ABC

Pelajar Migran di Australia Berbagi Cerita Lewat Lagu

Rita Yousif bersama keluarganya meninggalkan Irak saat negara kelahirannya tersebut dilanda perang. Mereka memulai kehidupan baru di Australia sekitar dua tahun lalu, dengan diawali rasa takut dan tak yakin dengan masa depan di negara barunya.

Rita yang berusia 13 tahun sebelumnya terbiasa dengan kehidupan yang selalu diliputi ketakutan, dari suara ledakan dan senjata. Tapi saat tiba di Australia, rasa takut yang berbeda dialaminya.

“Awalnya saya tidak mau datang kesini karena takut tidak bisa mendapatkan teman baru,” ujarnya.

“Sebuah kehidupan yang baru. Saya merasa seperti bayi baru lahir disini.”

Ia mengaku pernah malu dan butuh waktu beberapa saat untuk bisa menjalani kehidupan barunya dan beradaptasi di sekolahnya.

Bersama dengan beberapa pelajar kelas Bahasa Inggris di Aranmore Catholic College, Perth, Australia, Rita tampil dalam video berjudul Same Drum. Anda bisa menontonnya disini.

Video musik ini dibuat dengan arahan sutradara dan pembuat film Poppy van Oorde-Grainger, yang memiliki kakek orang Indonesia yang dibuat un tuk merayakan Harmony Day yang diperingati setiap tanggal 21 Maret di Australia.

Lagu berjudul ‘Same Drum’ ini mengirimkan pesan kuat bagi para migran di Australia, khususnya para pemuda migran, untuk menikmati kehidupan di negara barunya, tanpa harus melupakan asal usul mereka.

“Proyek ini adalah kesempatan unik bagi anak-anak muda ini untuk menjadi pengagas dalam menceritakan kisah kehidupan mereka sendiri,” ujar Poppy.

Para pelajar yang terlibat berkerja sama dengan sejumlah tim profesional untuk menulis dan merekam lagu, serta terlibat dalam pembuatan video musik.

Diantara tim profesional adalah penulis David Vincent Smith, sinematografer Matsu, penari Rita Nita, pembuat film Gemma Parsons dam musisi Scott Griffiths dari kelompok hiphop Downsyde, yang berbasis di Perth.

Menggunakan seni untuk bantah persepsi

Selain Rita adalah pula Frank Mucho, usia 17 tahun yang menunjukkan aksi rap-nya. Ia mengatakan ingin terlibat proyek ini untuk membantas persepsi soal warga pendatang di Australia.

Scott Griffiths (kanan) dan Frank Mucho (kiri) di studio rekaman saat merekam lagu 'Same Drum'
Scott Griffiths (kanan) dan Frank Mucho (kiri) di studio rekaman saat merekam lagu 'Same Drum'

Supplied: Poppy van Oorde-Grainger

“Laporan akhir-akhir ini soal pemuda asal Sudan Selatan terlibat dalam aksi gang dan lainnya,” ujar Frank yang berasal dari Rwanda.

“Media memberitakan sisi buruk dari warga pendatang tapi video ini menunjukkan sisi yang berbeda dari orang-orang ini.”

Poppy mengatakan lagu ‘Same Drum’ dinyanyikan dalam bahasa Inggris dan tiga bahasa Afrika lainnya dan melibatkan pelajar dari berbagai latar belakang budaya.

“Awal lagu menggunakan bahasa Dinka, dan artinya, ‘Jangan lupakan budaya kamu, ajarkan anak-anak kalian dari mana mereka berasal’, dan saya rasa ini bagus bagi pemuda migran agar tidak perlu mencoba berubah untuk diterima.”

“Mereka tetap bisa memegang teguh sejarah dan budaya mereka,” tambah Poppy yang juga datang ke Australia sebagai migran saat remaja.

Simak wawancara bersama Rita dan Poppy lewat tautan berikut.

Skip YouTube Video

FireFox NVDA users – To access the following content, press ‘M’ to enter the iFrame.

Artikel ini dirangkum dari laporan yang bisa Anda baca dalam bahasa Inggris disini.