Pertunjukan The Lepidopters: A Space Opera dipentaskan bulan ini di Melbourne, Australia, setelah sebelumnya ditampilkan di Yogyakarta dan Tasmania. Karya ini merupakan buah kerjasama antara seniman Indonesia dan Australia, yang meninggalkan kesan tersendiri bagi mereka yang terlibat.
The Lepidopters mengandung berbagai elemen kesenian, mulai dari musik rock, tembang jawa, alunan gamelan, seni visual, komik, musik klasik dan eksperimental.
Dari Indonesia, tampil kelompok musik rock asal Yogyakarta, Punkasila, beserta penyanyi Rachel Saraswati. Instrumen-instrumen yang digunakan Punkasila dibuat khusus oleh pengrajin Indonesia.
Sedangkan dari Australia, tampil antara lain koor Astra Choir, pianis Michael Kieran Harvey, kelompok Slave Pianos, dan narator Richard Piper.
Foto bersama setelah pertunjukan The Lepidopters: A Space Opera
Nama Harvey sudah tak asing lagi di kalangan penggemar musik, baik di Australia maupun dunia.
Berbagai penghargaan telah diperolehnya, termasuk Grand Prix dalam Kompetisi Ivo Pogorelich Piano Competition di Amerika Serikat dan medali APRA (Australian Performing Right Association) tahun 2009.
Ia mengaku menerima tawaran kerjasama dalam proyek The Lepidopters ini karena menyukai tantangan.
“Sebelumnya, saya sudah pernah bekerjasama dengan Slave Pianos dalam proyek-proyek yang subversif secara budaya…Kesempatan bekerjasama dengan kelompok punk yang berbakat dan berani seperti Punkasila sulit saya tolak, karena saya bosan dan muak dengan ‘industri’ musik global…” kata Harvey,
“Musik klasik adalah bagian dari hegemoni budaya global, saya tak ingin menjadi bagian [dari hegemoni tersebut]. Saya malu dianggap musisi elit kaya, jadi the Lepidopters merupakan hal anti-opera, anti-kemapanan yang tepat bagi saya, dan saya merasa terhormat karena diajak terlibat”
Harvey mengaku senang bekerjasama dengan musisi Indonesia, yang menurutnya ramah, sabar, dan selalu mendukung kerjasama.
Pianis yang lahir di Sydney ini termasuk salah satu yang ikut ke Yogyakarta untuk menampilkan The Lepidopters bersama kelompok gamelan perempuan. Pengalaman itu pun sangat membekas di hatinya.
Harvey bercerita bahwa cuaca di Yogyakarta terlalu panas baginya. Ia sulit menerima perbedaan mencolok antara yang kaya dan miskin di Indonesia. Begitu pula polusi dan kehancuran lingkungan.
“Saya membaca cerita yang menyentuh dalam surat kabar setempat tentang anak perempuan usia 8 tahun yang harus merawat ayahnya yang sekarat karena tak ada sistem kesehatan,” katanya.
Namun, di sisi lain, Harvey kagum melihat semangat dan keceriaan orang-orang Indonesia, dan keragaman budaya serta benturan sejarah kuno dan dunia modern.
“Saya kagum akan kekuatan warisan budaya Indonesia dan ingin memahami lebih dalam tentang hal itu, bukan hanya dari sudut pandang musik,” katanya dalam sebuah e-mail.
Punkasila tampil bersama Aviva Endean
Selain Harvey, pemain clarinet Aviva Endean juga turut serta ke Yogyakarta.
Ia mengaku sempat kesulitan menyesuaikan diri dengan Punkasila, terutama karena instrumen yang Ia pegang bersifat akustik, sedangkan musik Punkasila dimainkan dengan instrumen elektrik. Begitu pula saat bermain dengan gamelan di Yogyakarta.
“Saya bermain dengan berbagai elemen berbeda, sebagai garis konstan dalam pertunjukan,” katanya.
Ia mendapati bahwa musisi Indonesia bersedia bekerja keras, bahkan bergadang, demi pertunjukan yang bagus. Namun, di sisi lain, suasana latihannya santai dan fleksibel.
“Saya akan mencari tahu cara-cara saya bisa kembali ke Indonesia. Sepertinya ada banyak kesempatan residensi Australia-Indonesia,” katanya.
Penyanyi bariton Evan Lawson dari koor Astra Choir
Penyanyi Evan Lawson, yang memegang posisi suara bariton di koor Astra, juga merasa sedikit cemas saat mulai melakukan latihan pertunjukan the Lepidopters.
Ia tak termasuk yang ikut ke Yogyakarta, hingga saat pertama latihan Ia masih sulit membayangkan perpaduan antara gaya bermusik yang berbeda-beda dalam pertunjukan tersebut.
Lawson sudah bergabung dengan Astra selama dua tahun. Meskipun Astra sering terlibat dalam proyek di luar koor klasik, namun ini pertama kalinya Ia mengalami kerjasama dalam bentuk seunik the Lepidopters.
Sebagai anggota kur, Ia tak terlalu terlibat secara mendalam dengan Punkasila, namun Ia mengaku kagum dengan band tersebut.
“Kontras sekali dengan kami, hingga keren. Energinya hebat,” kata Lawson.
Sebenarnya, dalam Punkasila sendiri pun sudah ada kerjasama antar negara. Danius Kesminas, seorang seniman Australia, sudah terlibat sejak awal pembentukan band ini, saat Ia menjalani residensi di Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta.
Menurut situs band tersebut, pada tahun 2007, Punkasila meluncurkan album pertama, sekaligus mengadakan pameran dan konser. Pada tahun yang sama, diadakan pula pameran di Darren Knight Gallery di Sydney.
Dalam the Lepidopters, semua punya tugas masing-masing,” jelas Kesminas.
“Memang, karena saya kenal mereka secara pribadi dan sudah bekerja sama sejak lama dengan mereka, saya jadi semacam perantara, tapi saya tak nyaman kalau dikatakan bahwa ini semua dari saya, karena pada kenyataannya tidak,” katanya,
“Ini lebih tentang pertemuan, hubungan, dan menghubungkan dua ujung kutub hingga timbul semacam arus listrik.”
Danius Kesminas
Tak hanya seniman Australia, seniman dari pihak Indonesia pun sempat cemas menghadapi penggabungan gaya seni yang berbeda-beda, dan juga kendala bahasa, namun pada akhirnya mereka puas dengan hasilnya.
Itulah yang diungkap oleh penyanyi Rachel Saraswati, yang mengaku merasa puas dengan hasilnya.”Ternyata chemistry. Tidak lagi pada talent secara individual tapi chemistry-nya,” ucapnya.
Begitu pula Erwan Hersi Susanto, atau ‘Iwank’ dari Punkasila. Ia mengaku sempat timbul beberapa kesulitan dalam berbahasa, namun yang lebih penting ternyata adalah rasa.
Para penonton di Melbourne pun tampak memberi tepuk tangan setiap kali sebuah babak rampung. Namun, mungkin karena band ini sempat menghasilkan karya-karya berbau politis, ada beberapa penonton yang mengaku masih bingung mengikuti jalan cerita the Lepidopters secara keseluruhan, karena menyangka ada pesan politik tersembunyi di balik kisah fiksi ilmiah yang ditampilkan.
Woto dari Punkasila mengaku bahwa kali ini band tersebut tidak menyuarakan pesan macam itu. “Ini lebih eksperimental,” ujarnya.