ABC

Negara G20 Habiskan Ratusan Miliar Dolar untuk Subsidi Perusahaan Tambang

Sebuah laporan terbaru menemukan bahwa beberapa negara dengan perekonomian terbesar di dunia membayar sebesar 633 miliar dolar (atau setara Rp 6,3 kuadriliun) atas subsidi produksi ke sejumlah perusahaan minyak, gas dan batubara, setiap tahunnya.

Laporan yang dikeluarkan lembaga ‘think tank’ atau lembaga riset lingkungan asal AS- ‘Oil Change International’ -dan lembaga ‘think tank’ kemanusiaan asal Inggris- ‘Overseas Development Institute’ –menemukan bahwa Australia rata-rata membayar 7 miliar dolar (atau setara Rp 70 triliun) setiap tahunnya ke para produsen bahan bakar fosil untuk subsidi produksi.

Laporan itu mengatakan, jumlah yang dibelanjakan oleh pemerintah negara G20 untuk subsidi bahan bakar fosil tiga kali lebih banyak dari jumlah yang dibelanjakan negara dunia untuk subsidi industri energi terbarukan.

"Bukti mengarah ke dana talangan yang dibiayai publik untuk beberapa perusahaan polutan penghasil karbon terbesar di dunia," sebut laporan itu.

Jumlah yang dikeluarkan pemerintah G20 untuk subsidi bahan bakar fosil ternyata 3x leboh besar ketimbang pengeluaran dunia akan subsidi energy terbarukan. (Foto: Reuters, Jason Lee)
Jumlah yang dikeluarkan pemerintah G20 untuk subsidi bahan bakar fosil ternyata 3x leboh besar ketimbang pengeluaran dunia akan subsidi energy terbarukan. (Foto: Reuters, Jason Lee)

Di antara negara-negara G20, Rusia menduduki posisi puncak daftar tersebut dengan 32 miliar dolar (atau setara Rp 432 triliun) subsidi produksi setiap tahunnya, AS membayar lebih dari 28 miliar dolar (atau setara Rp 378 triliun) per tahun, Inggris membayar 12 miliar dolar (atau setara Rp 162 miliar), subsidi tahunan Brazil rata-rata mencapai 7 miliar dolar (atau setara Rp 70 triliun) dan China mengeluarkan lebih dari 4,2 milyar dolar (atau setara Rp 4, 2 triliun) kepada sejumlah perusahaan minyak, gas dan batu bara.

Jepang memiliki tingkat subsidi publik terbesar untuk perusahaan bahan bakar fosil dengan bantuan 26 miliar dolar (atau setara Rp 260 triliun) setiap tahunnya.

China ada di tempat kedua dengan 23 milyar dolar (atau setara Rp 230 triliun). Sementara BUMN China menginvestasikan rata-rata 107 miliar dolar (atau setara Rp 2 kuadriliun) per tahun untuk produksi bahan bakar fosil.

Produsen bahan bakar dibayar untuk meremehkan komitmen terhadap iklim

Steve Kretzmann, direktur eksekutif ‘Oil Change International’, mengatakan, pembayaran itu memunculkan pertanyaan terhadap komitmen pemerintah untuk mengatasi pemanasan global pada Konferensi Perubahan Iklim di Paris akhir bulan ini.

"Terlepas dari kenyataan bahwa enam tahun yang lalu, negara-negara G20 berjanji untuk mengakhiri subsidi bahan bakar fosil, mereka dalam G20 masih menyediakan lebih dari 450 miliar dolar (atau setara Rp 4,5 kuadriliun) untuk produksi bahan bakar fosil, untuk produksi batu bara, minyak dan gas, setiap tahunnya," terang Steve.

Laporan itu mengatakan, 7 miliar dolar atau Rp 70 triliun yang dikeluarkan oleh Australia sebagian besar untuk potongan pajak atas biaya bahan bakar dan investasi modal.

Tapi wakil kepala Dewan Mineral Australia, John Kunkel, mengatakan, kredit pajak bahan bakar yang diberikan kepada industri itu bukanlah subsidi.

"Mereka mungkin berbicara tentang skema kredit pajak bahan bakar, tetapi seperti yang seringkali disampaikan Menteri Keuangan dan komisi produktifitas, hal itu bukanlah subsidi," Sebut John.

Ia berpendapat bahwa subsidi bahan bakar fosil yang diidentifikasi dalam laporan itu sesuai denga deskripsi subsidi yang dikeluarkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

"Ini adalah subsidi di bawah definisi WTO yang dijalankan Australia, jadi kami pasti akan membantah karakterisasi itu," katanya.

Laporan tersebut menyerukan negara-negara G20 untuk mengambil tindakan segera dalam menghapuskan subsidi bagi produsen bahan bakar fosil, guna menjalankan komitmen global untuk memerangi pemanasan global.

"Ini sama saja dengan pemerintah G20 memungkinkan produsen bahan bakar fosil untuk melemahkan komitmen iklim nasional, sembari membayar mereka untuk hak istimewa itu," tulis laporan tersebut.