ABC

OzAsia Festival 2015: Melihat Indonesia yang Bukan Cuma Bali

Bali menjadi tujuan liburan yang umum bagi warga Australia. Namun di OzAsia Festival 2015, festival kebudayaan Asia terbesar di Australia yang digelar 24 September – 4 Oktober, warga Australia melihat Indonesia yang bukan cuma Pulau Dewata.

Ada sekitar 90an seniman Indonesia terlibat dalam festival tersebut, menjadi penampil terbanyak sehingga Indonesia menjadi sorotan utama di Adelaide Festival Centre, tempat festival ini digelar. Indonesia bukan cuma Bali, demikian pesan yang ingin disampaikan dalam festival ini.

Jawa Barat menjadi penampil terbesar dengan 40-an seniman. Ada Samba Sunda , kelompok gamelan Sunda pimpinan seniman Ismet Ruchimat yang menampilkan musik gamelan Sunda, yang juga diiringi gamelan Bali plus pesinden yang melengking dipadu dengan beberapa gerakan dalam tarian Jaipong.

Ada pula Topeng Cirebon, tarian yang dibawakan seniman tari Topeng Cirebon Losari generasi kedelapan, Nani Losari dan Inusi, generasi ketiga Tari Topeng Cirebon Selangit. Penampilan mereka mendapatkan aplaus audience yang mayoritas warga Australia saat penenekanan Memorandum of Understanding (MoU) antara Provinsi Jawa Barat dan Negara Bagian Australia Selatan. Namun, tari Topeng Cirebon khusus akan tampil pada hari Sabtu (26/9/2015).

"Jawa Barat dengan SambaSunda dan Hong (komunitas yang melestarikan permainan tradisional Indonesia dari Bandung-red), dari Jawa Barat 41 orang. Saya kira ini salah satu muhibah terbesar untuk Jawa Barat disamping dari Ternate dan sebagainya," kata Wagub Jawa Barat, Deddy Mizwar di sela-sela OzAsia Festival kepada jurnalis Indonesia, termasuk Hany Koesumawardani, yang ke Australia atas undangan Australia Plus ABC International. 

Komunitas Hong dari Bandung bahkan menyajikan workshop permainan tradisional pada anak-anak SD di Adelaide dengan sangat atraktif, dengan sarung yang bisa dibuat sebagai alat permainan multiguna yang asyik.

Diiringi musik angklung dan kecapi dari Adelindo Angklung, workshop itu benar-benar membuat anak-anak SD Australia tertawa memainkan permainan tradisional yang kolektif.

Sedangkan dari bidang teater, ada Teater Garasi dari Yogyakarta. Teater Garasi menampilkan kisah berjudul Je.ja.lan atau The Streets yang menampilkan dinamika jalanan dan kampung di kota-kota di Indonesia, memotret orang-orang marjinal, seperti pengamen, orkes dangdut keliling, pedagang asongan yang kerap kucing-kucingan dengan aparat.

Disutradarai Yudi Ahmad Tajudin, Direktur Artistik Teater Garasi berhasil membuka mata akan kondisi sebenarnya jalanan di Indonesia yang berebut ruang antara modernitas dan tradisi, antara kaum marjinal dan kaum elit, perantau dari desa dan orang kota.

"Benar dugaan kami bahwa jalan adalah suatu space yang sangat representatif, mewujud suara yang saling bersaing visual dan audio. Gagasan, kepercayaan, ideologi berebut ruang. Beberapa aktor tinggal di jalan untuk riset dengan tubuhnya," tutur Yudi saat selesai gladi resik di venue OzAsia Festival pada Rabu (23/9) lalu.

Teater Garasi sendiri tampil pada Kamis-Sabtu (24-26/9/2015). Sebelumnya, mereka memperagakan kisah Je.ja.lan ini di depan anak-anak sekolah SMP-SMA di Adelaide pada Kamis siang lalu. 

"Hidup sangat berbeda di Indonesia. Seperti kami di sini yang memiliki tempat pengungsian. Saya merasa beruntung hidup di sini. Di Indonesia kehidupan sangat susah, orang-orang harus berjuang keras. Ini membuat saya tertarik ke Indonesia dan membantu orang-orang di sana," kesan Gwen Dahyun, siswi dari kelas 8.

Hal yang sama diutarakan Shane Reeves, seorang siswa SMP di Adelaide. Dia menilai orang-orang di Australia punya lebih banyak uang dibanding orang-orang biasa di Indonesia.

Shane Reeves (kiri) dan temannya.

"Perbedaan besarnya, orang-orang biasa di Australia punya uang lebih banyak dibanding dengan orang-orang biasa di Indonesia. Di Indonesia, orang-orang harus berjuang sangat keras untuk hidup. Saya merasa beruntung hidup di Australia. Saya ingin ke Indonesia suatu hari nanti," tutur Shane.

Di bidang sendratari dan wayang kulit, ada kisah klasik Ramayana yang dibawakan oleh kelompok gamelan Jawa, Sekar Laras, kelompok gamelan di Flinders University yang anggotanya separuh orang Australia pimpinan Guy Tunstill, warga Australia yang fasih bahasa Indonesia. Kisah Shinta yang diculik Rahwana di Alengka diangkat dalam judul "Sacred Sita".

Sendratari ini disutradarai Anon Suneko, pengajar gamelan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Menurut Anon, naskah dan notasi sudah dikirimkan 3-4 bulan lalu dari Indonesia, namun baru berlatih bersama 2 pekan terakhir.

"Kita ingin populerkan sendratari Ramayana, bisa diolah seperti yang kita mau. kami hanya punya waktu 2 minggu kurang berlatih bersama, sebelumnya belum pernah bertatap muka," tutur Anon di sela gladi resik pada Rabu lalu.

Tak sia-sia, sekitar 100 orang Adelaide terpesona akan penampilan kisah "Sacred Sita" yang ditampilkan dengan wayang dan ditarik ke dunia nyata dengan gerak tari gemulai oleh penari Asteria Retno Swastiastuti yang berperan sebagai Sita atau Shinta pada Kamis (24/9) lalu.

Penampilan paling menghipnotis adalah dari Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara yang menampilkan 6 anak muda dari pelosok desa Jailolo untuk menampilkan tarian kontemporer dengan gerakan dan musik rancak nan ritmis dengan judul "Cry Jailolo". Tarian yang dikoreograferi mantan dancer artis dunia Madonna, Eko Supriyanto, ini terinspirasi dari tari daerah Maluku, Soya-soya dan Legu-legu.

"Saya ingin kenalkan Jailolo, Halmahera Barat, Maluku, kawasan timur Indonesia yang selama ini kita tidak pernah tahu. Yang tahu selama ini hanya Jawa, Bali, Sumatera yang sangat kuat oleh dominasi itu aja. Membuka satu wacana kebudayaan baru di Indonesia Timur di Maluku Utara, di Jailolo, bahwa mereka punya kesenian yang luar biasa, ragam budaya musik, tari, kuliner yang patut juga kita kenalkan di dunia internasional," tutur Eko di sela gladi resik pada Rabu (23/9) lalu.

Standing ovation pun bergemuruh kala tarian berdurasi 1 jam yang dibawakan para pemuda pelosok Jailolo berakhir. Cry Jailolo tampil di OzAsia Festival pada Kamis-Sabtu (24-26/9/2015).

Membuka cakrawala orang Australia bahwa Indonesia bukan hanya Bali juga ditegaskan Deputi Menteri Pariwisata bidang Pemasaran Luar Negeri Kementerian Pariwisata, I Gede Pitana.

"Tahun lalu kita dapatkan wisatawan Australia 970 ribu atau nyaris 1 juta dan sekitar 70% ke Bali. Kita tahu semua bahwa Indonesia bukan hanya Bali. Kita punya potensi wisata yang luar biasa di Jawa Barat, Maluku Utara, Kalimantan dan seterusnya," tutur Pitana ditemui di sela OzAsia Festival pada Kamis (24/9) lalu.

Tantangan sekarang, imbuhnya, mendatangkan wisatawan Ausstralia bukan hanya ke Bali tapi juga daerah lain di Indonesia.

"2015 Kita harap datangkan 1,2 juta turis dari Australia, bagaimana membawa mereka keluar dari Bali," tandas dia.