Pelukis Mahdi Abdullah Pameran di Melbourne
Kehidupan rakyat Aceh lengkap dengan permasalahannya diterjemahkan dalam lukisan oleh seniman asal Aceh, Mahdi Abdullah. Pameran ini adalah bagian dari Konferensi Internasional dan Kegiatan Budaya Aceh, yang pertama kalinya digelar di Australia.
Provinsi Aceh, dikenal dengan julukan Serambi Mekkah adalah provinsi di Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri.
Provinsi ini pernah menjadi sorotan, bahkan di panggung politik dunia, karena pernah memiliki organisasi (Gerakan Aceh Merdeka) yang pernah berusaha memisahkan Aceh dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Baru pada tahun 2005, kesepakatan mengakhiri konflik antara GAM dan pemerintah Indonesia ditandatangani di Finlandia.
Setahun sebelumnya, gempa berkekuatan besar hingga menyebabkan gelombang Tsunami menyapu Aceh, diperkirakan lebih dari 160 ribu orang tewas dan hampir setengah juta orang kehilangan tempat tinggalnya.
Tetapi secara perlahan, Aceh terus berbenah meski masih banyak warganya yang harus bertahan dengan keadaan yang sulit.
Kehidupan warga dan permasalah Aceh inilah yang diangkat oleh pelukis Mahdi Abdullah, asal Aceh yang kini tinggal di Yogyakarta.
Mahdi terpilih untuk memamerkan karyanya di MADA Gallery miliki Fakultas Seni, Design, dan Arsitektur di Monash University, Melbourne.
Lukisan Mahdi beraliran realisme, dimana menampilkan subyek sebagaimana tampil dalam kehidupan sehari-harinya.
“Saya memilih subyek lukisan warga biasa, seperti petani, yang saya temui dijalanan… lalu saya buat sketsa wajahnya, sebelum dituangkan dalam kanvas besar,” ujar Mahdi kepada Erwin Renaldi dari Australia Plus.
Jika melihat ekspresi dari para subyeknya, ada yang terlihat binggung, muram, lengkap dengan keadaan fisiknya, yang kadang ada goresan luka pada kulitnya.
“Jangan berharap ada lukisan perempuan cantik disini dengan bunga-bunga atau terlihat kaya, karena yang saya ambil adalah rakyat jelata, inilah Aceh.”
Lewat lukisannya ini, Mahdi seolah ingin menceritakan bagaimana keadaan Aceh saat ini.
“Meski sudah ada perdamaian, perkembangan kehidupan masyarakat perlu didiskusikan lagi, kita tahu kemiskinan dan kemakmuran sepertinya masih stagnan,” kata Mahdi yang sudah memamerkan karyanya di Jerman, Vietnam, dan Jepang.
Salah satu pengunjung MADA Gallery yang terlihat sangat menikmati hasil karya Aceh adalah Profesor Anthony Reid, dosen senior asal Australian National University yang banyak meneliti soal Indonesia.
Ia kagum dengan karya Mahdi yang mampu memotret wajah Aceh saat ini, setelah banyak hal yang terjadi di sana.
“Hasil karyanya ini berhubungan dengan beberapa ide abstrak soal konflik, pernyataan tentang korupsi, dan kekerasan yang dihadapinya dan ia begitu yakin lukisan memiliki peranan untuk menggambarkannya,” ujar Profesor Anthony.
Perkembangan seni dan budaya di Aceh
Seperti daerah lainnya di Indonesia, Aceh memiliki keunikan dengan keseniannya, seperti tariannya.
Saat ditanya pendapatnya soal perkembangan seni dan budaya di Aceh, Mahdi mengaku jika dirinya perlu mencoba beberapa strategi untuk dapat terus mengembangkan seni rupa di Aceh.
“Terutama dengan seni rupa realisme yang penuh simbolik, tantangannya semacam paradoks untuk membuat bentuk manusia, masih ada yang dikategorikan berdosa…,” kata Mahdi.
Tapi Mahdi percaya dengan keunikan dan kekayaan seni yang dimiliki Aceh, Aceh memiliki potensi untuk terus mengembangkan dan bahkan mengandalkan industri seni di masa depan.
“Tapi banyak investor yang enggan untuk masuk karena belum sepenuhnya damai dan belum bisa kembangkan perekonomian disana dan itu akan pengaruhi pengembangan ekonomi kreatif disana [Aceh].”
Tonton video untuk melihat seperti apa lukisan yang ditampilkan Mahdi di Melbourne, lewat video berikut ini.