ABC

Pekerja Seks Berbagai Negara Angkat Bicara di Melbourne

Sejumlah pekerja seks dari berbagai negara di dunia menuntut agar pekerjaan mereka tidak dianggap tindakan kriminal dan diakui sebagai pekerjaan agar mereka bisa berserikat dan terlindungi oleh hak-hak yang dinikmati pekerjaan lainnya.

Menurut para pekerja seks tersebut, mereka banyak mengalami diskriminasi dalam menerima layanan kesehatan dan perlindungan dari kekerasan, dikarenakan profesi mereka.

Oleh karena itu, mereka yang bekerja sebagai pekerja seks pun rentan terkena berbagai penyakit dan dilanggar hak-haknya sebagai manusia dan warga negara.

Dalam konferensi internasional AIDS tahun 2014 yang diadakan di kota Melbourne, Australia, bulan lalu, terdengar berbagai seruan dan keluhan dari pekerja seks dari berbagai negara, termasuk Indonesia.

Dalam sebuah pernyataan tentang pekerjaan seks, hak azasi manusia (HAM) dan hukum yang dikeluarkan oleh Jaringan Global Proyek Pekerja Seks (NSWP), dinyatakan delapan hak dasar untuk pekerja seks, antara lain termasuk hak berorganisasi, hak bebas dari diskriminasi,dan hak untuk bekerja.

Keanggotaan NSWP mencakup 160 organisasi pekerja seks di lebih dari 60 negara, jelas pernyataan tersebut.

Dalam penjelasan tentang hak untuk bekerja, NSWP menuntut agar pemerintah mendukung hak-hak ketenagakerjaan bagi pekerja seks, sperti cuti  dan pensiun.

Jules Kim, seorang aktivis pekerja seks Australia, menyatakan dalam sebuah sesi diskusi di AIDS 2014 bahwa kriminalisasi pekerja seks berdasarkan profesi mereka akan menghambat penanggulangan penyebaran HIV.

"Stigma, diskriminasi, pelanggaran HAM, kriminalisasi berdasarkan profesi, adalah tantangan-tantangan yang sehari-hari dihadapi pekerja seks, dan faktor-faktor ini disebut sebagai halangan-halangan terbesar dalam menurunkan epidemi HIV," ucapnya.

Rani Ravudi, seorang pekerja seks dari Fiji, menyatakan dalam sesi yang sama bahwa para pekerja seks ini berorganisasi agar bisa saling mengajari cara-cara untuk memperbaiki hidup.

Salah satu organisasi yang telah menerapkan pendekatan berbasis HAM untuk menanggulangi masalah HIV di kalangan pekerja seks adalah LSM bernama PIACT Bangladesh.

JS Piwoo,yang memberikan presentasi tentang PIACT Bangladesh dalam salah satu sesi diskusi, bercerita bahwa banyak remaja perempuan di Bangladesh dijual ke rumah-rumah bordil, dan mereka menjadi terikat pada rumah-rumah bordil itu, hingga terpaksa bekerja sebagai pekerja seks, bahkan dipaksa bekerja tanpa kondom.

PIACT Bangladesh mengimplementasi sebuah program di sebuah rumah bordil di kawasan Daulatdia sejak tahun 2001, terang Piwoo dalam presentasinya. Selain melindungi remaja putri dari pekerjaan seks yang berbahaya,organisasi ini juga memberi pengetahuan tentang HAM pada pekerja seks. 

Programnya berfokus pada akuntabilitas terkait uang yang dikeluarkan para juragan perempuan untuk para pekerja seks di bawah mereka.

Presentasi Piwoo menyatakan bahwa kebanyakan pekerja seks menjadi lebih pintar bernegosiasi dengan para juragan, dan lebih bisa bekerja dengan menggunakan kondom. Selain itu, para juragan pun bisa diajak bekerja sama agar bisa berunding dengan pekerja seks secara rasional.

AIDS 2014_Sex Workers Area

'Sex Workers' Zone' salah satu los di kawasan 'Global Village', semacam kawasan Expo di AIDS 2014.

Indonesia Turut Terdengar

Mulai dari pembahasan penutupan kawasan lokalisasi Dolly di Surabaya hingga aktivisme pekerja seks Indonesia, Konferensi AIDS 2014 juga menyinggung perkembangan seputar pekerja seks di Indonesia.

Seorang pekerja seks asal Australia yang ditemui Australia Plus di kawasan Global Village konferensi, yaitu semacam kawasan expo, menyatakan bahwa Ia mendengar kabar tentang penutupan Dolly.

Menurutnya, bila yang menjadi masalah adalah adanya pekerja seks bawah umur, maka solusinya adalah penerapan hak-hak ketenagakerjaan dan standar tempat kerja.

"Agar ada pilihan bagi para anak muda untuk tidak melakukan pekerjaan itu, atau agar mereka aman bila harus melakukan pekerjaan itu," ucapnya,

"Kalau ditutup, mereka tak punya tempat kerja dan harus membuat tempat kerja baru. Mereka tak akan pergi, mereka hanya akan membuat tempat kerja yang kurang aman."

Aktivis-aktivis pekerja seks Indonesia pun angkat bicara dalam konferensi ini. Aldo dan Liana dari Organisasi Perubahan Sosial Indonesia

Aldo bercerita bahwa salah satu isu yang mereka angkat dalam konferensi kali ini tak lain adalah isu Dolly. Ia menyampaikan kegiatan penelitian seputar penutupan lokalisasi itu.

"Kita enggak tau pasti apakah sekitar 400 sekian pekerja seks yang ada di situ benar-benar pulang ke daerah asalnya atau dia malah pindah ke area-area lain yang ada  di Jawa Timur…atau malah mungkin keluar dari Jawa Timur dan tetap melakukan pekerjaan sebagai pekerja seks," ucapnya,

" Kita mau bikin studi kualitatif untuk melihat dampak dari penutupan lokalisasi tersebut, apakah memang sesuai pemkot Surabaya atau malah menambah masalah baru terhadap industri seks, kepada pekerja seks nya."

Secara lebih luas, yang diinginkan para pekerja seks Indonesia adalah penentuan sikap yang tegas terkait pekerjaan bidang seks. Menurut Aldo, ketidakjelasan ini mengakibatkan lokalisasi di berbagai daerah di Indonesia diisi oleh geng judi, kekerasan dan preman.

"Karena pemerintah tidak mengintervensi tapi dia minta pajak. pendapatan daerah dari situ," ucapnya.

Selain itu, Aldo dan Liana juga menyuarakan soal aturan yang menjamin keselamatan pekerja seks saat bekerja, agar mereka terhindar dari kekerasan, misalnya.

"Pemerintah wajib melindungi semua hak warga negaranya tanpa terkeculai pekerja seks sekalipun," ucap Liana.
AIDS 2014_Debby doesn't do it

'Debby doesn't do it for Free' adalah sebuah kolektif seni pekerja seks