ABC

Modal dan Sumber Daya Tantangan Utama Ekonomi Digital Indonesia

Pemerintah mentargetkan Indonesia akan menjadi negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2020. Dalam empat tahun mendatang sektor ini diharapkan dapat mencetak 1000 ‘technopreneur’ baru dengan nilai bisnis mencapai USD10 miliar. Namun menurut sejumlah pelaku ekonomi digital menilai banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencapai target ini.

Di tengah pelambatan ekonomi yang terus berlangsung, ekonomi digital muncul menjadi sektor yang terus menggeliat, industri ‘e-commerce’ di tanah air berkembang pesat.

Berdasarkan data analisis Ernst & Young, pertumbuhan nilai penjualan bisnis online di tanah air setiap tahun meningkat 40 persen. Dengan jumlah pengguna internet mencapai sekitar 93,4 juta orang dan pengguna telepon pintar sebanyak 71 juta orang.

Nick Wailes, Associate Dean, digital and Innovation dari UNSW
Pemahaman yang baik mengenai ekonomi digital yang sedang berkembang ini akan mendorong kesuksesan generasi wirausaha digital baru dan start ups di Indonesia, kata Nick Wailes, Associate Dean, digital and Innovation dari UNSW.

Australia Plus – Iffah Nur Arifah

Potensi dan tantangan ekonomi digital ini menjadi sorotan utama dalam event BusinessThinkIIndonesia 2016 yang digelar pekan lalu di Jakarta. Ini merupakan event diskusi tahunan yang diselenggarakan oleh Business School, University of New South Wales (UNSW) Australia mengenai perkembangan dan tren ekonomi dan bisnis di Indonesia.

Professor Nick Wailes, Associate Dean (Digital and Innovation ) UNSW yang menjadi moderator dalam acara tersebut memuji pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.

“Seperti perekonomian lainnya, Indonesia juga tidak lepas dari pengaruh perkembangan ekonomi digital, tapi secara khusus Indonesia berada pada situasi dimana banyak terdapat technopreneur yang pintar dan bisnis lokal yang sudah memahami bagaimana memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk meningkatkan kapital mereka serta melakukan hal-hal baru,”

Nick Wailes menambahkan Indonesia harus memanfaatkan kondisi ini agar pertumbuhan ekonomi digitalnya tidak hanya sukses di tingkatan pasar lokal tapi juga di kawasan.

“Memahami pasar yang berkembang akan menempatkan technopreneur dan start-ups Indonesia tidak hanya akan sukses di pasar lokal tapi juga sukses di kawasan ASEAN yang terus berkembang pesat.”

Ia mencontohkan kesuksesan startup Gojek dalam mengadopsi pengetahuan local yang mendorong startup ini sukses menguasai pasar di tanah air.

“Gojek berhasil mengalahkan Uber di pasar lokal, ini membuktikan bahwa di era digital dan sharing economy, menyesuaikan model bisnis dengan kondisi pasar local tetap penting dilakukan,” paparnya.

Event ‘BusinessThinkIIndonesia’ ke-2 ini diselenggarakan di Kedutaan Besar Australia (24/11) ini menghadirkan sejumlah praktisi technopreneur dan startup yang sebagian adalah juga alumni Australia. Diantaranya Noni Purnomo, Presiden Direktur, Blue Bird Group, Moses Lo, CEO/Founder, Xendit, Norman Sasono, Chief Innovation Officer, Bizzy, Shinta Dhanuwardoyo, CEO/Founder Bubu.com dan Karina Akib, strategic planner Google.

Kendala modal dan sumber daya

Shinta Dhanuwardoyo, pendiri dan CEO Bubu.com
Shinta Dhanuwardoyo, pendiri dan CEO Bubu.com (kiri) menilai perkembangan ekonomi digital di Indonesia tergolong lama. Perubahan besar di industri digital baru terjadi lima tahun terakhir saja.

Australia Plus – Iffah Nur Arifah

Shinta Dhanuwardoyo, alumni University of South Australia (UNISA) yang merupakan pendiri Bubu.com -salah satu perusahaan internet pertama di Indonesia menilai perkembangan teknologi internet telah banyak mengubah wajah Indonesia saat ini.

“Internet telah menjadi solusi bagi Indonesia karena berhasil menciptakan lapangan pekerjaan dan peluang bisnis bagi masyarakat seiring dengan pertumbuhan situs-situs e-commerce seperti tokopedia, bukalapak, begitu juga dengan layanan Uber, Grab dan Gojek dan sebagainya,” kata Shinta.

Namun demikian sebagai praktisi dan pendiri perusahaan internet pertama di Indonesia –Bubu.com, ia menilai perkembangan teknologi internet di Indonesia cukup lambat.

“Dulu ketika mulai terjun di bisnis internet sekitar tahun 1996, ketika jualan saya masih harus menjelaskan apa itu internet dan website. Sekarang memang sudah tidak perlu lagi karena semua sudah paham dan terbiasa dengan internet. Tapi menurut saya perkembangannya di Indonesia terlalu lambat. Perubahan besar itu baru saya saksikan sekitar 5 tahun terakhir saja,” tutur Shinta.

Selain itu sebagai praktisi Ia juga melihat akses terhadap modal masih menjadi isu utama untuk mendorong lahirnya technopreneur dan startup di tanah air.

‘Akses modal sekarang ini hanya terpusat di Jakarta. Jadi teman-teman yang memiliki kemampuan dan gagasan untuk membangun startup baru di luar Jakarta mengeluhkan sulitnya mencari investor. Mereka ini yang perlu dibantu agar pertumbuhan ekonomi digital lebih merata tidak hanya di Jakarta saja.”

“Saya bersama KADIN menggagas dibentuknya lembaga semacam ‘Startup 101’ yang dapat memberikan layanan sebagai mentor, membantu mencarikan investor dan juga networking untuk mendorong pertumbuhan start-ups.” Tambahnya.

Sementara itu panelis lainnya, Norman Sasono Chief Innovation dari Bizzy, menyoroti ketersediaan sumber daya dibidang teknologi internet (IT) sebagai kendala yang umum dihadapi perusahaan IT di Indonesia.
“Mendapatkan engineering yang bagus yang bisa mendukung pencapaian tujuan perusahaan dalam layanan IT itu masih sulit. Kami masih harus melakukan out sourcing dari Thailand atau Vietnam.” Ungkap Norman.

“Perguruan tinggi di Indonesia metode pengajaran IT tidak update, dan masih terpaku pada pola pengajaran lama yang lebih banyak muatan teori. Sementara untuk bidang IT, butuh lebih banyak porsi praktek dan aplikasi langsung. Karenanya tidak heran kalau lulusannya banyak tidak yang siap terjun ke dunia kerja.”
Sementara menurutnya, perusahaan startup yang baru memulai bisnis mereka dengan keterbatasan modal mereka sangat membutuhkan tenaga siap pakai.

“Perusahaan start-ups kecuali punya modal yang besar, kami tidak mampu memberikan training terlebih dahulu untuk karyawan, kami butuh tenaga siap pakai.” Tegasnya.

Seluruh panelis menilai Indonesia perlu merespon tantangan tersebut sesegera mungkin untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital saat ini agar bisa tercapai target pemerintah agar Indonesia menjadi pasar ekonomi digital terbesar di kawasan pada 2020 mendatang.