Minggu Pengungsi 2015: Mereka Yang Menjadikan Australia Rumah
Sejak Perang Dunia kedua, ratusan ribu orang sudah mengungsi dan memutuskan menetap di Australia. Untuk memperingati Minggu Pengungsi 2015 (14-20 Juni), ABC berbicara dengan tiga pengungsi yang berasal dari Estonia, Sudan sampai Myanmar.
Cerita mereka semua berbeda, namun semuanya berbicara mengenai kebahagiaan bisa menetap di Australia.
"Mereka membawa kami ke Sekolah Dasar North Inglewood, yang cukup jauh dari rumah, dan saya lari balik ke rumah di dua hari pertama karena yang bisa saya katakan hanyalah "yes" dan "no". -Tiia Van Koldenhoven
Tiia Van Koldenhoven, lahir di Estonia di tahun 1943, dan sekarang tinggal di Katanning
Tiia Van Koldenhoven (dulu nama keluarganya adalah Ohtra) lahir di Haapsalu, Estonia di tahun 1943.
Daerahnya sedang diduduki oleh Jerman, dan pasukan Soviet sedang mempersiapkan diri untuk mengambil kembali negara di kawasan Baltik tersebut.
Deportasi masal, wajib militer dan kekacauan mewarnai masa kecilnya., Ayah Tiia khawatir keadaan akan semakin memburuk.
"Ayah saya, bekerja di sebuah radio stasiun sebaai teknisi, dan dia khawatir akan dibawa ke Siberia." katanya.
"Dia harus mengambil keputusan dan keputusan adalah mengungsi."
Keluarga Tiia naik ferry dari Estonia namun kapal mereka terbakar. Sebuah kapal Jerman menyelamatkan mereka dan Tiia kemudian harus hidup di kamp pengungsi di Ausburg Jerman selama empat tahun.
Adalah teman ayah Tiia asal Estonia, Big Bill yang menjadi sponsor bagi keluarganya untuk pindah ke Australia.
Tiia masih ingat ketika mereka tiba di Fremantle (Australia Barat) dengan kapal SS Derna di tahun 1948.
Ditemani oleh ibu, ayah dan kakak perempuannya, Tiia berusia lima tahun ketika dia memulai kehidupan barunya di Australia.
Tiia memulai sekolah tanpa bisa berbahasa Inggris sama sekali.
"Mereka membawa kami ke Sekolah Dasar North Inglewood, yang cukup jauh dari rumah, dan saya lari balik ke rumah di dua hari pertama karena yang bisa saya katakan hanyalah "yes" dan "no"." katanya.
"Saya tidak mengerti sama sekali apa yang dikatakan oleh guru."
"Jadi selama dua hari berikutnya, ibu saya dan temannya asal Estonia yang tinggal di Inglewood berdiri di pintu kelas dan memperhatikan supaya saya tidak lari."
Walau di rumah keluarganya berbicara dalam bahasa Estonia, Tiia tidak merasa berbeda dengan warga Australia ketika beranjak dewasa.
"Satu hal yang saya ingat adalah saya selalu harus mengeja nama saya." katanya.

"Kami tiba disini pada malam hari dan kami berkeliling melihat-lihat sekitar. Indah sekali disini. Kami tinggal di Morley, di sebuah rumah dengan dua kamar dan sebuah ruang duduk dan ini merupakan rumah luar biasa nyaman yang pernah saya lihat sepanjang hidup saya." – Gisele Ishimwe
Gisele Ishimwe, dari Rwanda, sekarang tinggal di Kwinana
Gisele Ishimwe lahir di Rwanda dan menghabiskan sebagiann besar masa kecilnya dengan berpindah-pindah mencari keselamatan sebelum akhirnya tiba di Australia ketika dia berusia 13 tahun.
"Saya lahir di Rwanda di tahun 1994, ketika perang mulai terjadi di negara kami." katanya,
"Kami harus mengemas barang-barang milik kami dan pindah demi keselamatan diri. Kami lalu pergi ke beberapa negara berbeda selama masa itu dan ketika situasi mulai tenang kami sempat kembali ke Rwanda dan tinggal disana untuk beberapa saat.
"Namun situasi negara saya tidak lagi sama setelah perang. Orang menjadi sangat sedih dan kami kehilangan banyak anggota keluarga kami. Ibu saya kehilangan banyak kakak laki-laki dan perempuan, ayah saya kehilangan orang tuanya,"
Ayah Gisele merupakan kepala perusahaan plastik, namun ketika kembali ke Rwanda ternyata jabatannya dihapuskan.
Ada beberapa insiden yang membuatnya memutuskan untuk pergi karena mengkhawatirkan keselamatannya.
"Suatu hari dia pergi di pagi hari dan tidak pernah kembali. Ibu tidak pernah memberitahu saya apa yang sedang terjadi,"
Ayah Gisele tinggal selama beberapa tahun di Uganda sementara dia dan dua orang saudara perempuannya tetap tinggal bersama ibu mereka di Rwanda, yang melanjutkan pekerjaannya sebagai guru untuk menyokong kehidupan keluarga.
Namun situasi kembali mencekam.
Setelah beberapa tahun, mereka akhirnya tinggal bersama ayahnya di Uganda, dan mereka kemudian mendaftarkan diri untuk mendapatkan status pengungsi dan penempatan.
Keluarga Giselle menunggu hingga lima tahun sebelum akhirnya bisa meninggalkan Uganda.

Saya berharap bisa menjadi tukang pipa yang hebat dan mungkin nanti bisa memiliki bisnis serta dapat membantu orang lain." – Kya Tha Ya
Kya Tha Ya, dari Myanmar (Burma), sekarang tinggal di Katanning
Kya Tha Ya berusia 12 tahun ketika bermigrasi ke Australia setelah sempat menunggu selama 7 tahun di kamp pengungsian di Thailand. Dia masih ingat betapa senangnya dia ketika memasuki rumah penampungan sementaranya di Queens Park, pinggiran Kota Perth bersama dengan orang tuanya dan dua saudara laki-lakinya yang masih kecil.
"Itu pertama kalinya saya melihat televisi. itu adalah moment yang sangat menyenangkan." kenangnya.
Kya Tha Ya yang kini berusia 18 tahun, meninggalkan Myanmar, yang dulu bernama Burma, sebagai anak kecil dari etnis Karen, dia dan keluarganya menyebrangi perbatasan untuk melarikan diri dari konflik puluhan tahun dengan militer Myanmar.
Keluarganya kemudian tiba di kamp pengungsi Mae La di perbatasan Myanmar-Thailand. Mereka tinggal disana selama 7 tahun.
Kya mengatakan masa tunggu mereka bisa jauh lebih panjang.
"Tapi beberapa orang tinggal di pengungsian itu jauh lebih lama dari kami, ada yang 12 tahun, 13 tahun, jadi kami cukup beruntung,' katanya.
Dia ingat perasaan yang saling bercampur antara takut dan juga bosan.
"Disana Kami tidak bisa memiliki kehidupan, harapan atau mimpi. Kami hanya tinggal di dalam kandang," tuturnya.
Kya tidak tahu kalau dirinya akan pindah ke Australia sampai dia berada didalam pesawat.
"Ketika saya pertama kali pergi ke Australia, Saya merasa sedikit sedih karena kami tidak tahu siapapun disana. Kami rindu teman-teman kami di kamp juga,"
Kya dan keluarganya tinggal selama 6 bulan di Perth sebelum direlokasi ke Katanning, setelah ayahnya mendapat pekerjaan di sebuah tempat penyembelihan hewan di kota itu.
Sampai saat itu, pendidikan Kya tidak menentu dan karenanya sekolah menengah atas terbukti menjadi sangat menantang.
Kya berhasil menyelesaikan sekolahnya pada tahun 2013 dan tengah magang di bidang pemipaan.
"Harapan saya bisa menjadi tukang pipa yang baik dan mungkin nanti saya bisa memiliki bisnis juga agar bisa membantu orang lain,' katanya.
Kya mengatatakan, disamping banyaknya tantangan yang harus dihadapi, Ia merasa beruntung dapat direlokasikan dari kamp pengungsi di Thailand.