ABC

Menyelesaikan S2 di Australia Setelah 10 Kali Tes IELTS

Salah satu syarat untuk melanjutkan kuliah di Australia adalah harus lulus tes kemampuan bahasa Inggris seperti IELTS. Asri Samsu asal Sulawesi Selatan yang sekarang sudah menyelesaikan S2 di Curtin University di Perth (Australia Barat) menjalani tes IELTS 10 kali sebelum mendapat nilai cukup untuk melanjutkan kuliah.

Sekolah keluar negeri bukanlah mimpi bagi saya empat tahun yang lalu. Saya seorang PNS daerah dari kota Kalong, Soppeng-Sulawesi Selatan, tidak pernah berani bermimpi sejauh itu meskipun saya menguasai beberapa bahasa selain bahasa Indonesia seperti bahasa Bugis dan bahasa Makassar lengkap dengan penguasaan artikel Mi, Ji dan Ki-nya.
Untuk sekolah keluar negeri butuh penguasaan bahasa Inggris, itu selalu kalimat yang saya dengar sehingga saya tidak berani bermimpi untuk sekolah keluar negeri pada saat itu.

Tetapi, itu semua berubah setelah bertemu dengan orang-orang hebat pada program Beap-Bappenas di Jakarta. Ms. Lily, Ms. Fitri, Natasha serta guru-guru yang lain.

Saya yang hanya ingin sekolah S-2 di Indonesia saja kemudian terajak bermimpi untuk melihat Pelangi di luar sana.

Walaupun pada saat itu sungguh saya hanya mengerti kalimat “good morning” dan “my name is” saja.
Mimpi itu mendekati kenyataan ketika saya diterima menjadi penerima program beasiswa Double-Degree (Dua gelar) UGM dan Curtin University Australia yang diadakan oleh Bappenas dan kemudian melanjutkan Pre-departure enam bulan di Denpasar.
Pada saat di Denpasar itulah mimpi itu teruji. IELTS, sungguh jadi tantangan terbesar yang saya alami. Tes tiga kali sebelumnya bukan jaminan nilai 6.5 saya dapatkan setelah kursus.
Belajar yang giat, mendengar, menulis dan berbicara adalah agenda sehari-hari pada saat itu.

Kami dipersaudarakan dengan teman-teman sekelas yang juga memiliki mimpi yang sama. “Fantastic6md” itu nama kelas kami yang lahir dari kegemaran pengajar kami “Megan” mengucapkan kata itu setelah kami menyelesaikan latihan menulis.
Di bulan ketiga pelatihan, saya kemudian memberanikan untuk Tes IELTS yang ke-4, setelah tiga orang dari teman sekelas saya berhasil mendapat score yang Fantastic untuk lolos.

“Walau tidak sama besarnya, tetapi paling tidak mengejar angka merekalah” begitu saya membatin. Nilai 6 overall saat itu, cukup menambah semangat dengan tersisanya waktu tiga bulan lagi.
Belajar lebih giat dengan latihan-latihan yang semakin banyak membuat percaya diri saya tinggi pada saat ujian IELTS ke-5 di penghujung pre-departure.

Asri Samsu bersama para mahasiswa asal Indonesia lainnya di Perth
Asri Samsu (dua dari kanan0 bersama dengan Mahasiswa Curtin asal Indonesia sedang piknik di Walyunga National Park, Australia Barat.

Foto: Akhdian Reppawali)

Semua sudah di persiapkan dengan matang, tapi begitulah takdir yang sudah ditentukan oleh Allah, saya kehabisan energi di ujian Writing (menulis).
Nilai 6 adalah nilai yang sangat mengecewakan pada saat itu. betapa tidak usaha yang saya lakukan ternyata harus berakhir sadis dengan nilai yang tidak diharapkan.
Saya kemudian mengirim email ke Australia Award Indonesia bahwa saya akan ujian lagi di Denpasar sebelum masa akhir pengumpulan nilai IELTS periode itu.
Bersama dengan teman dari Menado, saya tes lagi yang ke-6.

Hasilnya masih sama, enam, membuat saya seperti kehilangan semangat. Setelah itu kami tidak pernah membahas IELTS lagi dan tidak pernah bertukar kabar lagi, mungkin IELTS ini telah membawa lari rasa senasib kami.

Emosi, gelisah, dan sedih menjadi satu ketika harus menerima bahwa saya harus menunda keberangkatan saya ke Perth enam bulan lagi atau bisa menjadi selama-lamanya.
Sungguh sangat bingung, seakan-akan tidak ingin tes IELTS lagi tetapi semangat dan motivasi dari orang di sekeliling, memaksa saya untuk memutar lagi audio latihan listening.

Menunaikan tugas Bapak Bupati dan Bapak Kepala Dinas juga menjadi cambuk yang perih dan memaksa saya untuk terus berjalan.
Tetapi saya tidak lagi menikmati prosesnya, semua menjadi hanya seperti memenuhi kewajiban saja. Saya hanya mengharapkan keajaiban dan jawaban dari doa yang di munajatkan setiap saat.

Tes ke-7 dan ke-8 berlalu begitu saja yang lagi-lagi menyisakan angka 6 di hasil ujian.
Dari jadwal normal, tes ke-9 adalah tes yang terakhir buat saya. Saya menyampaikan kondisi itu kepada semua keluarga terutama kepada Ibu dan istri saya.

Semua sedih, dan membuat mereka sedih adalah double kesedihan buat saya. Akan tetapi disisi lain, ada juga nampak ekspresi kebahagiaan dari mereka yang melihat dengan kondisi tersebut, karena itu berarti saya akan tidak tinggal berjauhan lagi dengan keluarga.

Perjalanan meraih mimpi ini memang sangat panjang. Memulai di Jakarta, kemudian ke Yogyakarta dan terakhir di Kota Denpasar, Bali. Sungguh menyita waktu, tenaga dan perasaan.
Saya berangkat tes yang ke-9 dengan kondisi saya dan keluarga sudah mengikhlaskan apapun hasilnya.

Dan ketika nilai 6 pun keluar lagi sebagai hasil ujian saya saat itu, sepertinya tidak membuat luka yang terlalu dalam seperti ujian-ujian sebelumnya.

Saya telah menyempurnakan ikhtiar dengan belajar siang dan malam, tetapi beginilah takdirnya.
Saya mengabarkan kepada teman-teman yang sudah berangkat sebelumnya bahwa saya tidak akan menyusul mereka karena kesempatan saya sudah habis berburu nilai IELTS.

Saya bersiap untuk menyelesaikan thesis di UGM dan pergi menjauh dari kekecewaan.
Saya sudah akan memulai menulis ulang thesis saya ke bahasa Indonesia ketika ada email lagi datang dari Australia Award Indonesia menyampaikan bahwa Curtin University menanyakan “apakah saya akan ikut tes IELTS lagi?”.
Saya menyampaikan “Iya, kalau saya di berikan kesempatan lagi” setelah sebelumnya saya menerima nasehat dari ibu untuk menyempurnakan lagi ikhtiar itu.

Berserah diri kepada Allah, hilangkan semua beban, dan membuat lebih santai persiapan ujian kali itu.

Asri Samsu ketika wisuda di Curtin University Perth
Asri Samsu merayakan wisuda setelah meraih gelar MURP dari Curtin University pada tanggal 15 Juli 2016 .

Foto: Akhdian Reppawali

Tidak ada lagi latihan dan belajar yang memaksa karena hari-hari sebelum ujian hanya diisi dengan menontop di bioskop, makan makanan enak di semua tempat di Makassar yang telah lama tidak dikunjungi, mulai dari konro Karebosi, coto Nusantara, coto Paraikatte, sampai es teler Panaikang dan pisang ijo di samping benteng Rotterdam.
“Akhirnya keajaiban itu datang, score 6.5 IELTS saya dapatkan di menit-menit pertambahan waktu di tes saya yang ke-10,” dan saya bisa melewati hari-hari penuh warna warni di Curtin University, Perth, Australia.
Seperti itulah Allah menakdirkan perjalanan saya dalam usaha meraih cita cita.

Tidak ada alasan bagi para pencari ilmu untuk menjadikan Bahasa sebagai alasan untuk tidak melakukannya.

Akan tetapi tentu saja harus siap dengan sakit-sakit usahanya, air mata doanya, dan ikhlas dan berserah diri ke Allah akan ketetapan-Nya. Alhamduillah, Saya sungguh beruntung mempunyai Ibu, Istri, keluarga dan orang-orang dekat yang mendukung hingga akhirnya saya dapat menyandingkan dua gelar MURP dan M.Eng dari Curtin Univesity dan Universitas Gadjah Mada.

*Asri Samsu, sekarang kembali bekerja di Bidang Fisik dan Prasarana, Kantor Bappeda Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Menempuh pendidikan S2 double-degree UGM dan Curtin University di bidang Perencanaan Kota dan Daerah antara tahun 2014-2016. Tulisan ini sebelumnya dimuat dalam buku Pelangi dari Selatan dalam versi yang lebih panjang.