Meski Ada Seruan #BoycottBali, Australia Tak Melarang Warganya ke Indonesia
Keputusan Pemerintah Indonesia untuk tetap mengeksekusi 2 terpidana mati asal Australia memunculkan seruan #BoycottBali di kalangan pengguna media sosial di Australia. Tapi sejauh ini, belum ada larangan resmi bepergian ke Indonesia dari pemerintahan Tony Abbott.
Atase Pers Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Laura Kemp, mengatakan, sejauh ini, pemerintahan di Canberra belum mengeluarkan perubahan peringatan perjalanan terhadap warga Australia yang ingin bepergian ke Indonesia.
Kepada Nurina Savitri dari ABC, Laura lantas merujuk laman situs Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia yang memuat soal peringatan bepergian ke sejumlah negara.
Di laman Indonesia, peringatan perjalanan terakhir diperbarui pada tanggal 5 Januari 2015. Selain Sulawesi Tengah, Maluku, Papua dan Papua Barat, Pemerintah Australia hanya meminta warganya untuk berhati-hati jika pergi ke Indonesia. Sementara terhadap 4 provinsi itu, pemerintahan Tony Abbott meminta warganya untuk mempertimbangkan kembali perjalanan itu.
Larangan bepergian resmi dikeluarkan Pemerintah Australia terhadap 12 negara, termasuk di antaranya Irak, Suriah, Afghanistan, Yaman, dan sejumlah negara Afrika.
Menanggapi seruan #BoycottBali yang muncul di antara pengguna media sosial di Australia, beberapa warga Australia di Jakarta merasa tak terpengaruh.
Jean Paul, seorang pengusaha, mengatakan, seruan #BoycottBali tak akan menyelesaikan masalah dan tak akan menghentikan hukuman mati.
“Bukan orang Bali yang melakukan eksekusi. Itu adalah hukum nasional Indonesia,” ujarnya.
Hal yang senada juga disampaikan Iain Shearer, ekspatriat Australia lainnya.
“Itu seruan tak berdasar. Orang Bali tak perlu dihukum atas keputusan Presiden Indonesia. Boikot Bali diserukan oleh sekelompok kecil orang Australia, minoritas, seperti FPI di Australia. Bukan oleh pemerintah atau media” tuturnya.
Ia mengutarakan lebih lanjut bahwa seruan boikot itu justru semakin membuat orang Indonesia membenci orang Australia, dan semakin membuat orang Indonesia ingin menghukum warga negeri kangguru.
Meski demikian, Jean Paul dan Iain menilai, keputusan hukuman mati dan penolakan grasi yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia sungguh disayangkan.
“Saya tak setuju dengan eksekusi mati yang akan dijalankan Pemerintah Indonesia, harus ada pengampunan,” ujar Iain.
“Sedih melihat Pemerintah Indonesia begitu keras kepala akan hukuman mati ini. Menurut saya ini lebih karena alasan politis ketimbang ‘bahaya narkoba’,” ungkap Jean.
Paul Harris juga mengungkapkan pendapat yang serupa.
“Hukuman mati itu benar-benar salah, itu kekerasan, dan tak terbukti ampuh menangkal peredaran narkoba,” tuturnya.
Hal yang sedikit berbeda diutarakan warga Australia di Jakarta lainnya, Joe Corrigan.
“Saya memahami pendapat yang menentang hukuman mati ini. Dan saya juga menyadari ada kritik mengenai ketidakkonsistenan hukum di Indonesia. Tapi warga asing adalah tamu dari negara yang ditinggalinya. Jika kita tak sepakat dengan hukum atau cara hidup mereka, kita harusnya meninggalkan negara itu,” urainya.
Baik Iain, Jean, Joe, dan Paul tak merasa terancam dengan adanya seruan #BoycottBali, atau #CoinforIndonesia yang muncul akibat komentar Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, yang mencoba menyinggung bantuan tsunami Australia terkait eksekusi geng Bali Nine.
Keempatnya-pun kompak menyesalkan pernyataan Tony Abbott tersebut.
“Sangat disayangkan. Komentar Abbott itu agak tolol, tak perlu diucapkan,” sebut Paul Harris.
“Diplomasi yang menyedihkan dari Abbott. Sungguh tak pantas diutarakan. Lebih baik ia tutup mulut,” utara Jean Paul.
“Saya marah mendengar pernyataan Abbott walau saya mengerti mengapa ia mengatakan itu. Tapi hal itu tak perlu diucapkan, tapi sayangnya terlanjur terlontar. Menurut saya, warga Indonesia harus tenang menanggapi ini,” kemuka Iain.
“Taktik ‘bullying’ yang dilakukan Perdana Menteri Australia sungguh sangat disesalkan. Memang komentar itu didukung beberapa warga Australia yang menolak hukuman mati, tapi masih ada warga Australia lainnya yang tak sependapat dengan komentar itu,” tulis Jean Paul di akun Facebook-nya.