ABC

Pelaku Serangan Rasial, Dihukum Melahirkan Dibalik Jeruji Penjara

Wanita hamil berusia 21 tahun terpaksa akan melahirkan dibalik jeruji penjara sebagai bagian dari hukuman atas tindakan rasialnya menyerang seorang remaja pencari suaka.

Theresa Maree Hillier menyerang seorang remaja berusia 15 tahun karena berbicara dengan menggunakan bahasa Persia di bis umum di Hobart.

Dari persidangan di Pengadilan Magistrasi diketahui keluarga anak itu telah menjadi korban kekejaman Taliban di Afghanistan dan menyebabkan ia harus melarikan diri ke Tasmania untuk mencari keselamatan.  Anak itu baru berada di Tasmania kurang dari 3 bulan dan belum bisa berbahasa Inggris.

Hillier memaki dan memukulnya dibagian kepala. Teman laki-laki Hillier yang juga ikut menjadi tersangka dalam kasus ini, Raymond Michael Horton, dituduh turut melakukan pemukulan. Horton beberapa kali memukul korban di bagian kepala dan badan.

Hakim Magistrasi Sam Mollard mengatakan serangan itu dimotivasi oleh tindakan rasial.

"Ini serangan rasial – tidak ada penjelasan atau kemungkinan lain yang bisa dilihat dari tindakan ini,” katanya di pengadilan.

Hakim Magistrasi mengatakan hukuman penjara bagi Hiller akan menjadi sangat berat karena dia tengah hamil dan karenanya akan melahirkan di balik jeruji besi.

"Ini adalah kenyataan yang mengerikan, aib baginya dan stigma pada generasi berikutnya … itu adalah langkah yang saya ambil dengan sangat hati-hati."

Mollard mengatakan kekerasan yang dialami korban tidak sebatas fisik tapi juga psikologis.

Dr. Gillian Long, pejabat sementara dari Pusat Sumber Daya Migran, setuju dengan pandangan ini.  Menurutnya banyak pencari suaka tidak melaporkan  serangan yang mereka alami karena takut.

"Hukuman ini mengirimkan pesan kalau pencari suaka  harus melaporkan serangan yang mereka alami, karena laporan itu akan direspon oleh pihak kepolisian dan sistem hukum di Australia juga akan merespon serangan yang bersifat rasial,” katanya.

"Para pencari suaka ini telah menyaksikan penyiksaan, mengalami trauma dan kemudian harus mengalami trauma lagi ketika mereka tiba di Australia yang mereka anggap sebagai tempat yang aman itu sangat menyakitkan.”