ABC

Peluang Operasi PT Asing di Indonesia Ditanggapi Negatif

Keputusan Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) memberi lampu hijau bagi perguruan tinggi asing beroperasi di Indonesia mendapat tanggapan negatif baik di Indonesia maupun di luar.

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir hari Senin (29/1/2018) mengatakan membuka peluang operasional perguruan tinggi asing di Indonesia dengan beberapa syarat.

“Kami memberikan kesempatan bagi perguruan tinggi asing khususnya universitas unggulan dunia untuk beroperasi di Indonesia. Jangan sampai ini dibilang model penjajahan gaya baru, bukan begitu karena intinya kolaborasi,” ujar Nasir..

Perguruan tinggi asing, lanjut Nasir, bisa beroperasional di Tanah Air dengan syarat harus bekerja sama dengan perguruan tinggi di Tanah Air, lokasinya sudah ada dan ada ketentuan program studi prioritas.

“Intinya adalah kolaborasi dengan perguruan tinggi kita. Perguruan tinggi asing ini masuk ke perguruan tinggi swasta, jadi tidak diatur oleh pemerintah,” jelas dia.

Sementara untuk program studi prioritas adalah sains, teknologi, keinsinyuran, matematika, bisnis, teknologi, dan manajemen.

Dia menambahkan sudah ada beberapa perguruan tinggi luar negeri yang tertarik beroperasi di Indonesia seperti Universitas Cambridge, Universitas Melbourne dan Universitas Quensland.

Masalah budaya

Menanggapi keputusan pemerintah Indonesia tersebut di Australia, Phil Honeywood, direkur eksekutif International Education Association of Australia, mengatakan pengumuman tersebut merupakan satu kemajmuan, namun dia masih melihat adanya berbagai masalah di masa depan.

"Ini berita baik namun hanya waktu yang akan bisa menentukan apakah dalam prakteknya ini akan memberikan hasil yang kelihatan." katanya kepada ABC.

Honeywood mengatakan kerjasama antara universitas Australia dengan universitas swasta di Indonesia bisa menimbulkan masalah budaya.

“Di bawah peraturan Kementerian Pendidikan, semua sekolah di Indonesia baik itu milik asing maupun yang tidak, yang memberikan pelajaran bagi siswa Indonesia, harus memasukkan pengajaran Islam dalam kurikulum mereka.’ kata Honeywood.

"Bagi pihak asing ini akan menjadi tantangan bagaimana memasukkan pengajaran agama ke dalam kurikulum mereka. Ini merupakan keharusan yang ditetapkan pemerintah Indonesia."

“Ini semua mencakup kurikulum sekolah menengah, sekolah kejuruan dan juga pendidikann tinggi.”

Universitas negeri asal Australia juga kemungkinan akan menentang usaha untuk melakukan investasi di universitas negeri, dengan masalah kuota jumlah pengajar yang berasal dari Indonesia juga bisa menjadi kendala.

“Masih banyak rincian yang harus diselesaikan.” kata Honeywood.

“Dalam soal pengumuman kebijakan makro, saya kira ini berita bagus bagi universitas asing termasuk dari Australia, namun semua masih harus dilihat secara rinci.”

Tentangan juga datang dari perguruan swasta di Indonesia

Keputusan memberi lampu hijau bagi perguruan tinggi asing beroperasi di Indonesia oleh sebagian kalangan dinilai mengancam industri pendidikan dalam negeri.

Hal itu disampaikan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) yang menaungi ribuan perguruan tinggi swasta di tanah air.

Organisasi ini menilai kebijakan terbaru Kemenristek Dikti ini akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat bagi industri pendidikan tinggi di tanah air.

“Bagi kami (APTISI) ini jelas kabar buruk. Karena pemerintah menurut kami belum adil dalam melakukan pembinaan kepada kami perguruan tinggi swasta (PTS) tapi malah sudah mengharuskan kami ‘head to head’ dengan perguruan tinggi asing di kandang sendiri,” kata Ketua APTSI, Budi Djatmiko.

Ia berpendapat kebijakan ini hanya akan menguntungkan perguruan tinggi yang sudah maju dan memiliki dukungan modal besar.

Angka Partisipasi Kasar (APK) atau rasio warga yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang dijadikan dasar alasan pemerintah menurut APTISI tidak tepat.

Rendahnya tingkat APK menurutnya bukan karena PTS tidak mampu menyerap seperti yang diklaim pemerintah, tapi memang karena persoalan tingkat ekonomi yang rendah.

Ketua Umum APTISI, Budi Djatmiko
Asosiasi Peguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) menilai dibolehkannya perguruan tinggi asing beroperasi di Indonesia mengancam kelangsungan perguruan tinggi swasta (PTS) di tanah air.

Supplied

“APK hanya 30% itu bukan karena perguruan tinggi kita kurang, sehingga perlu didatangkan PT Asing untuk bisa menyerap sisanya. Tidak begitu. Angkanya rendah karena memang anak-anak yang seharusnya melanjutkan pendidikan ke PT itu daya belinya rendah. Mereka lebih memilih membantu orang tua cari nafkah.” Ungkap Budi Djatmiko.

“Dampaknya kue bisnis pendidikan tinggi yang sudah ada saat ini akan semakin digerogoti dengan hadirnya perguruan tinggi asing. “

“Nanti mahasiswa dari keluarga yang mampu di Indonesia yang dahulu memilih kuliah di PTS kelas atas, akan memilih kuliah di PT asing dan akibatnya PTS kelas atas akan mencaplok pangsa pasar PTS dibawahnya, dan begitu seterusnya. Akibatnya PTS kelas bawah yang ada saat ini akan kehilangan pasar dan bisa saja gulung tikar. Persaingannya jadi tidak sehat.” tegas Budi Djatmiko.

Tawaran kolaborasi yang disyaratkan pemerintah dibalik kebijakan ini menurut APTISI juga hanya akan menguntungkan perguruan tinggi bermodal besar.

“Perguruan tinggi asing pasti hanya mau kerjasama dengan PTS yang sudah maju dan besar. PT berakreditasi A. sementara PTS lain di Indonesia tidak akan mendapat manfaat apa-apa dari kebijakan ini,” tukasnya.

APTISI juga tidak menyangkal mereka belum siap bersaing dengan perguruan tinggi asing jika berkaitan dengan menyediakan mutu pendidikan yang lebih baik yang bisa ditawarkan PT asing.

“Ya jelas  kita kalah dari sisi itu, tapi kan kalau mau dibandingkan ya harus dengan yang sepadan, PT di Australia misalnya mereka disana sudah industri maju tingkat pengelolaanya, sementara PTS kita disini masih diurus oleh manajemen yayasan, Ini sangat tidak adil.” Tegasnya.

Pada 2017, berdasarkan data Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristek Dikti), jumlah unit perguruan tinggi yang terdaftar mencapai 4.504 unit.

Angka ini didominasi oleh perguruan tinggi swasta (PTS) yang mencapai 3.136 unit. Sedangkan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi unit paling sedikit, yakni 122 unit.

Sisanya adalah perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi di bawah kementerian atau lembaga negara dengan sistem kedinasan.