ABC

Menyalakan Kembali Api Persahabatan Makassar dan Suku Aborigin Australia

Nurabdiansyah, yang akrab dipanggil Abi adalah seorang seniman visual asal Makassar dan aktivis seni yang kerap menyuarakan kegiatan kreatif di kotanya.

Seorang pria menatap kamera dengan latar belakang alat musik tradisional Aborigin
Abi mengaku dengan melihat sejarah ke belakang justru bisa memperbaiki hubungan Indonesia dan Australia.

Foto: Koleksi pribadi

Kamis lalu (6/12/2018), ia menginjakkan kaki di kota Darwin, Kawasan Australia Utara, untuk pertama kalinya.

Setelah Abi melihat dan berinteraksi langsung dengan warga Australia, khususnya suku Aborigin, pandangannya soal Australia berubah dari sebelumnya, yang kebanyakan didapat dari pemberitaan hubungan Indonesia dan Australia yang seringkali naik turun.

Sebagai seorang dosen komunikasi visual di Universitas Negeri Makassar, Abi sudah mengetahui sejarah hubungan Australia dan Indonesia di masa lampau, yang dimulai melalui kerjasama perdagangan yang dilakukan nelayan Makassar dengan suku Aborigin.

“Tapi ternyata hubungan yang kita miliki lebih dari sekedar berdagang biasa, melibatkan juga banyak interaksi dan pertukaran budaya,” ujar Abi kepada Erwin Renaldi dari ABC di Melbourne.

Nurabdiansyah datang ke Australia bersama dua seniman Makassar lainnya, Adi Gunawan, seniman peraih sejumlah penghargaan, serta Muhammad Rais yang juga dikenal sebagai sutradara dan produser sejumlah film.

Mereka sedang mengikuti program pertukaran seniman Makassar dan Yirkalla yang digelar oleh Victorian College Arts milik University of Melbourne dan Rumata Artspace di Makassar.

Selama sepuluh hari, tiga seniman Makassar dan tiga seniman Aborigin dari suku Yolngu melakukan ‘napak tilas’ leluhur mereka ke Makassar dan dua kota di Kawasan Australia Utara, Darwin dan Yirkalla.

Program ini bertujuan untuk menyegarkan kembali hubungan sejarah tentang pelaut dan penangkap ikan dari Makassar yang sudah menjalin hubungan dagang dan budaya diantara dua masyarakat, seperti yang dijelaskan Dr Lily Yulianti Farid, salah satu penanggung jawab program.

“Kami ingin memulai sebuah hubungan di tingkat masyarakat akar rumput dengan melibatkan seniman-senimana muda,” ujarnya.

Semua berawal dari teripang

Tangan manusia memegang hewan laut
Sejarah menyebutkan teripang yang diambil dan diolah di Kawasan Australia Utara dijual untuk dikonsumsi bangsa China.

Foto: University of Sunshine Coast

Saat berkunjung ke Makassar, ketiga seniman dari suku Yolngu, Dion Marimunuk Gurruwiwi, Barayuwa Mununggurr, dan Arian Pearson, diajak melihat salah satu pusat budidaya teripang yang masih ada hingga sekarang.

Teripang menjadi komoditi yang membuat nelayan Makassar dan suku Aborigin bekerja sama menjalin hubungan dagang, jauh sebelum kedatangan Inggris dan bangsa Eropa ke benua Australia.

Dari sejumlah studi literatur disebutkan bahwa teripang tidaklah dikonsumsi orang Makassar atau pun suku Aborigin. Konsumennya adalah bangsa China yang percaya teripang memiliki khasiat kesehatan.

Menurut Dr Lily, hubungan dagang dua masyarakat ini mengutamakan persahabatan dan kesetaraan.

Karenanya orang Makassar yang datang ke benua Australia tidaklah dianggap sebagai tamu, sebaliknya menjadi pendatang yang dipersilakan menetap, tambahnya.

Sekelompok orang berfoto bersama
Dr Lily (tengah) bersama para seniman yang mengikuti program pertukaran selama 10 hari di Makassar dan Australia Utara

Koleksi: Lily Yulianti Farid

Bagi Abi salah satu hal yang membuatnya paling takjub selama berkunjung ke kawasan pesisir Australia Utara adalah saat suku Yolngu begitu ramah saat menyambut kedatangan mereka, lengkap dengan upacara adat.

“Orang-orang [dari suku] Yolngu menganggap bahwa Makassar adalah saudara jauh, mereka merasa tidak asing dengan orang Makassar dan memiliki kerinduan yang besar dengan kedatangan orang-orang Makassar,” ujarnya.

Dr Lily yang juga berasal dari Makassar dan ikut menemani ketiga seniman selama di Australia mengaku jika ada momen yang mengharukan saat mereka bertemu suku Yolngu.

“Kita bernostalgia dan bahkan menangis bersama saat kita mulai membicarakan kata-kata yang kita sama-sama bisa mengerti artinya.”

Selama nelayan menetap di Australia Utara menunggu kembali ke Makassar, mereka telah memperkenalkan beragam unsur budaya, termasuk tutur bahasa kepada bangsa Aborigin.

Akan perbaiki hubungan lewat budaya

Enam orang berada di atas perahu yang besar
Seniman peserta program pertukaran saat berlayar di Makassar dengan phinisi, yang jadi ikon tradisi berlayar Indonesia

Koleksi: Lily Yulianti Farid

Pengalaman yang mengharukan sekaligus menginspirasi selama mempelajari bagaimana nenek moyang para seniman berinteraksi satu sama lain tentu tidak akan mereka simpan sendiri.

Rencananya sebuah film dokumenter tentang perjalanan mereka selama enam hari akan diluncurkan pada awal 2019.

Para seniman juga akan membuat karya berdasarkan interpretasi dan refleksi masing-masing dari apa yang mereka rasakan dan alami selama berada di Makassar dan Australia Utara.

“Mereka akan brainstroming, kemudian mulai membuat karya, kita sebagai pengelola program tentu tidak akan mendikte, hanya memfasilitasi dan memberikan informasi,” ujar Dr Lily.

Ada banyak individu di Indonesia dan Australia yang merasa hubungan kedua negara saat ini bagaikan ‘musuh dalam selimut’.

Tapi menurut Abi, kebudayaan bisa menjadi salah satu jalan alternatif untuk memperbaikinya.

“Jalan kebudayaan sangat tidak tergantung pada hal-hal yang administratif, tapi berkaitan dengan interaksi dan kebiasaan.”

“Sudah sejak ratusan tahun lalu ada kultur yang sama, ini seharusnya membantu hubungan dua negara lebih bagus, karena ada dasar yang kuat.”