ABC

Pelaku Tindakan Intoleran Di Indonesia Tahun 2018 Lebih Banyak Individu dan Kelompok Warga

Survey terbaru Setara Institut menyimpulkan bahwa pelaku tindakan inteloran di Indonesia di tahun 2018 lebih banyak dilakukan oleh individu dan kelompok warga, dan tahun lalu terjadi peningkatan tindakan intoleran dibandingkan tahun sebelumnya.

Laporan ini mencatat sepanjang tahun 2018 yang merupakan tahun politik menyusul diselenggarakannya pemilu kepala daerah (pilkada) dan menjelang pemilu legislatif (pileg) dan pilpres tahun 2019, telah terjadi 160 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dan 202 tindakan pelanggaran KBB di 25 provinsi di Indonesia.

Direktur Riset Setara Institut, Halili dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (31//3/2019) mengatakan angka ini sebenarnya relatif stabil jika dibandingkan data sebelumnya karena hanya terjadi kenaikan 5 kasus dari 155 peristiwa pelanggaran KBB dan 201 tindakan di tahun 2017.

Direktur Riset Setara Institut
Direktur Riset Setara Institut, Halili mengatakan UU ITE dan UU penodaan agama menjadi alat bagi warga untuk melakuan melaporkan pihak yang dinilai menyinggung atau menodai identitas kelompok mereka.

ABC:Iffah Nur Arifah

Namun Setara Institut menyoroti tren yang semakin mengkhawatirkan berupa meningkatnya kapasitas warga untuk melakukan tindakan pelanggaran dan pembatasan hak konstitusional warga terkait KBB.

Halili memaparkan dalam survey ini terungkap aktor yang paling banyak melakukan tindakan pelanggaran KBB sepanjang tahun 2018 ternyata aktor non negara yakni individu dan kelompok warga, bukan lagi kelompok atau ormas intoleran seperti pada tahun-tahun sebelumnya.

“Aktor non negara yang melakukan pelanggaran dengan angka tertinggi adalah individu dengan 46 tindakan, disusul kelompok warga dengan 32 tindakan. “

“Menyusul kelompok masyarakat ormas, MUI 22 tindakan, ormas keagamaan 15 tindakan dan ormas lainnya 11 tindakan,” kata Halili.

Menurut Halili bentuk pelanggaran yang dilakukan aktor individu dan kelompok warga itu berupa tindakan intoleransi sebanyak 25 kasus dan pelaporan penodaan agama sebanyak 23 kasus,

Dan dari penelusuran yang dilakukan Setara Institut diketahui, banyak dari tindakan tersebut khususnya pelaporan penodaan agama sangat kental dengan nuansa politik, dimana sebagian besar tindakan itu dilakukan oleh aktor-aktor dengan sentimen politik.

Halili menduga menguatnya politik identitas dan polarisasi di masyarakat yang dimainkan kelompok yang berkepentingan selama tahun politik ini sebagai faktor pemicu maraknya tindak pelaporan penodaan agama.

"Karena politik identitas berlangsung di masyarakat, misalnya kampanye penistaan agama Islam atau penistaan ulama, maka jika kemudian ada sedikit saja yang mereka anggap menyinggung kelompoknya maka akan langsung dilacak, dipersekusi dan tidak itu saja mereka kemudian juga dilaporkan ke polisi karena motif pembelaan atas agama yang mereka yakini," kata Halili.

Dalam hal ini Halili menilai proses hukum yang ditempuh hanya menjadi sarana politik dan tidak jarang sekadar dilatarbelakangi hal-hal yang tak substantif, semisal perbedaan identitas hingga agama.

“UU ITE dan UU penodaan agama jadi alat mereka untuk membangun solidaritas dan mendorong sentimen identitas yang mereka usung. “

“Pada umumnya orang-orang termasuk yang melaporkan tidak paham juga kasus yang mereka laporkan masuk delik aduan ITE atau tidak.” tambah Halili.

Tretan dan Coki
Dua komika Tretan dan Coki Pardede dilaporkan karena membuat video memasak daging babi dan kurma di saluran Youtube mereka yang dianggap menistakan agama Islam pada Oktober 2018 lalu.

Youtube_Tretan dan Coki

“Rasa kebersamaan warga semakin luntur”

Setara Institut mencontohkan kasus pelaporan penodaan agama terhadap Permadi Arya atau Abu Janda karena status di akun Facebooknya yang mengomentari bendera bertuliskan kalimat syahadat sebagai bagian dari terorisme.”

Kasus lain yang dijadikan contoh Setara adalah kasus pelaporan dua komika Tretan Muslim dan Coki Pardede yang dinilai menistakan agama Islam karena membuat video memasak daging babi dengan kurma di saluran YouTube mereka.

Menanggapi tren ini, wakil direktur Setara Institut, Bonar Tigor Naipospos menyebut jika terus dibiarkan kondisi ini akan memberi efek negatif jangka panjang di masyarakat.

“Itu tidak sehat bagi demokrasi dan lebih runyamnya lagi ini akan berdampak pada kebebasan beragama dan toleransi serta penghargaan terhadap kemajemukan,” ungkap Tigor Naipospos.

“Tren ini menunjukan paham konservatif yang kurang menghargai orang yang berbeda pendapat atau keyakinan itu sudah menyebar ke masyarakat.’

“Bahkan ke kelompok yang tadinya kita perkirakan adalah warga yang guyub, seperti di pedesaan.”

“Jadi rasa kebersamaan warga semakin luntur, sehingga meski di satu lokasi orang itu tidak sungkan mengekspresikan pembelaanya terhadap identitas diri atau kelompoknya. Ini jauh lebih berbahaya.”

Bonar Tigor Naipospos
Wakil Direktur Setara Institut, Bonar Tigor Naipospos menilai sikap saling lapor bermotif politik mengancam pada akhirnya akan mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan.

ABC: Iffah Nur Arifah

Bonar Tigor Naipospos menilai pemerintah perlu mendorong upaya mempromosikan perilaku toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman dan kemajemukan khususnya di lingkungan masyarakat dan keluarga.

Survey kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dan toleransi di Indonesia tahun 2018 oleh Setara Institut juga mencatat sejumlah gejala positif yang perlu diapresiasi sebagai kemajuan dalam KBB.

Kemajuan itu antara lain bahwa angka peristiwa dan tindakan pelanggaran yang stabil, kasus pelanggaran terhadap kelompok minoritas juga menurun dan angka gangguan terhadap rumah ibadah juga rendah.