ABC

Merasakan Menjadi Minoritas Sebagai Muslim di Papua Barat

Umar Werfete, peserta pertukaran Muslim Australia Indonesia berbagi cerita bagaimana pengalamannya sebagai Muslim di provinsi paling timur Indonesia tersebut.

Menjadi Muslim di Papua Barat tentunya tidak sama saat berada di pulau-pulau besar dengan mayoritas Muslim, seperti di pulau Jawa misalnya.

Umar Warfete adalah salah satu Muslim di Papua Barat, yang tahun ini mewakili beberapa pemuda Muslim lainnya dari Indonesia untuk berkunjung ke Australia.

"Kalau dilihat orang asli Papua, [Muslim] memang minoritas, tapi kalau dilihat secara keseluruhan, orang Islam itu sebenarnya [jumlahnya] sebanding dengan pendatang dari pulau-pulau lain," ujar Umar dilahirkan dan dibesarkan keluarga Muslim.

Umar kini bekerja di Pusat Penelitian Pengembangan Komunitas di STAIN Al Fatah, Jayapura. Sebelumnya, ia pernah mengenyam ilmu pendidikan internasional di University of Birmingham, Inggris.

Saat ditanya apakah ada perselisihan antara ajaran Islam dengan budaya Papua Barat, ia mengaku jika keberadaan Islam bukan untuk menghilangkan identitas budaya Papua yang ada.

"Saya kira Islam itu datang untuk melengkapi budaya yang sudah ada, bukan menghilangkan budaya yang ada. Kalau budaya tersebut tidak sesuai dengan ajaran, memang bisa ditinggalkan tergantung individu, tetapi tidak berarti kita harus menghapus budaya yang dianggap baik," ujarnya.

Menurutnya saat ini masih ada konflik-konflik yang dipicu isu keagamaan. Tapi, konflik-konflik tersebut bersifat simbol, seperti klaim kepemilikan rumah beribadah. Ia memberikan contoh konflik yang terjadi di Manokrawi.

"Tapi saya kira ini sebagai akumulasi dari persoalan yang terjadi di tempat lain. Jadi jika ada yang melakukan sesuatu kepada yang minoritas di wilayah dengan mayoritas Muslim, maka yang mendapat imblas adalah umat Muslim yang menjadi minoritas di tempat lain," jelasnya.

Umar juga mengatakan sebenarnya sudah banyak bentuk-bentuk toleransi yang sejak lama terlihat. Seperti saling mengunjungi saat lebaran, Natal.

Dari pengalamannya, agama bukanlah hal yang membatasi hubungan dan pergaulan sosial, atau antara keluarga, di Papua Barat.

Umar dan empat peserta lain dari Pertukaran Muslim Australia Indonesia akan berada di Australia selama sekitar dua minggu. Mereka akan melihat bagaimana umat Muslim sebagai minoritas di Australia berinteraksi dan berintegrasi di Australia.

"[Hingga saat ini] yang paling berkesan adalah saat ketemu dengan umat ortodoks Yahudi, belum pernah saya temui sebelumnya. Saat mengobrol, ternyata di Yahudi juga mengenal namanya Kosher, seperti halnya Halal di Islam," kata Umar kepada Erwin Renaldi dari Australia Plus.

"Ternyata tidak ada perbedaan antara kedua agama, lalu kenapa orang Indonesia begitu benci dengan Yahudi," tambahnya.

Lewat dialognya bersama umat Yahudi di Australia, Umar mendapatkan pencerahan.

"Ternyata lebih disebabkan masalah politik, karena umat Yahudi sering dikaitkan dengan negara Israel. Dan dari mereka yang saya tanya, jarang orang Yahudi di Australia yang sering ke Israel, ada yang pernah itu pun hanya sekali."

Setelah kunjungannya ke Australia, Umar berharap bisa membuat sebuah riset soal pendidikan lintas agama di sekolah.

"Kurikulum nasional sudah memperbolehkan, saya melihat sekolah Katolik, misalnya yang memiliki beberapa murid Islam atau beberapa sekolah Islam dengan murid beragam Islam, dan ini ada peluang untuk mengenal agama lain, dan ini bisa mempengahruhi hubungan baik antar agama," jelasnya.

Nantikan berita-berita lainnya dari perjalanan peserta Pertukaran Muslim Australia Indonesia lainnya di halaman Facebook Australia Plus Indonesia: https://www.facebook.com/AustraliaPlusIndonesia