ABC

Pastur Katolik Indonesia yang Melayani di Australia

Menurut hasil sensus kependudukan di Australia, terhadap sekitar 80 ribu warga asal Indonesia di sini, dan 29 persen di antara mereka menganut agama Katolik, jumlah terbesar dibandingkan penganut agama lain.

Dengan jumlah yang besar tersebut, di kota seperti Sydney dan Melbourne sekarang ini beberapa pastur asal Indonesia didatangkan untuk melayani umat asal Indonesia, namun ada juga beberapa pastur lain yang bekerja di gereja lokal.

Berikut tiga orang pastur asal Indonesia dan Australia yang bekerja di sini yang dihubungi oleh wartawan ABC Sastra Wijaya untuk mendengarkan suka duka pelayanan mereka di Australia.

Bonifasius Buahendri SVD, Melbourne

Pastur Bonifacius Buahendri berasal dari Nusa Tenggara Timur, dan sudah berada di Australia sejak tahun 1999. Dikenal dengan nama akrab Pater Boni, dia sekarang adalah pastur yang khusus melayani umat Katolik asal Indonesia di Melbourne yang dikenal dengan nama KKI (Keluarga Katolik Indonesia).

“Setelah ditahbiskan sebagai imam di tahun 1998, saya kemudian diutus sebagai misionaris untuk melayani umat di Australia sebagai misi dari ordo saya, SVD.” kata Pater Boni.
“Saya dikirim ke sini karena di Australia mulai kekurangan pastur terutama dari ordo kami, dimana banyak pastur yang sudah lanjut usia.”

Pater Boni kemudian bekerja di gereja lokal yang melayani umat Katolik Australia di negara bagian New South Wales yaitu di Newcastle and Wollongong.

Baru di tahun 2014, Boni diangkat untuk mengurusi khusus umat Katolik asal Indonesia di Melbourne, jabatan yang dikenal dengan sebutan chaplaincy di bawah Keuskupan Agung Melbourne.

Setiap minggu, Pastor Boni akan memimpin misa dalam bahasa Indonesia yang dilakukan di tempat berbeda, sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dengan lokasi gereja di Box Hill, Port Melbourne, Melbourne CBD dan Laverton.

KKI didirikan di tahun 1987 dan tahun ini merayakan ulang tahun ke-30, dan menurut Pater Boni, umat asal Indonesia yang berada di Melbourne semakin bertambah dari tahun ke tahun.

“Dulu awalnya hanya ada misa sekali sebulan, namun sekarang setiap minggu ada misa, jadi 4 kali dalam sebulan. Juga sekarang ada sembilan wilayah dan 2 kategorial, dimana masing-masing mereka juga kadang mengadakan kegiatan sendiri.” kata Pater Boni.

Setelah tiga tahun melayani umat Katolik Indonesia di sini, apa yang dilihat oleh Pastur Boni sebagai tantangan yang harus dilakukan umat di sini?

"Umat Katolik Indonesia di sini sebenarnya suka berkumpul dan mengadakan pertemuan, asal saja pasturnya juga ikut hadir. Mereka mau melayani sesama . Dari tahun ke tahun saya melihat dalam berbagai misa semakin banyak umat yang hadir." katanya.

Namun Pater Boni mengharapkan bahwa kemudian umat Katolik Indonesia di Melbourne ini tidak sekedar berkumpul sesama mereka saja.

“Saya melihat masih sedikit yang kemudian terlibat dalam kegiatan sosial yang ada di kalangan gereja di lembaga sosial seperti Vinnies atau yang lain.”

Oleh karena itu, Pater Boni mendesak agar umat di sini agar lebih banyak mengikuti kegiatan di gereja lokal.

“Kehadiran KKI sebenarnya hanyalah untuk membantu umat untuk lebih terintegrasi ke dalam kehidupan masyarakat Katolik di Australia. Mereka harus lebih aktif di gereja lokal, harus mengenal siapa pastur mereka.”

John O’Doherty OMI, Adelaide

Romo John O'Doherty OMI
Romo John O'Doherty OMI

Foto: Istimewa

Pastur John O’Doherty adalah rohaniwan yang awalnya berasal dari Australia dan di tahun 1982 ditugaskan oleh Ordonya, OMI untuk melayani umat Katolik di Indonesia.

Dia kemudian selama 28 tahun bertugas di berbagai daerah di Pulau Jawa antara lain di Cilacap, Semarang, Yogyakarta dan Jakarta.

Romo John demikian dia biasanya dipanggil kemudian kembali ke Australia di tahun 2011 karena kondisi kesehatan yang memerlukan perawatan yang lebih baik di Australia, dan setelah pernah bertugas di Perth (Australia Barat) sekarang menjadi pastur pembantu di Gereja St Pius X di Dernandcourt, Adelaide (Australia Selatan).

Selain melayani gereja lokal, sebulan sekali, Romo John yang fasih berbahasa Indonesia melayani umat Katolik Indonesia yang tergabung di dalam Keluarga Katolik Indonesia Adelaide (KKIA).

“Setiap bulan, di gereja saya ini, saya memimpin misa yang dihadiri oleh sekitar 50-60 orang warga asal Indonesia.” kata Romo John.

Bertahun-tahun sebelumnya, umat KKIA ini yang sudah bertemu teratur sebuilan sekali dilayani oleh pastor lokal dengan misa dalam bahasa Inggris.

"Ketika saya kembali ke Australia untuk menjalani perawatan kesehatan, saya diberitahu ada komunitas Indonesia dan setelah bertemu beberapa kali saya menawarkan diri untuk melayani mereka." kata Romo John yang sekarang sudah berusia 84 tahun.

Menurut Romo John, berkumpulnya umat Katolik asal Indonesia sekali sebulan merupakan hal yang ideal.
“Menurut saya dan juga beberapa orang lain, umat Katolik Indonesia tidak seharusnya membentuk sebuah paroki sendiri. Namun pertemuan bulanan bisa menjadi tempat untuk berkumpul bagi mereka, namun setelah itu di minggu-minggu lainnya, mereka ikut misa lokal.” kata Romo John.

Dari apa yang dilihat oleh Romo John dalam enam tahun terakhir sejak dia kembali ke Australia adalah semakin banyaknya sumbangan yang diberikan oleh umat Katolik Indonesia ke gereja lokal.

“Di Adelaide, dalam misa KKIA ada kelompok paduan suara yang terdiri dari anak-anak muda yang juga tampil di gereja lokal di minggu-minggu lainnya. Ini bagus sekali, karena sekarang ini semakin sedikit yang terlibat dalam kegiatan gereja misalnya di bidang musik.”

Menurutnya, kebiasaan tampil menyanyi di gereja sebagai bagian dari misa/kebaktian sudah dilakukan anggota paduan suara sejak mereka berada di Indonesia.

“Ketika ada misa guna memperingati masa 50 tahun saya sebagai pastur di gereja lokal saya meminta paduan suara dari umat Indonesia untuk bernyanyi, karena saya ingin menunjukkan apa yang bisa dan sudah mereka lakukan untuk menyemarakkan penyelenggaraan misa di Australia,” demikian Romo John O’Dohertry

Martin Situmorang OFM Cap, Sydney

Pastur Martin Situmorang OFM Cap
Pastur Martin Situmorang OFM Cap

Foto: Istimewa

Pastur Martin Situmorang berasal dari Sibolga di Sumatera Utara, dan setelah ditahbiskan menjadi pastur di tahun 2009 kemudian ditugaskan oleh ordonya untuk bekerja di Australia, Ordo Kapusin.

Tiba di Australia di tahun 2011, sekarang dia bekerja di Paroki Good Shepherds (Gembala Baik) di Plumpton, Sydney, melayani warga Katolik di daerah tersebut dan juga membantu pelayanan di wilayah Keuskupan Parramatta.

Setelah ditahbiskan menjadi iman, Pastur Martin pernah bertugas di beberapa wilayah di Sumatera Utara diantaranya di Pulau Nias, Sibolga dan di Medan.

Bagaimana Pastur Situmorang melihat perbedaan antara umat Katolik di Indonesia dan umat Katolik di Australia dari sisi jumlah yang hadir ke gereja setiap minggunya?

“Dari sisi jumlah, kita bisa melihat bahwa semakin banyak umat di Indonesia yang datang ke gereja setiap minggunya, sedangkan di Australia yang terjadi justru kebalikannya, jumlah umat yang datang tidak sebanyak dulu lagi.” katanya.

“Umat Katolik di Australia rata-rata sudah memiliki pendidikan, dan berbeda dengan umat di Indonesia, dan karenanya mereka sangat aktif mencari imannya. Mereka tidak sekedar iman buta, tetapi iman yang menuntut pengertian.”

"Jadi ini bukan lagi seperti di Indonesia, dimana semua apa yang dikatakan pastur adalah vitamin, sementara di sini mereka mengunyah-ngunyah dulu apa yang dikatakan oleh pastur." kata Pastur Martin lagi.

Oleh karena itu menurutnya ketika pastor berkotbah dalam misa, maka hal-hal yang disampaikan harus memiliki aspek rasionalitas yang lebih besar.

Di masa lalu, Asia merupakan ladang bagi misi misionaris Kristen dan Katolik yang berasal dari Eropa dan Amerika Serikat, namun dalam beberapa dekade terakhir, yang terjadi adalah keadaan sebaliknya dimana lebih banyak pastur yang berasal dari Asia yang bekerja dan ditempatkan di negara seperti Australia dan Eropa.

Bagaimana umat Kristen di Australia melihat dan menerima para pastor tersebut?

“Seperti dikatakan oleh Paus Fransiskus, masa depan gereja memang di Asia dimana pertumbuhan umatnya sangat pesat.”

“Dulu kita menerima misionaris dari Barat sekarang begitu banyak bahkan ribuan pastor dari Indonesia dan Asia dikirim ke luar negeri,” katanya.

Dalam kesannya, menurut Pastur Martin Situmorang, orang Asia dulunya lebih mudah menerima mereka “yang berkulit putih, dan bermata biru” dari pada kebalikannya.

“Di Australia umat di sini tidak memiliki pandangan yang sama seperti kita di Indonesia dulu melihat pastur dari Barat. Di sini umat tidak memiliki praduga sama sekali, namun mereka dengan pikiran terbuka ingin melihat bagaimana kualitas dari pastor yang datang, tidak melihat warna kilit mereka.”

Menurutnya, setelah umat mengenal pastor yang melayani mereka, maka kemudian umat akan menerima dan tidak memberikan perbedaan apakah pastur itu berkulit putih atau memiliki warna kulit lain.

“Mungkin di kalangan pastur Asia yang datang ke sini pada awalnya ada perasaan inferior rendah diri, namun kalau kita bisa membuktikan kita akan diterima.” kata Pastur Martin Situmorang.