ABC

Milenial di Pedalaman Australia Hadapi Problem Narkoba dan Kesehatan Mental

Bagaimana generasi milenial dari pedalaman Australia memandang persoalan yang mereka hadapi saat ini? Sejumlah isu menjadi perhatian utama mereka, sebagaimana terungkap dalam program Heywire 2019 yang digelar ABC di Canberra.

Lauren Paynter dari Kota Nyah, Victoria

A head shot of a smiling young woman in a blue shirt with her hair pulled back.
Lauren Paynter dari kota pedalaman Nyah di Victoria.

ABC Heywire: Mark Graham

Selama lebih dari enam tahun, Lauren Paynter tinggal jauh dari rumah dan keluarganya.

Perempuan berusia 21 tahun itu mengakui pindah dari rumah orangtuanya bukanlah pilihan, melainkan suatu keharusan.

Dia pindah pertama kali untuk masuk asrama waktu SMA, kemudian ketika masuk universitas, dan saat mulai berkarir ketika sudah sarjana.

“Saya ingin kembali ke kota asal saya Nyah, tetapi pada tahap ini saya tak melihat ada pekerjaan di sana untuk masa depan saya,” kata Lauren.

Menurut dia, keputusan untuk pindah dari rumah orangtua atau tetap di sana bersama keluarga kerabat, menjadi masalah yang dihadapi banyak generasi muda di pedalaman.

“Untuk masyarakat pedalaman, saya pikir masalah terbesarnya yaitu menciptakan kota yang berkelanjutan sehingga anak-anak muda bisa kembali ke sana, mendapatkan penghasilan dan tinggal menetap,” katanya.

Lauren berharap kalangan pengusaha bisa menawarkan pilihan kerja yang lebih fleksibel bagi anak muda.

“Dapat bekerja dan belajar di wilayah regional tentunya akan luar biasa,” ujarnya.

Nathan Doyle dari Kota Rockhampton, Queensland

A young man with short brown hair and a check shirt stands in front of a lectern.
Nathan Doyle dari kota pedalaman Rockhampton, Queensland.

ABC Heywire: Mark Graham

Bagi Nathan Doyle, sepertinya setiap tahun dia kehilangan temannya akibat penyalahgunaan narkoba dan alkohol.

“Saya banyak menyaksikan kehidupan anak muda yang sia-sia, bahkan terlalu banyak,” katanya.

“Sabu adalah barang paling mengerikan, dan paling mendominasi saat ini,” ujarnya.

“Teman-temanku menempuh jalan itu dan sangat sedikit yang bisa pulih kembali,” katanya.

Upaya melawan kecanduan narkoba tidak asing bagi pria 26 tahun itu.

Setelah mengalami sendiri penyalahgunaan narkoba dan alkohol, Nathan kini tahu betul permasalahan ini.

“Setelah meninggalkan SMA, saya alami kecanduan ganja dan sabu selama tujuh hingga delapan tahun. Baru selama dua hingga tiga tahun terakhir saya dalam pemulihan,” ujarnya.

“Saya berakhir di tahap yang begitu gelap sehingga saya tak ingin kembali lagi,” katanya.

“Saya mendekam sendirian dalam sel penjara di unit kesehatan mental untuk jangka waktu yang lama,” tambahnya.

Nathan adalah salah satu dari sedikit anak muda yang mampu mengubah hidupnya.

Sejak itu dia terlibat kegiatan untuk membantu pencegahan narkoba bagi anak muda, dengan mempelajari budaya dan komunitas mereka.

Dia berharap kegiatannya ini bisa lebih berkembang di masa depan.

Jackie Bayley dari Kota Dubbo, New South Wales

A portrait picture of a young woman with long, wavy blonde hair in a grey jumper, smiling.
Jackie Bayley dari kota pedalaman Dubbo, New South Wales.

ABC Heywire: Mark Graham

Jackie Bayley (19) mengalami secara langsung kesehatan mental di wilayah pedalaman.

“Saya memiliki pengalaman dengan penyakit mental, termasuk upaya bunuh diri. Saat itu saya selamat dan dimasukkan di rumah sakit jiwa,” katanya.

Jackie mengatakan hal itu adalah pengalaman traumatis yang jadi lebih sulit akibat kurangnya layanan terkait di pedalaman.

“Tidak banyak pilihan untuk perawatan, berbagai jenis terapi, atau fasilitas rawat inap,” katanya.

“Banyak orang terpaksa menempuh perjalanan berjam-jam ke kota untuk mendapatkan bantuan.” tambahnya.

Jackie sendiri harus menempuh perjalanan enam jam untuk mendapatkan layanan yang dia butuhkan, jauh dari rumah, keluarga dan kerabatnya.

“Bepergian enam jam untuk mendapatkan bantuan kesehatan mental yang saya butuhkan sangat penting,” katanya.

“Tapi pada akhirnya saya memilih tidak tinggal di fasilitas tersebut karena terlalu jauh dari keluarga dan dukungan sosial yang menurut saya sama pentingnya,” tambahnya.

Jackie mengatakan saat ini pemahaman mengenai kesehatan mental kian meningkat.

Namun, katanya, kebijakan dan sumber daya pendukung masih belum memadai, terutama bagi mereka yang tinggal di luar wilayah metropolitan.

Sam Watson dari Kota Ulverstone, Tasmania

A young man with blonde hair, black glasses and a stipe shirt is smiling.
Sam Watson dari kota pedalaman Ulverstone, Tasmania.

ABC Heywire: Mark Graham

Ketika Sam Watson berbicara mengenai masa depan, dia membayangkan air menggenangi rumah keluarganya di Kota Ulverstone, Tasmania.

Dia mengatakan mungkin hal itu terdengar dramatis. Namun itulah kenyataan menurut jika merujuk pada kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim.

“Saya tinggal di pantai dan rumah saya akan menjadi tenggelam ke laut dalam 200 tahun ke depan menurut perkiraan, bersama sebagian besar kota-kota pantai di Australia,” kata Sam.

“Dampak ekonomi dari hal itu seharusnya sudah cukup jadi alasan mengapa perlu masuk ke energi terbarukan,” katanya.

Sam yang baru berusia 18 mengatakan hal ini sudah jadi agenda politik sejauh yang bisa diingatnya.

Namun dia mengaku adanya upaya mengatasinya meskipun dampaknya masih minim.

“Kami sudah melihat efeknya,” kata Sam.

“Saya meninggalkan Tasmania seminggu lalu dan kami mengalami kebakaran hutan terburuk dalam sejarah,” tambahnya.

“Tiga persen dari wilayah Tasmania terbakar, termasuk hutan lindung yang tidak akan pernah dipulihkan,” katanya.

“Jika dunia, termasuk Australia, tak mengambil tindakan tegas saat ini, saya khawatir dengan masa depan saya dan masa depan anak-anak saya, anak-anak teman saya, dan masa depan umat manusia,” kata Sam.

Grace Vipen dari Kota Mackay, Queensland

Portrait shot of a young woman with blonde hair, glasses and a grey jumper smiling.
Grace Vipen dari kota pedalaman Mackay, Queensland.

ABC Heywire: Mark Graham

Karena banyak menghabiskan waktu mengunjungi dan menjadi sukarelawan di pantai jompo, Grace (19) melihat langsung perbedaan layanan di daerah pedalaman dan daerah metropolitan.

“Masalah terbesar menurut saya yaitu menutup kesenjangan antara kualitas layanan antara daerah terpencil, pedesaan dan pedalaman dibandingkan dengan kota-kota besar,” katanya.

“Saya melihatnya pertaman kali ketika kakekku dirawat di sebuah panti di komunitas pedalaman,” tambahnya.

Setelah menjadi sukarelawan di Mackay dan Brisbane, Grace mengatakan kaget dengan adanya perbedaan dukungan sumberdaya dibandingkan dengan panti jompo kakeknya sebelumnya.

Menurut dia, masalah ini tidak terbatas pada perawatan lansia saja, tapi juga mencakup lamanya daftar tunggu untuk operasi.

Dia menilai hal-hal sepele yang diabaikan lama-lama akan jadi permasalahan serius.

Pada saat itulah, katanya, permasalahannya pun harus diterima sebagai kenyataan karena sudah terlanjur jadi besar.

Ivan Reyes dari Kota Stratford, Victoria

A portrait picture of a young man with black hair and a dark grey t-shirt, smiling.
Ivan Reyes dari kota pedalaman Stratford, Victoria.

ABC Heywire: Mark Graham

Ivan Reyes yang berusia 17 sudah memiliki jadwal yang padat.

Dia giat dalam kegiatan organisasi pemuda, festival dan beberapa acara komunitas di kota asalnya, Stratford di Victoria.

Menurut Ivan, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi anak muda di pedalaman Australia adalah kurangnya transportasi.

“Masalah terbesar bagi saya, khususnya di komunitas atau kota kami, yaitu transportasi,” katanya.

“Jika kita ingin pergi ke pusat perbelanjaan, atau bertemu dengan teman, atau bahkan jika ketinggalan bus sekolah, maka tak banyak transportasi yang tersedia,” tambahnya.

Ivan mengaku tak jarang harus menunggu lebih dari tiga jam untuk angkutan umum. Satu-satunya pilihan lain yaitu naik taksi.

“Bus terakhir mungkin datang sekitar pukul 10:00 malam. Kemudian setelah itu satu-satunya pilihan yaitu naik taksi, yang cukup mahal,” katanya.

Simak berita selengkapnya dalam Bahasa Inggris di sini.