ABC

Negara Pembeli Senjata Canggih Australia Akhirnya Terungkap

Sistem persenjataan canggih buatan Australia telah dikirim ke Uni Emirat Arab (UEA) selama berbulan-bulan. Namun baik penjualnya maupun Pemerintah Australia tidak pernah bersedia menyebutkan siapa yang membelinya.

Bukti-bukti foto terbaru yang diperoleh ABC kini mengungkap rahasia tersebut.

Foto yang dikirim oleh sumber anonim ini menunjukkan bagaimana sistem persenjataan ini akan dikirim dari Bandara Sydney.

Selain itu, terungkap pula bahwa penjual sistem senjata jarak jauh generasi terbaru ini adalah perusahaan Australia Electro Optic Systems (EOS).

Dan pembelinya adalah Angkatan Bersenjata UEA, yang sampai kini dituduh melakukan kejahatan perang di Yaman.

Kaitannya dengan Perang di Yaman

EOS Remote Weapons System (RWS) adalah dudukan meriam kecil, senapan mesin berat, atau peluncur rudal yang bisa berputar dan dilengkapi sensor.

Sistem ini dipasang pada kendaraan tempur atau kapal perang dan bisa ditembakkan dari jarak jauh.

A large heavily armoured vehicle with a gun mounted on top.
Kendaraan tempur yang dipasangi sistem persenjataan EOS R400 Dual bisa menembakkan meriam dan senjata mesin dengan dikendalikan dari jarak jauh.

EOS

Pada Desember 2018, ABC melaporkan bahwa EOS menjual sistem senjata ini ke UEA, tapi perusahaan itu tidak berseida menjelaskan apakah pembelinya kalangan sipil atau militer.

Pemerintah Australia sendiri dikecam karena memberikan lisensi ekspor kepada EOS, di tengah tudingan atas perilaku buruk militer UEA di Yaman.

“Penjualan sistem senjata jarak jauh ke UEA ini sangat meresahkan karena kita tahu UEA merupakan anggota koalisi dalam perang di Yaman,” ujar Direktur Human Rights Watch Australia Elaine Pearson.

“Koalisi ini terlibat pengeboman sasaran sipil tanpa pandang bulu, serta rumah sakit dan sekolah,” katanya.

EOS yang dihubungi menolak menjawab pertanyaan, namun pada April lalu, pimpinannya Fred Bart meyakinkan pasar saham untuk tidak perlu khawatir.

“Tidak ada produk EOS yang pernah atau sedang digunakan di Yaman,” katanya.

Dia menjelaskan ekspor senjata EOS tunduk pada persetujuan pihak berwenang di Australia dan AS.

“Pembatasan ganda ini menjadikan produk-produk itu salah satu yang paling dikontrol di dunia, karena AS dan Australia sangat memperhatikan hukum konflik bersenjata dan menerapkan standar tinggi untuk HAM,” ujar Fred Bart.

Namun perusahaan ini tidak menjawab secara pasti ketika ditanya apakah produk senjata mereka akan dikirim ke Yaman di masa depan.

“Kami tidak memiliki pengguna akhir persenjataan EOS yang kemungkinan menyebarkannya ke Yaman,” kata CEO EOS Dr Ben Greene kepada ABC pada Februari lalu.

A man carries a young girl through rubble after an air strike in Yemen.
Seorang anak diselamatkan orangtuanya setelah serangan udara Arab Saudi di Sanaa, Yaman, membunuh delapan anggota keluarga mereka pada tahun 2017.

Reuters: Khaled Abdullah

Investor jual sahamnya

Dua bulan setelah ABC melaporkan kesepakatan transaksi EOS dan UEA senilai 400 juta dolar, ABC mengungkapkan EOS juga terlibat kesepakatan ekspor dengan Orbital ATK dari AS, yang akan mengirimkan 500 unit RWS ke Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi.

Kecaman atas kesepakatan EOS dengan UEA dan Arab Saudi menyebabkan aksi demo di luar kantor perusahaan ini.

Bahkan, kalangan investor perusahaan itu pun mulai terpengaruh. Salah satu pemegang saham terbesar, manajer dana pensiun IFM Investors, menjual sahamnya di EOS dalam beberapa bulan terakhir.

Penjualan saham ini menyusul adanya kekhawatiran bahwa dana pensiun orang Australia telah digunakan membeli saham perusahaan senjata yang terkait dengan negara yang dituduh melakukan kejahatan perang di Yaman.

Bukti foto

Semua perusahaan Australia yang mengekspor senjata diwajibkan untuk menyatakan “pengguna akhir” dari produk mereka. Tujuannya, untuk memastikan senjata buatan Australia tidak digunakan melakukan kejahatan perang.

Pemerintah Australia maupun perusahaan ini tidak bersedia mengungkapkan siapa pengguna akhir, dengan dalih akan berdampak negatif pada kemampuan perusahaan menjual produk mereka.

Perusahaan ini juga tak bersedia menjelaskan apakah ada jaminan yang mereka terima dari pengguna akhir mengenai bagaimana dan dimana senjata akan digunakan.

Namun foto-foto terbaru unit RWS di sebuah gudang di Sydney mengungkapkan militer UEA dan Arab Saudi sebagai tujuan pengiriman.

Foto-foto ini menunjukkan empat pengiriman ekspor pada bulan Juni dan Juli – masing-masing dua ke UEA dan Arab Saudi.

Salah satu foto menunjukkan palet yang berisi unit RWS menunggu untuk diekspor awal bulan ini.

Label pada palet itu menyebutkan “penerima” adalah “Komando Logistik Bersama, Angkatan Bersenjata UEA” di Abu Dhabi.

A photo of a R400S remote weapon station Gimbal package.
Penerima akhir paket sistem persenjataan EOS adalah Angkatan Bersenjata Uni Emirat Arab.

Supplied

Foto lain dari layar komputer menyebutkan “penerima” adalah Angkatan Bersenjata UEA “GHQ” atau Markas Besar Umum.

Photos stitched together.
Foto tagihan pengiriman menunjukkan Sistem Persenjataan EOS (tadinya disebut Fire Control Systems) dikirim RWS langsung ke pihak Angkatan Bersenjata Uni Emirat Arab.

Supplied

EOS mengekspor langsung ke Arab Saudi

Beberapa foto yang diperoleh ABC juga mengungkapkan pengiriman paket RWS untuk Departemen Senjata dan Bahan Peledak Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi.

Picture of a package label departing Sydney Airport.
Paket senjata yang dikirim ke Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi.

Supplied

Fakta ini menarik karena pada Februari lalu, CEO EOS Dr Ben Greene menjelaskan kepada ABC bahwa perusahaannya tidak memiliki kontrak langsung dengan Arab Saudi.

Dr Greene menyatakan EOS mengekspor unit RWS itu ke Orbital ATK, sebuah perusahaan di AS, yang selanjutnya mengekspor RWS ini ke Arab Saudi.

Namun foto ini menunjukkan EOS mengirim barang-barang RWS langsung ke Riyadh, tanpa perantara.

Airway bill
Foto tagihan pengiriman menunjukkan Sistem EOS dikirim ke Departemen Urusan Persenjataan Arab Saudi.

Supplied

Stop pasokan senjata

Perang Yaman dimulai tahun 2015 ketika koalisi pimpinan Arab Saudi yang mendukung Pemerintah Yaman menyerang sasaran pemberontak Houthi. Militer Arab Saudi dan UEA jadi pemain utama koalisi itu.

Awal bulan ini UEA menyatakan mulai menarik pasukannya dari sana.

Perang di negara termiskin di Arab itu digambarkan oleh Sekjen PBB Antonio Guterres sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Pasalnya, 80 persen populasi atau sekitar 24 juta orang kini membutuhkan bantuan.

Laporan terbaru menyebutkan sebanyak 100.000 orang tewas, 12.000 di antaranya adalah warga sipil.

Pada 2017, PBB membentuk kelompok pakar untuk menyelidiki pelanggaran HAM di Yaman. Laporan mereka dirilis tahun lalu.

Ms Parke sits at a desk, holding a sheaf of documents.
Melissa Parke merupakan salah satu pakar PBB yang menyusun laporan perilaku Uni Emirat Arab dan Arab Saudi dalam perang di Yaman.

ABC News

“Kelompok Pakar dalam laporannya menemukan bahwa semua pihak dalam konflik di Yaman, termasuk koalisi pimpinan Arab Saudi, dan UEA khususnya, bertanggung jawab atas pelanggaran serius hukum humaniter internasional dan hukum HAM internasional,” ujar Melissa Parke, salah satu penulis laporan itu.

Laporan lain dari Kelompok Pakar akan dirilis pada bulan September dan kemungkinan akan mengecam UEA, Arab Saudi, dan negara-negara yang menjual senjata kepada mereka.

“Proliferasi senjata di Yaman telah melanggengkan konflik,” kata Melissa Parke yang juga mantan anggota DPR Australia.

“Masyarakat internasional bertanggung jawab secara kolektif untuk menghentikan pasokan senjata kepada para pihak yang terlibat konflik,” katanya.

Larangan menjual ke Arab Saudi dan UEA

Pengadilan di Inggris bulan lalu memutuskan penjualan senjata negara itu ke Arab Saudi tidak sah.

Pada bulan Mei, kelompok-kelompok HAM mencoba memblokir pengakutan senjata Prancis ke kapal Arab Saudi.

Jerman, Denmark, Finlandia dan Norwegia telah menangguhkan penjualan senjatanya ke Arab Saudi.

Bulan lalu Senat AS juga memblokir penjualan miliaran dolar amunisi ke UEA dan Arab Saudi.

Sejumlah LSM Australia termasuk HRW, Save The Children, Amnesty International dan Oxfam telah membentuk Koalisi Pengendalian Senjata Australia, melobi pemerintah untuk menangguhkan penjualan senjata ke Arab Saudi sampai negara itu membuktikan senjata ini tidak akan digunakan melakukan kejahatan perang.

Strategi Ekspor Pertahanan Australia akan akan menghabiskan 200 miliar dolar hingga tahun 2028 untuk menjadikan Australia pengekspor senjata terbesar ke-10 di dunia. Saat ini posisinya terbesar ke-20.

“Jangan lupa bahwa jutaan warga sipil, wanita, dan anak-anak Yaman yang tak bersalah, menanggung beban perang ini. Penderitaan mereka sangat besar,” kata Melissa Parke.

“Australia sebagai anggota Dewan HAM PBB dapat memainkan peran penting dalam melindungi warga sipil Yaman. Memberikan senjata kepada pihak yang terlibat konflik tidak konsisten dengan peran itu,” katanya.

Simak berita selengkapnya dalam Bahasa Inggris di sini.