sembuh pada 27 April 2020.

Barulah setelah pasien pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan pada 2 Maret 2020, pemerintah secara perlahan terlihat merespon virus ini.

Pengaruh perwira aktif dan pensiunan

tentara.jfif
Pengamat menilai salah satu pengaruh militer dalam menangani pandemi virus corona adalah tidak adanya transparansi.

Reuters

Empat bulan berlalu, pengamat mencatat ada beberapa pendekatan yang sudah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dalam penanganan COVID-19, salah satunya adalah pendekatan militeristik atau pendekatan keamanan.

Namun peneliti dengan fokus studi keamanan di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS), Evan Laksmana mengatakan bukan berarti TNI mengambil alih semua pengambilan dan penerapan kebijakan terkait pandemi virus corona.

“Tapi ini tentang pengaruh dari perwira aktif dan retired [pensiunan] di lingkungan pembuatan kebijakan,” kata Evan kepada Hellena Souisa dari ABC News di Melbourne.

Evan menilai pengaruh militer ini membuat penanganan pandemi virus corona tidak transparan dan “tersekuritisasi” sejak awal.

Hal ini ia lihat dari sikap dan pernyataan Menteri Kesehatan Terawan, yang berasal dari militer, misalnya, yang tidak terbuka soal masalah ini.

Menurut Evan, informasi dan transparansi malah dianggap membahakan, padahal seharusnya menjadi fondasi kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah.

“Ini tipikal cara berpikir militer, sebisa mungkin informasi ditahan dan nggak dibuka. Dan ini bukan pertimbangan yang tepat dalam kasus public health seperti COVID-19,” tutur Evan.

Data yang tidak transparan

Elina Ciptadi
Co-founder Kawal COVID-19 Elina Ciptadi menyayangkan penanganan COVID-19 di Indonesia yang tidak diserahkan ke ahlinya.

Supplied: Creative Mornings

Informasi yang sengaja disembunyikan oleh pemerintah untuk mencegah kepanikan yang disebut Evan ini juga dibenarkan oleh Elina Ciptadi dari Kawal COVID-19.

Menurut Elina, transparansi data sangat penting dan diperlukan oleh masyarakat untuk bisa menyikapi krisis pandemi corona.

“Kami melihat, dari semua daerah, tampilan datanya nggak sama, parameter yang dipakai berbeda-beda.”

“Presiden sendiri di awal juga sempat mengatakan kalau enggak semua data kita kasih supaya warga enggak panik,” ujar Elina yang kemudian bersama kawan-kawannya membentuk alternatif data center Kawal COVID-19.

Ia menilai, daripada mengkomunikasikan risiko, pemerintah lebih suka mencegah kepanikan melalui narasi-narasi positif dengan basis data yang hampir tidak ada.

Elina mencontohkan kampanye yang mengatakan kalau optimis, kita akan sehat dan meningkatkan imunitas tubuh.

“Itu ada benarnya, memang. Tapi definisi optimisme sendiri adalah tidak kehilangan harapan bagaimanapun buruknya situasi yang sedang dihadapi.”

Selain itu menurutnya, masalah pandemi ini harus diserahkan kepada otoritas kesehatan, seperti pakar epidemiologi.

“Kalau mereka merasa perlu bantuan militer untuk enforcement kebijakan kesehatannya, ya monggo, tapi jangan dibalik orang kesehatan yang harus ngikutin orang militernya,” ucap Elina.

Gugus tugas bertaburan jenderal berbintang

Doni Monardo
Presiden Joko Widodo disambut Letjen Doni Monardo saat mengunjungi Kantor Gugus Tugas Nasional COVID-19 di Jakarta, 10 Juni 2020.

Supplied: ANTARA

Salah satu aroma pendekatan militeristik yang dipakai dalam penanganan COVID-19 di Indonesia juga terlihat dari keputusan Presiden Joko Widodo yang meminta tokoh-tokoh militer yang berpengaruh bergabung dengan tim cepat tanggap pemerintah.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjadi sosok militer yang terakhir diminta masuk ke Gugus Tugas COVID-19, setelah sebelumnya menunjuk kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, seorang jenderal Angkatan Darat yang aktif, untuk memimpin Gugus Tugas tersebut.

Selain Prabowo Subianto dan Doni Monardo, termasuk di dalam tim Gugus Tugas adalah Menteri Koordinator Kelautan dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Agama Fachrul Rozi dan Kepala Staf Presiden Moeldoko, yang semuanya adalah veteran Angkatan Darat.

Doni, yang juga mantan pemimpin Kopassus, harus bersaing dengan para pejabat yang dianggapnya junior, terutama kepala TNI Hadi dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, seorang dokter militer.

Namun Evan menegaskan kedekatan Presiden Joko Widodo dengan tokoh-tokoh militer bukan baru terjadi saat masa pandemi virus corona.

Menunjuk aktor keamanan daripada ahli kesehatan masyarakat untuk mengatasi krisis kesehatan publik skala nasional, menurut Evan Laksmana menunjukkan Jokowi mengandalkan pendekatan keamanan untuk mendukung prioritas ekonominya.

Ia menilai ini dilakukan sebagian besar akibat keterlambatan pemerintah dalam menanggapi awal masa pandemi virus corona.

Jangan menjadi satu-satunya landasan untuk kebijakan

Evan Laksmana
Peniliti CSIS Evan Laksmana menilai pendekatan pemerintah Indonesia dalam penanganan COVID-19 militeristik.

Supplied: Evan Laksmana

Pakar yang lain menambahkan, “sekuritisasi” dalam masalah kesehatan bisa membuat penanganannya menjadi lebih diprioritaskan dengan mendatangkan alat dan keahlian. Tapi bukan berarti tidak membawa masalah.

“Karena bisa menempatkan agenda kesehatan di bawah kendali aktor keamanan, termasuk militer, yang memiliki perspektif keamanan negara di atas perspektif kesehatan dan epidemiologis,” kata Tangguh Chairil, akademisi studi keamanan Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara Jakarta.”

Evan menambahkan sebenarnya upaya masukan yang diberikan oleh siapapun, termasuk dari militer atau Badan Intelejen Nasional (BIN), misalnya, sah-sah saja, mengingat negara-negara lain juga melakukan ‘intelligent assessment’.

“Yang menjadi masalah di Indonesia adalah kalau inteligent assessment itu menjadi satu-satunya landasan untuk membuat kebijakan soal ‘public health’. Ini buat saya bermasalah, karena kita nggak bisa uji, kita nggak tahu,” kata Evan.

Ia mencontohkan pemodelan yang dilakukan oleh BIN pada bulan Maret lalu yang menunjukkan puncak pandemi corona di Indonesia.

Pendekatan apa yang sekarang dipakai?

Menurut Evan, pendekatan militeristik yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia di masa-masa awal pandemi COVID-19 kini sudah sedikit bergeser.

Ia berpendapat, jika di awal-awal pemerintah terlihat sangat menerapkan pendekatan militeristik, justru sekarang yang dilakukan pemerintah lebih memprioritaskan pertimbangan politik domestik dan ekonomi, ketimbang kesehatan masyarakat.

“Sebenarnya kan tidak masuk akal bagaimana bisa ada kebijakan pelonggaran dan new normal di saat angka infeksi COVID-19 masih naik,” tutur Evan.

Namun sejumlah LSM seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan KontraS tidak sepenuhnya sependapat dengan Evan.

Mereka menilai kebijakan pemerintah terkait skema ‘New Normal’ dengan mengerahkan ratusan ribu personel TNI dan Polri untuk mengamankan dan mendisiplinkan warga di masa pandemi berpotensi berujung pada langkah represif militeristik.

Kedua LSM berpendapat, pelibatan TNI-Polri terkesan seperti jalan pintas untuk memaksakan keinginan pemerintah memulihkan ekonomi dengan menertibkan masyarakat, namun tetap melalui pendekatan keamanan, tanpa memenuhi keharusan memenuhi syarat-syarat kenormalan yang baru.

Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di dunia lewat situs ABC Indonesia