Peluang Ekonomi Digital Indonesia di Perjanjian Dengan Australia
Perjanjian Dagang Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) resmi ditandatangani di Jakarta (4/3/2019). Menurut sejumlah pemangku kepentingan di sektor bisnis kedua negara, perjanjian dagang bebas ini bisa memberi peluang besar bagi ekonomi digital Indonesia untuk berkembang pesat.
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia akhirnya menandatangani IA-CEPA di Jakarta pada hari Senin (4/3/2019). Perjanjian dagang bebas yang sedianya diresmikan tahun lalu ini dinilai beberapa kalangan akan memberi manfaat dan keuntungan bagi kedua negara.
Bahkan menurut studi kelayakan pada tahun 2008, seperti disebutkan Kementerian Perdagangan Indonesia, perjanjian ini diperkirakan akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 1,65 miliar dolar Australia (atau setara Rp 16,5 triliun) per tahun.
Tahun lalu, investasi Australia di Indonesia mencapai USD 597,4 juta (atau setara Rp 8,36 triliun). Dengan diberlakukannya IA-CEPA, potensi investasi itu akan bertambah, khususnya untuk sektor ekonomi digital.
“Prediksi saya, dalam dua-tiga tahun ini, (start-up) unicorn kita akan IPO (melakukan penawaran saham perdana di pasar modal). Jadi investor seperti dana pensiun atau superannuation funds di Australia itu nanti bisa ikut serta beli saham IPO-nya unicorn,” papar Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM, Tom Lembong.
Ia juga memprediksi bahwa dalam 3-5 tahun ke depan akan ada banyak pihak yang juga menguangkan aset infrastruktur ke pasar modal.
“Itu sifatnya seperti fixed income (pendapatan tetap), jadi menurut saya akan menarik untuk investor di dana pensiun dari Australia. “
Tom Lembong menilai sektor tambang yang selama ini mendominasi investasi Australia di Indonesia akan turun perlahan di masa mendatang.
Potensi berkembangnya ekonomi digital Indonesia sebagai hasil IA-CEPA juga disampaikan Presiden Direktur TelkomTelstra, Erik Meijer.
Kepada ABC, mantan Direktur Pemasaran Indosat ini mengatakan meski dari hasil riset Indonesia masih akan ketinggalan di sisi transformasi digital, di sisi lain perjanjian ini akan memajukan keseluruhan industri dan kompetensi Indonesia di tingkat dunia.
“Kalau Australia dan Indonesia bisa bekerja sama untuk meningkatkan transformasi digital di Indonesia, ya ini (IA-CEPA) akan bermanfaat terutama untuk Indonesia.”
Indonesia, kata Erik, memiliki insentif besar untuk Australia dalam hal ukuran pasar. Namun memiliki masalah penyaluran sumber daya.
“Orang Indonesia ini pintar-pintar tapi kadang tidak dikasih kesempatan. Seharusnya dengan kerjasama ekonomi ini, kesempatan itu akan lebih mudah,” paparnya.
Di antara kalangan pengusaha sendiri, IA-CEPA dianggap sebagai kesempatan emas dan aliansi ekonomi yang paling strategis bagi Indonesia.
“Jadi yang ditandatangani ini adalah bagaimana ekonomi saling mengisi. Kebetulan kan Indonesia lagi membangun. Dengan Australia ini kita bisa banyak mendapat manfaat dari knowledge transfer, dari investasi di bidang pengetahuan,” jelas George Iwan Marantika, anggota Dewan Bisnis Indonesia-Australia yang juga anggota Kamar Dagang Indonesia (KADIN) kepada ABC (4/3/2019).
“Jadi saya namakan ekonomi berbasis pengetahuan. Di dalamnya memang ada ekonomi digital,” imbuhnya.
Indonesia, menurutnya, harus memanfaatkan transfer pengetahuan agar bisa memaksimalkan kinerja sektor jasa yang bisa berkontribusi pada peningkatan produk domestik bruto (GDP) sebesar 7-8 persen per tahun.
Diteken setelah lebih dari satu dekade negosiasi
Ide awal IA-CEPA tercetus pada tahun 2005 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Perdana Menteri John Howard.
Sejak saat itu, proses negosiasinya terus bergulir hingga sekitar 13 tahun kemudian, tepatnya hari Senin (4/3/2019), perjanjian dagang ini akhirnya diresmikan di Jakarta oleh kedua negara yang masing-masing diwakili Menteri Perdagangan Indonesia (Mendag), Enggartiasto Lukita, dan Menteri Perdagangan, Pariwisata dan Investasi Australia, Simon Birmingham.
Dalam sambutannya, Menteri Enggartiasto mengatakan penandatanganan IA-CEPA mencerminkan komitmen kerjasama yang lebih dari sekedar perdagangan.
Jika IA-CEPA telah diratifikasi, maka 6474 pos tarif (bea masuk) untuk produk Indonesia yang masuk ke Australia akan dibebaskan. Sementara penghapusan pos tarif Indonesia untuk produk Australia dilakukan secara bertahap.
Misalnya saja untuk produk tekstil Indonesia, yang memiliki nilai ekspor sebesar USD 306,4 juta (atau setara Rp 4,28 triliun). Jika sebelum IA-CEPA diberlakukan tarifnya mencapai 5 persen, maka setelah perjanjian ini diratifikasi, tarif masuknya ke Australia akan dibebaskan atau menjadi 0 persen.
“Perjanjian ini akan menghilangkan 100 persen pos tarif dari Australia (produk Indonesia ke Australia), sedangkan 94 persen dari pos tarif Indonesia (produk Australia ke Indonesia) akan secara bertahap dihapuskan,” ujar Menteri Enggartiasto.
Menurutnya, pengaturan itu adalah bagian dari negosiasi antara kedua negara.
“Berdasarkan perjanjian kami, kami harus mencapai solusi yang sama-sama menguntungkan (win-win). Jadi bukan hanya melihat keuntungan untuk Indonesia. Jadi kita harus melihat keuntungan untuk Indonesia dan Australia. Itu normal,” sebut Mendag Indonesia itu dalam keterangan pers setelah acara penandatanganan IA-CEPA berlangsung.
Setelah proses penandatanganan pada hari Senin (4/3/2019), perjanjian ini akan memasuki tahap ratifikasi oleh Parlemen kedua negara yang diperkirakan terjadi pada akhir tahun 2019.
“Baru akan resmi diberlakukan kira-kira awal tahun depan,” kata Enggartiasto.