ABC

Pembahasan Baru RKUHP di Indonesia Harus Partisipatif Dan Transparan

Koalisi masyarakat sipil di Indonesia mendesak agar pembahasan ulang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di DPR dilakukan secara partisipatif dan transparan.

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pembahasan RKUHP Baru

Desakan pembahasan baru RKUHP:

  • Aliansi Nasional Reformasi mendesak pembahasan ulang RKUHP dilakukan partisipatif dan transparan
  • Pembahasan tidak hanya mencakup 14 pasal yang dinilai bermasalah
  • Aliansi mencatat sedikitnya 3 isu bermasalah yang luput dari sorotan, yakni isu pertanggungjawaban korporasi, tindak pidana lingkungan dan pengakuan hak adat.

Pembahasan RKUHP tampaknya akan menjadi agenda yang paling disoroti dalam Rapat Kerja pertama Komisi III DPR periode 2019-2024 dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang dijadwalkan akan digelar pekan ini.

Menyikapi agenda itu koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengingatkan belajar dari proses penyusunan dan pembahasan RKUHP di periode sebelumnya yang justru malah memicu gejolak di kalangan mahasiswa dan masyarakat luas pada akhir September lalu.

Karena itu DPR dan pemerintah didorong harus mengambil pendekatan yang berbeda dalam pembahasan ulang RKUHP ini.

Dalam sebuah forum di Jakarta hari Minggu (17/11/2019), ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan pembahasan RKUHP tidak boleh lagi hanya sekedar disosialisasikan tapi mesti harus dilakukan dengan model pembahasan yang partisipatif dan transparan.

“Jadi pembahasan itu harus partisipatif, bukan sosialisasi. Seringkali pembuat kebijakan itu lebih ke sosialisasi, padahal partisipatif dan sosialisasi adalah dua barang yang berbeda.”

” Sosialisasi itu barangnya (kebijakan) sudah jadi terus disosialisasikan, kalau partisipasi itu mengundang pemangku kepentingan untuk membahas bersama untuk memberi masukan,” katanya.

“Jadi bukan hanya ahli (saja yang diundang bahas undang-undang), karena ahli saja tidak cukup.”

“Pihak yang terkena dampak itu yang harus didengar karena mereka yang bisa mengukur, mereka juga lebih tahu konkretnya seperti apa. Itu yang harus diundang,” pungkas Bivitri.

Bivitri juga menekankan perlunya pembahasan dilakukan secara transparan.

“Pada pembahasan yang kemarin pada sidang terakhir-terakhir dibahas tertutup, nah ini yang harus dicegah.”

“Jadi semua pembahasan harus transparan, kalau ada masukan dan ditolak, itu harus dijelaskan kenapa ditolak, jadi ada akuntabilitasnya,” tambah Bivitri.

Pembahasan ulang RKUHP ini dilakukan setelah DPR memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP ini di periode sebelumnya, setelah menggelar rapat dengan Presiden menyikapi aksi penolakan yang meluas di masyarakat pada akhir September lalu.

Ketika itu Presiden Joko Widodo meminta DPR menunda pengesahan RKUHP dan menjaring kembali masukan dari masyarakat.

pembahasan RKUHP baru
Sejumlah pembicara dari Aliansi Nasional Reformasi KHUP mendesak DPR dan pemerintah menggunakan pendekatan baru dalam pembahasan RKUHP baru di parlemen, diantaranya dengan membentuk komite Ali Pembaruan Hukum Pidana.

ABC: Iffah Nur Arifah

Oleh karena itu Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai DPR dan Pemerintah perlu membuat kesepakatan ulang terkait pembahasan RKUHP ini.

Mereka menolak pembahasan hanya ditujukan pada 14 pasal yang dianggap bermasalah saja di antaranya terkait pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, pembiaran unggas, perzinahan, kohabitasi, penggelandangan, aborsi, dan tentang tindak pidana korupsi.

“Pembahasannya harus disisir terlebih dahulu untuk mencari akar masalahnya.:”

“Jangan langsung diambil 14 pasal yang ditentukan dari awal oleh pemerintah. Bukan gitu, itu bukan partisipasi,” tegasnya.

Aliansi Nasional Reformasi Hukum mencatat sedikitnya ada 3 pasal bermasalah lain yang selama ini tidak disoroti DPR maupun pemerintah.

Diantaranya pasal terkait pertanggungjawaban korporasi yang diatur pada pasal 45 – 50, pasal tindak pidana lingkungan (pasal 346-347) dan pasal tentang hukum yang hidup di masyarakat (living law).

Terkait pasal pertanggungjawaban korporasi, pakar hukum lingkungan dari Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana menilai pasal ini memuat konsep yang keliru mengenai pertanggungjawaban hukum korporasi sebagai badan hukum.

Sebaliknya RKUHP ini memuat rumusan pasal karet yang cenderung menyasar individu ketimbang korporasi.

Oleh karena itu ia mendesak pasal itu dibenahi dan dilengkapi rumusannya.

“Pasal 47 harus dibenahi, definisi tindak pidana korporasi harus diperluas dan harus memuat rincian kontribusi yang membuat seorang pengurus bisa dijerat dalam sebuah tindak pidana korporasi.” Katanya.

“Terkait pasal 346-347 tentang tindak pidana lingkungan itu dihapus saja, tidak perlu, kita sudah ada aturan hukum yang lebih baik,” tegasnya.

RKUHPjilid2_abc_19011017.jpg
Menyikapi aksi mahasiswa diberbagai daerah pada 23-24 September 2019, Presiden Joko Widodo meminta pengesahan RKUHP ditunda dan DPR akhirnya memutuskan pengesahan RKUHP dibahas pada masa sidang anggota DPR baru.

Antara

Sementara itu anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Syarifudin Suding mengatakan sejauh ini belum ada agenda pasti kapan pembahasan RKUHP akan dilakukan namun ia mengakui pembahasan itu akan dipercepat.

“Sejauh ini belum ada agenda kapan tapi kesepakatannya memang akan dipercepat pembahasannya.”

“Karena sudah masuk prolegnas maka dalam waktu dekat akan dilakukan pembahasan terhadap hal yang dianggap kontroversial, jadi kemungkinan akan dilakukan bulan-bulan ini,” kata politisi dari dapil Sulawesi Tengah itu.

Syarifudin Suding memastikan seluruh proses pembahasan akan dilakukan secara transparan dan ia mengundang semua kalangan untuk hadir memberikan masukan selama proses rapat dengar pendapat ulang RKUHP. .

“Sebelum pembahasan akan dilakukan RDPU ulang untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dan kemudian akan dirumuskan bersama dengan pemerintah.”

“Semua tidak pernah dilakukan secara tertutup, selalu dalam rapat terbuka jadi pembahasanya pasti transparan, masyarakatnya saja yang tidak datang, lah wong itu rapat terbuka untuk umum kok,” tegasnya.

“Silakan datang kalau mau menyampaikan asprasi, sampaikan apa yang dianggap salah, jangan nanti ketika sudah disepakati antara pemerintah dan DPR baru pada ribut lagi,” tambahnya.

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia