Pelajar Melbourne Belajar Tentang Indonesia Melalui Layar Perak
Terbebas dari pelajaran di kelas diganti dengan pergi ke bioskop tentu saja menyenangkan bagi para pelajar. Namun, bagi pelajar kelas Bahasa Indonesia di Melbourne, Australia, pengalaman seperti itu bukan sekadar menghabiskan waktu di kegelapan gedung bioskop.
Saat Declan Woolf (15 tahun) dan murid Camberwell Grammar School lainnya meninggalkan sekolah menuju stasiun kereta, dia tak dapat menyembunyikan rasa senangnya.
“Jujur saja, saya begitu bersemangat. Kami libur sehari. Saya begitu senang,” katanya kepada Kim Jirik dari ABC News.
Meskipun Declan menyebutnya sebagai hari libur sekolah, namun murid-murid Kelas 9 dan Kelas 10 untuk Pelajaran Bahasa Indonesia saat itu sedang menghadiri pemutaran film Indonesia berjudul Salawaku.
Kegiatan ini menjadi bagian dari Schools Program pada Melbourne International Film Festival (MIFF) 2017, yang didukung oleh Modern Language Teachers’ Association of Victoria (MLTAV). MIFF sendiri berlangsung dari 3 hingga 20 Agustus 2017.
Seperti dijelaskan Thomas Caldwell dari MIFF Schools Program, penyelenggara festival ini penuh harapan mengenai apa yang bisa dipetik para pelajar dari pengalaman tersebut.
“Film-film ini sangat bagus dan menarik,” katanya. “Dan saya kira para murid dengan cepat terbiasa membaca alih bahasa dan memahami bahasa yang berbeda,” tuturnya.
“Cukup menyenangkan bahwa mereka mendapatkan pengalaman seperti ini dan positif. Mudah-mudahan mereka akan terus menonton film berbahasa asing,” tambah Caldwell.
Seluruh film yang ditampilkan dalam Schools Program MIFF tahun ini berasal dari bahasa yang umumnya diajarkan di Australia: Bahasa Yunani, Jerman, Prancis, Jepang, Spanyol, Mandarin dan Indonesia.
“Bagi guru bahasa, sangatlah berharga bisa membawa murid-murid mereka menonton film kontemporer dalam bahasa yang mereka pelajari,” kata Caldwell lagi.
Wawasan internasional
Declan dan teman sekelasnya Liam Brady (15 tahun) telah belajar Bahasa Indonesia sejak Kelas 7. Meskipun keduanya belum memutuskan apakah akan terus belajar Bahasa Indonesia sampai Kelas 12, namun mereka mengaku mempelajari bahasa ini agar tahu lebih banyak tentang negara tetangga terdekat Australia tersebut.
“Menarik untuk mendapatkan wawasan tentang cara hidup mereka dan sedikit tentang sejarah mereka,” kata Liam.
“Banyak kesempatan berbeda yang bisa melibatkan penggunaan bahasa ini,” ujarnya.
“Jika Anda ingin masuk tentara, atau pekerjaan lain yang melibatkan interaksi dengan negara lain, Anda tentu harus bisa berbicara bahasa kedua,” katanya.
Bagi Declan, yang bercita-cita jadi arsitek, suatu saat dia bisa saja menemukan pekerjaan di negara berkembang.
“Indonesia masih butuh banyak pembangunan. Jika saya belajar Bahasa Indonesia, saya bisa dipekerjakan oleh perusahaan Indonesia. Hal itu akan sangat membantu karena saat ini tidak begitu banyak pekerjaan arsitektur di Australia,” paparnya.
Thomas Caldwell, yang pernah belajar Bahasa Jerman di sekolah namun kurang berhasil, berharap Schools Program MIFF akan mendorong antusiasme pelajar dalam menguasai bahasa kedua.
“Agak memalukan dan terkesan sombong, bahwa banyak dari kita di Australia tidak bisa (berbicara bahasa kedua),” ujarnya.
“Saya berharap bisa kembali ke masa sekolah dan mengatakan pada diri sendiri, ‘Jangan terlalu sombong dan menutup diri. Demi Tuhan, pelajari hal itu’,” katanya merujuk pada bahasa asing.
Minat tentang Indonesia
Kepala Pelajaran Bahasa Indonesia pada Camberwell Grammar School, Janet Sharman, telah mengajarkan bahasa ini sejak tahun 1990an. Dia mengungkapkan saat itu Bahasa Indonesia menjadi bahasa Asia yang paling banyak diajarkan.
“Ada saatnya saya mengajar di tiga tempat. Mengajar di sekolah, mengajar di sekolah hari Sabtu dan mengajar kelas orang dewasa,” katanya. “Di tahun 90an pertumbuhannya sangat besar.”
“Namun tentu saja, sekarang lebih banyak bahasa Asia yang bisa dipilih dan demografi Australia telah berubah. Bahasa-bahasa lain telah menonjol, yang menurut saya merupakan hal yang baik, walaupun hal itu menjadikan Bahasa Indonesia (menghadapi kompetisi),” paparnya.
Janet Sharman menyelenggarakan perjalanan kegiatan bagi murid-muridnya mengunjungi MIFF dan Festival Film Indonesia di sana.
“Saya kira film sangat penting, karena memberikan dimensi lain dari pengajaran di kelas. Membawa mereka keluar dari lingkungan kelas, memasuki dunia nyata,” jelasnya.
Rekannya guru Bahasa Indonesia, Hamish Green, menyatakan hal senada.
“Lebih banyak (hal lainnya) untuk bisa berbicara bahasa asing daripada hanya duduk dan mendengarkan penjelasan guru,” kata Green.
“Membawa anak-anak ke sini memungkinkan mereka melihat murid lain yang juga belajar Bahasa Indonesia. Mereka bisa menonton film dengan topik kontemporer dan membantu memperluas cakrawala mereka,” jelasnya.
Green belajar Bahasa Indonesia di tahun 1970an, dan masih mengingat pengalaman pertamanya berusaha dipahami saat bicara dalam bahasa tersebut ketika dia belajar di Salatiga, Jawa Tengah
“Saya ingat begitu merasa gembira saat tahu bahwa saya telah mampu menyampaikan sesuatu dalam bahasa asing tanpa ada sumber ke Bahasa Inggris. Rasanya sangat menyenangkan. Memberdayakan,” tuturnya.
Declan dan Liam mengaku senang bisa menonton Film Salawaku yang berkisah tentang seorang anak laki-laki yang mencari saudarinya yang hilang di Maluku. Namun merasa kurang puas.
“Filmnya masuk akal sih,” kata Declan. “Kurasa film ini direncanakan dengan baik. Namun memang bukan tipe film yang saya suka,” katanya.
“Saya pikir ini film yang menarik,” Liam menambahkan. “Tapi saya orang tipe yang lebih suka bertindak. Filmnya cukup mudah mengerti. Mereka berbicara tidak terlalu cepat dan alih bahasanya juga membantu.”
Kedua pelajar ini, tampaknya, justru lebih tertarik pada restoran Indonesia yang mereka kunjungi sebagai bagian dari kegiatan mereka hari itu.
“Saya menyukai makanannya,” kata Declan.
Makanan apa yang akan dia pesan?
“Nasi goreng, pastinya. Seperti nasi yang di goreng, namun lebih baik,” ujarnya dalam Bahasa Indonesia saat menyebutkan kata Nasi Goreng.
“Enak rasanya. Saya tidak tahu apa bumbunya,” tambah Delcan.
Diterbitkan Rabu 16 Agustus 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.