ABC

Orang dengan Kondisi Albinisme Masih Didiskriminasi

Meskipun albinisme, kondisi genetis yang mengakibatkan kulit pucat dan rambut putih, dewasa ini sudah lebih dipahami secara ilmiah, namun masih banyak orang dengan albinisme yang didiskriminasi. Di dunia film, mereka seringkali digambarkan sebagai tokoh jahat. Amanda Smith dari ABC menghadiri konferensi Persaudaraan Albinisme Australia untuk mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan orang albino.

Ada dua hal yang paling sering menandai kondisi albinisme. Pertama, penampilan fisik seseorang dengan albinisme terlihat pucat. Kedua, orang dengan albinisme memiliki kemampuan penglihatan yang rendah dan sensitif terhadap cahaya.

Sewaktu muda, penduduk Brisbane dengan albinisme bernama Marion Morrison, 68 tahun, disekolahkan di sekolah tuna netra karena kemampuan penglihatannya yang rendah. Saudara laki-lakinya, Ken, menghadiri sekolah biasa, namun amat kesulitan mengikuti pelajaran.

Menurut Morrison, kemampuan penglihatannya kira-kira 5 persen.

Ted Thomas, yang berusia 71 tahun dan berasal dari New South Wales, membawa sejumlah kacamata ke konferensi. Ia sudah memakai kacamata khusus sejak berusia 14 minggu, dan begitu bangun pagi, ia harus langsung memakai kacamata hitam.

Seperti banyak orang dengan albinisme lainnya, Thomas sensitif terhadap cahaya matahari. Namun, saat ia masih muda, belum ada tabir surya dalam bentuk seperti yang banyak dipakai sekarang ini.

Pengetahuan masyarakat tentang albinisme pun dahulu belum seperti sekarang. Hingga ia mengaku sering ditanya mengapa rambutnya begitu putih dan sering diejek dengan julukan seperti tokoh kartun hantu 'Casper.'

Marion Morrison, yang juga hidup dengan albinisme, mewarnai rambutnya saat berusia 22 tahun, karena muak dijadikan bahan omongan orang lain. "Pertama kali, ibu mertua saya yang mewarnai. Ia menggunakan warna pirang madu, tapi jadinya malah warna aprikot [sejenis persik] terang. Akhirnya saya pergi ke salon," ceritanya.

Morrison gemar bermain lawn bowls, yaitu olahraga yang agak mirip bowling, tapi dilakukan di taman. Permainan luar ruangan ini cukup beresiko bagi seseorang dengan albinisme yang harus berhati-hati terhadap sinar matahari. Tahun 1990, di Selandia Baru, ia sempat mengalami terbakar matahari yang cukup parah karena bermain lawn bowls di tengah suhu tinggi.

Untuk mencegah hal macam itu terjadi lagi, ia harus memakai celana panjang, sarung tangan, dan topi, hingga yang terlihat hanya mulut dan pipinya.

Morrison memiliki empat anak laki-laki, tapi tidak ada di antara mereka yang mengalami albinisme. Salah satu cucunya hidup dengan albinisme ringan.

Ted Thomas mengaku, tak ada anak atau cucunya yang hidup dengan albinisme.

Thomas menyatakan bahwa yang dibutuhkan orang dengan albinisme adalah perlindungan dari matahari dan bacaan apapun dalam huruf berukuran besar. Ia mengaku amat terbantu dengan piranti elektronik seperti tablet, karena dengan itu ia bisa membaca surat kabar. 

Thomas dan Marion hidup dengan jenis albinisme yang bernama oculocutaneous albinisme. Albinisme diturunkan dengan cara resesif. Ini berarti, terjadi bila kedua orang tua adalah pembawa gen albinisme, dan untuk satu anak dari pasangan macam ini, kemungkinan albinisme sebesar satu banding empat.

Dr Murray Brilliant, direktur Sentra Genetika Manusia di Klinik Marshfield, Amerika Serikat, menyatakan bahwa di Australia perbandingan terjadi kondisi albinisme adalah sekitar 1:17.000. Ada populasi tertentu di dunia, seperti penduduk bumiputera Kuna di Panama di mana perbandingannya lebih tinggi.

Menurut Melanie Boulton, yang anaknya mengalami albinisme, sebutan 'albino' sebenarnya kurang sopan dan cenderung merendahkan, karena kata albino menunjuk pada kondisinya dan bukan orang yang mengalami kondisi tersebut.

"Tidak benar pula bahwa orang dengan albinisme memiliki mata merah seperti kelinci," ungkap MIke McGowan, direktur eksekutif Organisasi Albinisme dan Hypopigmentasi di Amerika Serikat.

Organisasi ini sering mengkritik gambaran di media tentang orang dengan albinisme. Contohnya, dalam film The Da Vinci Code yang dirilis tahun 2006, tokoh jahatnya digambarkan mengalami albinisme. 

Karissa Harp dan suaminya tidak hidup dengan albinisme, tapi memiliki dua anak dengan albinisme. Saat ini, mereka tengah berusaha agar anak-anak mereka tidak mengalami rendah diri karena kondisi tersebut, sekaligus menjaga kondisi fisik mereka, seperti memastikan agar mereka lebih sering memakai tabir surya.

Menurut Murray Brilliant, yang meneliti tentang genetika di Tanzania, Afrika, ada banyak mitos tentang albinisme di negara tersebut.

"Situasi di Tanzania cukup buruk bagi mereka yang mengalami albinisme. Ada kepercayaan tentang sihir tertentu dan bahwa bagian tubuh bisa jadi obat atau bahan ramuan, terutama bagian tubuh orang dengan albinisme," ceritanya.

Hingga, banyak orang dengan albinisme yang dibunuh untuk bagian tubuh mereka, bahkan, terkadang disembelih di hadapan orang tua mereka, cerita Brilliant.  Ini juga terjadi di banyak negara sub-sahara lain di Afrika.

Di negara-negara berkembang di mana penduduknya kebanyakan berkulit gelap, mereka dengan albinisme seringkali kesulitan mendapat tabir surya yang layak. Untuk menyikapi ini, dua perempuan asal Australia: Anette Ferguson, yang hidup dengan albinisme, dan Helene Johanson, seorang peneliti bidang genetika, mendirikan Proyek Albinisme Pasifik.

Johanson mengaku pertama merasa kasihan melihat ada perempuan dengan albinisme di Tuvalu yang harus berjalan dengan mata tertutup dan tangan meraba-raba agar tidak menabrak sesuatu.

Menurut Johanson, jumlah orang dengan albinisme di Tuvalu ternyata cukup banyak yaitu satu banding 669. Dan, menurut penelitiannya, ternyata ada jenis albinisme khusus yang berkembang di Polinesia.