ABC

Obsesi Masa Kecil Antar Liz Palmer Jadi Desainer Kostum Hollywood

Elizabeth Keogh Palmer atau Liz Palmer mengaku memulai karirnya sejak usia remaja. Dunia desain kostum membawa nama perempuan Australia ini hingga ke Hollywood. Lewat ‘Dark City’ dan ‘Gods of Egypt’, Liz berhasil dinominasikan dalam sejumlah ajang penghargaan film.

Tak banyak anak muda yang mampu menyadari mimpinya sejak usia dini, terlebih mewujudkannya. Tapi tak demikian halnya dengan Liz Palmer kala itu. Mengaku jatuh cinta pada dunia rancang busana semenjak kecil, Liz mulai mengejar karirnya dari usia remaja.

“Saya sudah menyukainya sejak kecil. Ketika saya masih SMP, saya ikut studi ekskursi dan dari situ saya menemukan minat saya. Waktu itu saya baru 15 tahun,” kenang desainer kostum film iRobot (2004) yang dibintangi Will Smith ini.

Saat masa SMP pulalah, Liz mendapat kesempatan untuk menilik areal belakang panggung sebuah pagelaran teater. Di situ ia melihat kostum-kostum yang dikenakan para pemain dan lantas jatuh cinta.

“Lalu itu membuat saya berpikir untuk mengambil kuliah jurusan desain untuk mewujudkannya. Dan waktu saya kuliah, saya sudah mengontak sejumlah desainer. Sampai ada satu desainer kostum yang mempekerjakan saya untuk produksi film, dan semua kostum yang saya kerjakan bersamanya dan saya buat sendiri, saya pakai itu untuk ujian kelulusan,” ceritanya kepada Nurina Savitri dari Australia Plus di Jakarta.

Liz Palmer Bersama Mahasiswa Indonesia
Liz Palmer (duduk di kursi berbaju hitam) memberikan kuliah umum di Institut Kesenian Jakarta pada akhir Februari 2017.

ABC; Nurina Savitri

Menjadi seorang desainer kostum untuk produksi film, mau tak mau membuat Liz menjadi sosok yang tangguh. Besarnya tuntutan hingga persoalan dana tak jarang mengganjal perjalanan produksi yang dilakoninya.

Tapi ternyata, bukan dua hal itu yang menjadi tantangan terberat bagi perancang asal Australia ini.

“Saya rasa tantangan terberatnya adalah bekerja sama dengan para artis. Anda berusaha memastikan rancangan anda tepat, anda punya konsep yang membuat sebuah kostum ‘pas’ untuk aktor tertentu, tapi mereka punya pendapat berbeda dan justru menawarkan hal lain,” tutur perempuan yang mengaku mewarisi bakat di bidang tata busana dari sang nenek ini.

“Kemudian anda harus mendesain ulang. Dan saya tak suka jika diminta mendesain ulang, jadi itulah tantangan terberatnya,” sambung Liz.

Ia lantas menceritakan tantangan berulang yang kerap dialaminya dalam produksi Australia.

“Beberapa produksi tak memiliki anggaran cukup untuk membuat kostum dan bahkan waktu untuk memproduksinya. Di Australia, kami nampaknya tak punya waktu yang cukup untuk memproduksi kostum, seringkali terlihat mepet dan ini menurut saya tak efektif dalam soal biaya,” tutur desainer yang mengaku jago menjahit sejak kecil ini.

“Mengapa? Karena kami harus mempekerjakan lebih banyak orang dan membayar lembur untuk menyelesaikan kostum tepat waktu,” imbuh desainer yang berhasil masuk nominasi Penghargaan Akademi Sinema dan Televisi Australia (AACTA) kategori Desain Kostum Terbaik di tahun 2016.

Kostum Film
Kostum film Gods of Egypt yang dirancang oleh Liz Palmer.

Supplied

Di depan puluhan mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Liz tak segan berbagi ilmu dalam mencari inspirasi bagi karyanya.

“Setelah membaca naskah, saya biasanya berselancar di Google dan melihat-lihat desain yang saya suka. Saya juga bisa mendapatkannya dari foto-foto di internet, Pinterest. Tapi yang terpenting, inspirasi saya adalah untuk menangkap fantasinya. Sesuatu yang memicu imajinasi anda,” ujarnya dalam sesi kuliah umum di akhir bulan Februari tersebut.

Liz juga tak ragu membeberkan pengalamannya dalam produksi Hollywood terakhir yang ia kerjakan kostumnya, film Gods of Egypt.

“Anda tahu, untuk produksi kostumnya saja biayanya mencapai 140 juta dolar Amerika (atau setara Rp 1,4 triliun). Bayangkan saja, sebagian besar perhiasan yang dipakai dalam film ini dicetak tiga dimensi. Selain itu, untuk membuat kostum yang paling sulit di film ini, yang adalah kostum karakter Thoth, si dewa kebijaksanaan, hanya diberi waktu 5 hari,” tuturnya membuka rahasia.

Skip YouTube Video

FireFox NVDA users – To access the following content, press ‘M’ to enter the iFrame.

YOUTUBE: Trailer Film Gods of Egypt

Ia menerangkan lebih lanjut, pemilihan garmen adalah bagian terpenting dari produski kostum. Dan Indonesia dinilai Liz memiliki sumber daya tekstil yang melimpah ruah.

“Banyak label di Australia tak punya pabrik garmen sendiri. Kalau pun ada sangat sedikit dan pasti labelnya sangat mahal. Sebagian besar dibuat di luar negeri, Indonesia adalah salah satunya,” kata Liz kepada Nurina Savitri dari Australia Plus.

“Jujur saja, saya belum pernah menggunakan tekstil Indonesia, tapi saya baru menyadari industri tekstil di sini luar biasa. Begitu pula industri kerajinannya. Dan kemungkinan setelah saya kembali ke Australia, saya akan meriset konteks dari masing-masing bahan itu sehingga bisa saya gunakan untuk payet, motif lukis tangan, dan tenun,” ungkapnya.

Bangga akan sosok dirinya sebagai kaum Hawa, Liz-pun mengidolakan 3 desainer kostum perempuan.

“Dua dari desainer kostum favorit saya adalah desainer Jepang, Eiko Ishioka. Ia mendesain kostum untuk film Bram Stoker’s Dracula. Ia benar-benar desainer yang hebat. Selain itu, saya juga suka Colleen Atwood, ia banyak dinominasikan di Academy Award dan menang beberapa kali. Saya suka caranya menggunakan tekstil berbeda dan bahan tak lazim dari alam yang ia terapkan ke kostum untuk menciptakan tekstur,” ujar Liz yang sempat dinominasikan dalam penghargaan ‘Saturn Award’ di tahun 1999 untuk film Dark City.

“Lalu saya juga sangat suka karya Sandy Powell, mereka semua adalah desainer terbaik menurut saya jika menyangkut fantasi,” tuturnya.

Skip YouTube Video

FireFox NVDA users – To access the following content, press ‘M’ to enter the iFrame.

YOUTUBE: Trailer Film Dark City