ABC

Multikulturalisme di Indonesia Dibahas di Australia

Hubungan antaretnis dan agama di Indonesia dibahas dalam acara debat ABC berjudul Q&A (Questions and Answers), Senin (25/8/2014) malam. Menurut penulis dan peneliti Elizabeth Pisani, baik di Indonesia maupun Australia, kekerasan terhadap etnis tertentu biasanya diakibatkan konflik yang terjadi di kalangan politisi.

Elizabeth Pisani, yang sempat tinggal di Indonesia sebagai seorang jurnalis dan ahli kesehatan, baru-baru ini menerbitkan buku tentang Indonesia, berjudul Indonesia Etc: Exploring the Improbable Nation.

Pisani, yang tinggal di Inggris, sedang mengunjungi kota Melbourne, Australia, dalam rangka acara Melbourne Writers Festival.

Pisan hadir dalam acara Q&A sebagai anggota panel bersama mantan Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans, jurnalis Paul Kelly, tokoh pluralisme Australia Tasneem Chopra dan penulis Ali Alizadeh.

http://publisher.radioaustralia.net.au/sites/default/files/images/2014/08/26/Q%20and%20A%20Elizabeth.jpg

Panel Q&A 25 Agustus 2014: Dari kiri ke kanan: Paul Kelly, Tasneem Chopra, Tony Jones, Elizabeth Pisani dan Gareth Evans.

Topik yang dibahas oleh panel tersebut, dan juga oleh penonton, dalam kesempatan itu antara lain terorisme dan multikulturalisme.

Indonesia disinggung beberapa saat setelah seorang penonton bertanya apakah multikulturalisme benar-benar berjalan, ataukah malah ibarat bom waktu yang siap meledak begitu ada yang memanasi.

Evans dan Chopra menanggapi bahwa meskipun memang terkadang ada benturan antar budaya atau etnis di Australia, secara keseluruhan negara itu cukup berhasil dalam menjalankan kehidupan yang multikultural.

Pembawa acara dan moderator Tony Jones kemudian meminta tanggapan Pisani tentang multikulturalisme dan hubungan antaretnis di Indonesia.

Pisani menjawab bahwa Indonesia cukup berhasil dalam multikulturalisme, dan bahwa negara tersebut bisa merangkul sekitar 300 kelompok etnis.

“Konflik memang terjadi, dan itu hampir selalu merupakan konflik memperebutkan sumber daya, dan hampir selalu karena ada kelompok yang dilihat ingin mengambil sumber daya yang selama ini didominasi kelompok lain,” ucapnya.

Saat ditanya Jones lebih lanjut tentang etnis China yang, menurutnya, sering menjadi korban dalam konflik di Indonesia, Pisani menjawab bahwa etnis China memang sering dipandang sebagai etnis yang berasal dari luar Indonesia, meskipun banyak dari mereka sudah berada di Indonesia selama 4 abad atau bahkan lebih.

“Tak beda dengan Australia, kekerasan [terhadap etnis China] mencerminkan konflik yang lebih kecil dalam dunia politik,” ucapnya ketika ditanya lagi oleh Jones perihal masalah yang sama.

“Politisi lokal dan nasional berusaha  mengambil hati dengan cara menggunakan prospek terjadinya konflik .”

Menurut Pisani, kemungkinan terjadinya kekerasan terhadap etnis China di Indonesia di masa depan tengah menurun, karena Indonesia telah memperkuat demokrasinya, hingga tak perlu lagi ada yang dianggap sebagai ‘musuh dari luar’ demi mempersatukan bangsa.

Kebanyakan konflik antaretnis atau agama di Indonesia berakar dari perebutan sumber daya, terangnya.

“Di dalam komunitas pribumi Indonesia…banyak konflik yang seringkali digambarkan sebagai, misalnya, Muslim melawan Kristen, Dayak melawan China,” tutur Pisani.

“Tapi, sebenarnya, ini hampir selalu karena ada perubahan pemerintahan lokal.”

Perubahan macam ini bisa berbuntut, sebagai contoh, lapangan kerja yang tadinya didominasi warga Kristen diberikan pada penduduk Muslim, gara-gara gubernur baru terpilih suatu daerah adalah Muslim, dan ia membagi-bagikan lapangan kerja ke keluarga besarnya, jelas Pisani.

“Saat anda berbicara tentang multikulturalisme, anda harus berpikir tentang cara anda membagikan sumber daya di masyarakat,” ucapnya.

“Pembagian sumber daya yang buruk adalah contoh hal yang bisa mengakibatkan kebencian, yang bisa berakibat konflik.”