ABC

Nostalgia Layar Tancap di Jakarta

Selama sepekan pertunjukan film layar tancap yang disebut sebagai ‘misbar’ akronim dari gerimis bubar, sebuah hiburan bioskop rakyat di ruang terbuka di gelar di Monas, Jakarta. Pertunjukkan hiburan gratis dengan memutar film film Indonesia itu juga untuk mengenang tradisi layar tancap yang sudah lenyap. 

Perhatian hampir dua ratus orang tersedot melihat layar lebar berukuran 8 kali 3,5 meter yang sedang memutarkan film berjudul “Badut Badut Kota” pada Minggu (15/12/2013) malam.

Sebagian dari mereka tampak memegang jas hujan berwarna warni yang sengaja dibagikan petugas jaga di konter tiket gratisan.

Mereka bukan menonton di bioskop komersil betempat duduk empuk dengan AC, tetapi sedang menonton di ruang terbuka yang disulap mirip seperti bioskop dengan pembatas berupa kain transparan di pelataran parkir Monas, Jakarta.

Bioskop jadi jadian “Misbar,” alias gerimis bubar yang baru saja berakhir Senin (16/12/2013) malam itu mengingatkan sebagian masyarakat Indonesia dengan pertunjukan film gratis layar tancap yang kini hilang.

Disebut dengan layar tancap karena diujung kedua layarnya dikaitkan ke bambu, kayu atau besi yang ditancapkan ke tanah serta sempat tenar pada 1980 sampai awal 1990an dan kini berganti dengan bioskop komersil serta teknologi lainnya.

Menurut pelaksana proyek “Misbar” dari komunitas Kineforum, Vauriz Bestika, mengungkapkan mereka sengaja ingin mengingatkan dan bernostalgia dengan pertunjukkan ala layar tancap.

Lebih penting dari itu Kineforum yang bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Jakarta dan Jakarta Bienale 2013 memang ingin menyajikan hiburan gratis buat rakyat.

Hiburan eksklusif seperti bioskop kan belum tentu terjangkau untuk semua kalangan, semuanya digratiskan.  Penutupan pintu itu hanya karena kapasitasnya,” ujar Vauriz.

Layar Tancap Ratusan Juta

Perbedaan “Misbar” dengan layar tancap sesungguhnya adalah soal alat pemutar film digital dan sound system yang lebih canggih serta ruang partisi yang justru memakan banyak biaya.

Paling tidak kerjasama menghadirkan layar tancap modern ala “Misbar” ini yang memutarkan film film Indonesia selama tujuh hari bisa menyedot dana hingga 450 juta Rupiah.

Tapi semuanya terbayar justru pada saat publik mau berpartisipsi mampir ke “Misbar”.

Kata Varuriz, adanya tirai pembatas juga sempat membuat pengunjung takut dan dikira harus membayar tiket film.

“Mereka tanya ‘mba ini bayarya?’ kami bilang ini gratis. Soalnya bangunannya maksudnya eksklusif, jadi mereka aga takut dan akhirnya dipasang spanduk gratis,” jelasnya.

Vauriz melanjutkan, sampai hari ke 5 tercatat sudah sekitar 1500 orang mampir menonton di Misbar.

Ajang Film Beken

Film yang diputar juga beragam, dari yang old fashion sampai yang paling kontemporer.

Film lawas Indonesia yang pertama diproduksi pada 1950 disutradarai dan skenarionya ditulis orang Indonesia berjudul “Darah dan Doa”  serta film teranyar yang diproduksi pada 2012 berujudul “Sinema Purnama” ikut mewarnai Misbar.

Buat pengunjung, Cika Betari, salah seorang karyawan swasta mengatakan Misbar bukan Cuma berhasil mengenalkan dirinya dengan film lawas, tapi juga memberi suasana menonton layar tancap yang belum pernah dirasakan.

“Kalau soal nostalgia kan mungkin buat orang orang yang udah gede tahun 90an akan nostalgia ditempat ini. Buat saya ini ajang komunikasi untuk tahu bersama teman teman,” tukasnya.

Sedangkan buat Nalendra Yusa, seorang mahasiswa Jakarta, nonton di Misbar memang membangkitkan kenangan kecilnya. Tapi dia lebih berharap agar pemerintah kota menyediakan ruang terbuka untuk hiburan rakyat.

Soalnya lapangan sudah mulai habis, jadi susah buat gelar layar tancap. Ini buat kritik juga buat pemerintah. Paling tidak kita bisa buat sesuatu dengan nonton layar tancap di tengah kota,” harap Yusa.