ABC

Pemerintah Australia Kaji Ulang “Pajak Backpacker”

Pemerintah Federal Australia akhirnya mengakui bahwa pajak yang dikenakan terhadap para backpacker akan mempengaruhi industri pertanian dan pariwisata di sini.

Perubahan yang akan diberlakukan adalah bahwa mereka yang datang ke Australia bekerja dan berlibur dengan visa yang dikenal dengan nama working holiday visa, akan dikenai pajak 32,5 persen dari setiap dolar yang mereka dapatkan.

Pemerintah juga berencana menghapus batas awal $ 18.200 yang semula tidak dikenai pajak sama sekali.

Menteri Pariwisata  Australia Senator Richard Colbeck mengatakan kepada ABC  bahwa dia akan memimpin tim antar departemen untuk mengkaji pajak tersebut.

"Berbagai pandangan sudah disampaikan mengenai dampak dari apa yang disebut sebagai 'pajak backpacker' terhadap tingkat persaingan kita secara global sebagai tujuan backpacker untuk datang." kata Colbeck.

"Turis backpacker ini sangat penting bagi dua sektor penting di negeri ini – pertanian dan pariwisata."

"Oleh karena itu, kami memutuskan bahwa usulan perubahan pajak ini memerlukan diskusi lebih lanjut guna memastikan bahwa Australia tidak  kehilangan pasar dari kunjungan para backpacker."

Usulan perubahan adalah para backpacker akan dikenai pajak pendapatan 32,5 persen dari penghasilan mereka. (ABC News: Gordon Fuad)
Usulan perubahan adalah para backpacker akan dikenai pajak pendapatan 32,5 persen dari penghasilan mereka. (ABC News: Gordon Fuad)

Richard Colbek mengatakan para backpacker ini tetap akan membayar pajak, namun kajian mereka nantinya akan melihat berbagai kemungkinan lain sehingga tidak ada dampak negatif bagi penghasilan mereka.

Di berbagai daerah, para petani Australia sudah mengatakan bahwa panenan mereka akan terlantar bila para backpacker ini tidak lagi mau mengunjungi Australia karena mereka harus membayar pajak yang tinggi.

Setiap tahunnya, Australia mengeluarkan lebih dari 200 ribu working holiday visa. Visa ini dikeluarkan pertama kalinya di tahun 1975 untuk warga  yang berusia antara 18-30 tahun di tiga negara, Inggris, Kanada, dan Irlandia.

Setelah itu diperluas untuk negara lain, termasuk Indonesia, yang mendapat 'jatah' 1000 visa setiap tahunnya.