ABC

Monash Meneliti Radikalisme di Sekolah Islam di Indonesia

Tim peneliti Monash University di Melbourne dan Universitas Islam Negeri Walisongo di Semarang bekerjasama memetakan paham radikalisme dan ekstimisme di sekolah-sekolah Islam di Indonesia. Mengapa hal itu perlu dilakukan? Agus Mutohar, salah seorang peneliti, menjelaskan mengapa hal tersebut dilakukan.

Dalam dua dekade terakhir ini, esktrimisme telah menjadi masalah global karena tindakan-tindakan ekstrimisme tersebut berkaitan erat dengan terorisme.

Pemangku kebijakan di berbagai negara seperti Indonesia merespon berbagai tindakan ekstrimisme dengan pendekatan hukum (law enforcements) dan melakukan pengawasan (surveilance) kepada orang yang disinyalir akan melakukan tindakan ekstrimisme.

Namun para pemangku kebijakan sampai saat ini masih belum melakukan upaya menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai tempat menangkal terorisme.

Padahal akhir-akhir ini terdapat beberapa pelaku teror yang nota bene adalah para pemuda yang masih mengenyam atau baru saja lulus dari bangku sekolah seperti salah satu pelaku terror yang akan mengebom gereja di Medan, Ahmad Ivan Hasugian yang masih berumur 18 tahun.
Beberapa penelitian yang sudah di lakukan oleh lembaga seperti Setara Institute yang mengambil sampel di 114 Sekolah Menengah Umum (SMU) di Jakarta menyimpulkan bahwa terdapat 16,9 % responden yang membenarkan tindakan yang dilakukan oleh ISIS dan menyebut mereka sebagai pejuang Islam.
Merebaknya tindakan ekstrimisme yang dilakukan para pemuda seharusnya membuat para pemangku kebijakan di bidang pendidikan untuk menyiapkan literasi bagi peserta didik untuk bisa membaca dan memahami polemik di sekitar mereka dan menyikapinya dengan toleran.

Banyaknya jumlah lembaga pendidikan di berbagai daerah di Indonesia yang memiliki beragam karakteristik dalam hal budaya dan pemahaman agama menjadikan kompleksitas tersendiri bagi pemerintah untuk menangkal paham ektrimisme.

Belum lagi banjirnya informasi di berbagai kanal sosial media dan website menjadikan upaya pemberantasan paham radikalisme semakin kompleks karena para penyebar paham ekstrimisme bisa dengan mudah mengunggah berita atau tulisan yang mengarah kepada kebencian dan provokasi di berbagai kanal.

Lemahnya literasi media dan kemampuan untuk menganalisa isu-isu lokal dan global para peserta didik menjadi semakin besar kemungkinan mereka untuk terlibat aksi ekstrimisme.
Untuk menjadi bagian dari pencegahan tersebut, Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo melakukan kerjasama dengan Fakultas Pendidikan Monash University di Australia untuk melakukan riset bersama untuk memetakan paham radikalisme dan ekstimisme di sekolah-sekolah Islam di Indonesia.

UIN Walisongo akan menyiapkan beberapa dosen yang telah terlibat lama meneliti isu ekstrimisme di Indonesia yang akan dipimpin oleh Direktur Walisongo Mediation Centre (WMC), Dr. Imam Taufieq.

“Sejauh ini kami sebagai institusi pendidikan juga telah terlibat aktif dengan berbagai institusi seperti Kepolisian Jawa Tengah untuk menangkal paham ektrimisme seperti yang kami lakukan awal tahun ini.” tutur Prof. Dr. Muhibbin, Rektor UIN Walisongo.
Bentuk kerjasama yang akan dilakukan dua institusi pendidikan ini adalah dalam bentuk riset untuk memberikan informasi kepada pemangku pendidikan tentang kurikulum, nilai, kegiatan, dan dimensi lain di sekolah Indonesia yang bisa menangkal ekstrimisme dan menumbuhkembangkan tindakan ekstrim.

Agus Mutohar, salah satu tim peneliti dan bersama Mark Rickinson, Wakil dekan bagian kerjasama Fakultas Pendidikan Monash University Australia.
Agus Mutohar (kanan) salah satu tim peneliti dan bersama Mark Rickinson, Wakil dekan bagian kerjasama Fakultas Pendidikan Monash University Australia.

Foto: Istimewa

Dari pihak Monash University, Dosen Senior Melanie Brooks, pakar ekstimisime di dunia pendidikan yang telah melakukan penelitian di berbagai negara seperti di Amerika, Filipina, dan Thailand akan berkolaborasi secara langsung dengan peneliti dari UIN Semarang untuk meneliti sekolah-sekolah Islam di Indonesia tahun depan.
Dalam diskusi yang dilakukan oleh kedua belah pihak pada tanggal 27 Oktober 2016 di Monash University, disepakati penggunaan framework XvX dari Professor Lynn Davies, Professor dari Machaster University yang menulis buku ‘educating against extremism’.

Dalam bukunya, Professor Davies mengatakan bahwa bisa jadi sebuah sekolah tanpa disadari menumbuhkembangkan tindakan ekstrimisme lewat berbagai aktifitas, nilai, sistem dan kurikulum.

Sekolah seharusnya mengajarkan peserta didik untuk berfikir kritis dalam menyikapi berbagai isu yang berkembang.
Dalam framework XvX, Professor Davies membuat lima dimensi untuk mengetahui apakah sebuah sekolah melakukan aktifitas untuk menangkal tindakan ektrimisme atau sebaliknya.

Pertama, dimensi knowledge atau keilmuan, sekolah yang menangkal munculnya ekstrimisme akan mengajarkan isu-sisu konflik global dan politik yang bisa dimasukkan dalam mata pelajaran seperti ilmu sosial. Selain itu, sekolah juga mengajarkan cara berfikir kritis, literasi media, dan mendorong siswa untuk melakukan diskusi dalam kegiatan belajar.

Sebaliknya sekolah yang bisa menumbuhkembangkan ekstrimisme akan mengajarkan kebenaran yang tunggal tanpa disertai toleransi bagi pihak yang tidak sepaham.

Sekolah model ini juga akan mengajarkan siswanya untuk membenci ras, suku, maupun agama tertentu dan mendasarkan proses pendidikannya berdasarkan realitas yang tidak berubah.
Selain dimensi tersebut, terdapat tiga dimensi lain seperti scaffolding yang berhubungan dengan identitas sebuah sekolah, dimensi nilai atau values yang berhubungan dengan nilai di sebuah sekolah, dan dimensi proses yang berkaitan dengan aktifitas sebuah sekolah dalam kegiatan belajar mengajar.
Kolaborasi riset ini akan dimulai awal tahun 2017 yang akan didahului berbagai kegiatan simposium antara tim peneliti Monash University dan UIN Walisongo.

* Agus Mutohar, Kandidat doktor di bidang pendidikan, Universitas Monash, Australia dan anggota tim peneliti kolaborasi riset bidang pendidikan dan ekstrimisme UIN Walisongo dan Monash University.