ABC

Pekerja Migran Indonesia di Hong Kong Rentan Perbudakan

Amnesty Internasional mengungkapkan kalau pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia di Hong Kong lebih rentan mengalami pelecehan dan perbudakan ketimbang di daerah lain.

Organisasi yang fokus soal kemanusiaan ini mengatakan ribuan pekerja perempuan Indonesia dijual ke Hong Kong beresiko dipaksa ke dalam situasi perbudakan PRT.

Laporan Amnesty yang berjudul "Exploited for Profit, Failed by Governments" itu menekankan soal ketidak becusan sistem yang dilakukan Pemerintah Hong Kong dan Indonesia dalam melindungi pekerja migrant dari eksploitasi.

Peneliti Amnesty Asia Pasific, Norma Kang Muico, kepada Radio Australia mengatakan perempuan takluk dengan janji janji atas kondisi kerja yang baik.

“Tapi setelah mereka sampai di Hong Kong, mereka langsung tahu relaitasnya, pekerjaan mereka yang sebenarnya tidak seperti dijanjikan,” ujar Muico.

“Dan mereka tidak boleh membatalkan pekerjaannya karena mereka terlanjur terbebanib dengan biaya agen yang tinggi dan ilegal di kedua negara Hong Kong dan Indonesia,” tambahnya lagi.

Saat ini menurut Amenesty terdapat  300 ribu PRT migrant di Hong Kong dan setengahnya berasal dari Indonesia serta kebanyakan perempuan.

Laporan itu menyebut PRT di Hong Kong dikontrol oleh agensi lokal.

“Jam kerja mereka berlebihan, rata rata 17 jam sehari. Mereka tidak diberikan libur mingguan yang semestinya wajib di Hong Kong,” ungkap Muico.

Kebebasan mereka juga dibatasi dan dibayar murah.

“Dalam situasi normal seorang pekerja akan melawan kondisi pelecehan ini, tapi karena mereka perlu membayar uang perekrutan pada agen, akhirnya mereka lebih baik bekerja kepada majikan karena dari situlah mereka bisa mendapat uang untuk membayar utang mereka,” tuturnya.

Laporan itu juga dilengkapi dengan sebuah kisah dari seorang PRT dimana majikan sengaja menyuruh anjing peliharaanya menyerang korban dan direkam gambarnya dengan telepon genggam.

“Saya kira, apa yang ingin disampaikan dari laporan ini adalah situasi siksaan dengan penyiksaan fisik dan verbal yang membuat situasai pekerja menjadi sangat rentan,” seru Muico.

Temuan ini diperoleh dari wawancara Amnesty dengan 97 PRT migran asal Indonesia dan diikuti survey seribu perempuan oleh Serikat Pekerja Migran Indonesia.