Misteri Gunung Berapi Teraktif di Dunia Berhasil Diungkap
Sebuah tim yang dipimpin peneliti dari Australian National University (ANU) berhasil mengungkap misteri di balik gunung berapi terbesar dan teraktif di dunia yang berada di Hawaii.
Penelitian tersebut menggunakan simulasi komputer untuk memastikan bahwa jalur kembar yang menyebabkan gunung berapi tersebut disebabkan oleh pergeseran lempeng Pasifik tiga juta tahun silam.
Peneliti utama Tim Jones mengatakan penemuan tersebut akan membantu ilmuwan merekonstruksi kembali sejarah Bumi secara lebih baik.
“Sekarang kami menyadari bahwa kami melihat hal ini di seluruh dunia,” katanya kepada ABC News.
“Yang penting dari penelitian ini adalah kami memperhatikan bahwa hal ini banyak terjadi di Lempengan Pasifik dan muncul bersamaan,” jelasnya.
“Panas dari inti Bumi menyebabkan kolom batu yang panas, yang disebut mantle plume, meningkat di bawah lempengan tektonik dan menghasilkan aktivitas vulkanik di permukaan,” kata Jones.
“Mantle plume memainkan peran dalam terjadinya kepunahan massal, terciptanya berlian dan terbelahnya benua,” jelasnya.
Kolaborasi internasional
Tim internasional dari Inggris, Amerika Serikat, Demark dan Australia menemukan bahwa jalur vulkanik kembar muncul karena mantle plume tidak sejajar dengan arah gerak lempeng.
Para ilmuwan telah mengetahui adanya jalur vulkanik kembar tersebut sejak tahun 1849 namun penyebab munculnya hal itu menjadi misteri sampai sekarang.
“Penelitian ini membantu menjelaskan asal usul Hawaii, titik vulkanik terbesar di Bumi dan salah satu tujuan wisata paling populer di dunia,” kata Jones.
Jalur vulkanik kembar berada di bagian lain Pasifik, termasuk Samoa.
“Hal itu berarti kita bisa kembali pada masa lalu untuk mengetahui kapan hal itu muncul dan menggunakan informasi tersebut untuk menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan dalam gerak lempeng tersebut,” kata Jones.
“Artinya kita bisa merekonstruksi sejarah tektonik Bumi dan mencari tahu bagaimana masa lalu membawa kita seperti sekarang serta memprediksi seperti apa planet kita di masa depan,” tuturnya.
Diterbitkan Jumat 5 Mei 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di ABC News.