ABC

MSF Perkirakan Lebih 10 Ribu Muslim Rohingya Terbunuh

Jumlah warga Muslim Rohingya yang tewas terbunuh di saat dan setelah “operasi pembasmian” oleh militer Myanmar kemungkinan di atas 10.000 jiwa, demikian perkiraan data badan amal bidang kedokteran Medicins Sans Frontieres (MSF).

Perkiraan tersebut didasarkan pada survei terhadap pengungsi yang kini berada di Bangladesh. Ini sekaligus merupakan upaya pertama menghitung jumlah korban tewas sejak awal September 2017. Ketika itu para pejabat Myanmar menyebutkan ada 394 warga Rohingya yang tewas, dan menyebut mereka sebagian besar adalah militan.

Sejak saat itu, Myanmar memblokir hampir semua akses ke negara bagian Rakhine Utara, sehingga perkiraan yang kredibel tidak mungkin dilakukan.

MSF menjelaskan pihaknya melakukan enam kali survei terhadap para pengungsi tersebut, dan secara keseluruhan melaporkan ada rata-rata 8 kematian untuk setiap 10.000 orang yang melarikan diri.

“Dengan mengekstrak data, pada intinya kami bisa katakan, perkiraan kami yang paling konservatif yaitu antara 9.000 dan 13.700 orang meninggal,” ujar Direktur Eksekutif MSF Australia, Paul McPhun, kepada ABC.

Dia menambahkan sekitar 71 persen di antara korban meninggal akibat kekerasan. “Jadi mereka ditembak, dibakar sampai tewas dan seperti Anda tahu hal sebagai akibat kampanye militer selama periode tersebut,” ujarnya.

Dikatakan, korban lainnya meninggal akibat kelaparan atau penyebab lain akibat melarikan diri dari kekerasan.

Badan amal ini juga menyatakan setidaknya 1.000 anak usia di bawah lima tahun (balita) termasuk di antara para korban tewas.

PBB dan Amerika Serikat menggambarkan tindakan Myanmar itu sebagai pembersihan etnis. Pejabat hak asasi manusia PBB bahkan menyebut tindakan militer tersebut mungkin saja memenuhi kategori genosida.

Data MSF ini dikemukakan di tengah perdebatan mengenai apakah para pengungsi itu dapat dikembalikan ke Myanmar, setelah adanya kesepakatan Myanmar dan Bangladesh untuk menerima mereka kembali.

“Kami sangat khawatir… kemungkinan akan ada proses pemulangan paksa. Jadi pertama-tama kami mendesak setiap program pengembalian haruslah bersifat sukarela bagi para warga Rohingya,” kata Paul McPhun.

“Untuk itu, mereka harus merasa aman dan pasti bahwa mereka tak akan mengalami kekerasan semacam ini lagi saat mereka kembali,” tambahnya.

‘Kehidupan telah terhenti’

Pada hari Rabu pekan ini, Palang Merah (ICRC), yang diizinkan beroperasi di Rakhine Utara, memberikan penjelasan seperti apa kondisi warga yang tinggal di sana.

“Hidup telah berhenti,” kata Direktur Operasional ICRC Dominic Stillhart dari Jenewa, yang baru saja kembali dari wilayah tersebut.

“Orang-orang ketakutan bahkan untuk meninggalkan desa mereka, pergi ke ladang, ke pasar, dan hampir tidak ada warga yang kesana-kemari. Sangat jelas kita bisa melihat bahwa kehidupan telah terhenti,” ujarnya.

Hal yang sangat sensitif yaitu penjelasan dari sejumlah sumber di kalangan militer Myanmar – yang dibantah pemimpin Myanmar – bahwa warga Rohingya yang kembali mungkin dimasukkan ke kamp-kamp, bukan ke desa asal mereka.

Sejumlah lembaga bantuan bahkan mengancam untuk menahan bantuan kemanusiaan jika hal itu benar-benar dilakukan pihak Myanmar.

Paul McPhun dari MSF menyebut masalah kamp tersebut sebagai “tak dapat diterima”. Menurut dia, pengalaman sebelumnya menunjukkan hal ini justru akan memperburuk ketegangan antara etnis Burma dan Rohingya yang tak berkewarganegaraan.

“Idenya mengembalikan ribuan warga Rohingya ke negara bagian Rakhine, namun bukannya memberikan keamanan dan kepastian kepada mereka, malah akan dijebloskan ke kamp-kamp pengungsi. Hal itu sama sekali tidak dapat diterima,” katanya.

“Kecuali jika masalah fundamental dan mendasar mengenai kekerasan terhadap kelompok etnis ini ditangani, maka kondisi politik untuk kembali sama sekali tidak ada,” katanya.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris.